Asia nampaknya belum dapat menjadi menjadi pasar investasi yang ramah bagi para investor global. Faktor utama dari kondisi tersebut ialah perang dagang antara AS dan China yang kembali memanas.
Dipicu oleh Trump yang akan menaikkan tarif impor sebsar 10% atas produk China senilai US$300 miliar pada awal September mendatang, pelaku pasar kian enggan mendekat pada aset-aset investasi dari Benua Kuning.
Baca Juga: Mbak Sri Kok Jadi Takut Sama Perang Dagang?
Bak peribahasa gayung bersambut, kata berjawab, ancaman tersebut langsung direspons tegas oleh pihak China. Melansir dari Reuters, Duta Besar China untuk PBB, Zhang Jun, menyatakan China siap untuk melanjutkan negosiasi dagang dengan AS. Namun, jika memang AS memilih untuk berperang, China pun siap untuk melawan.
"Posisi China sangat jelas, jika AS ingin berdialog, mari kita berdialog. Namun, jika AS ingin perang, mari kita berperang," tegasnya, Senin (05/08/2019).
Baca Juga: The Fed Pangkas Suku Bunga, Trump: Powell Mengecewakan Kita
Dengan begitu, wajar apabila pelaku pasar mulai merasa pesimis bahwa kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu akan menempuh damai dagang. Alhasil, bermain aman pun menjadi pilihan.
Asal tahu saja, perang dagang AS-China sudah berjalan sangat lama. Perkembangan hubungan keduanya pun menjadi kabar yang dinanti-nanti oleh pasar global. Sebagaimana diketahui, perang dagang yang berkepanjangan turut memengaruhi perekonomian global yang berpotensi melambat.
Baca Juga: The Fed Bikin Bursa Asia Kritis!
Hal itu diamini oleh Kepala Strategi Valas di Bank Nasional Australia, Ray Attrill. Ia mengatakan, pengumuman penetapan tarif oleh Trump telah mendominasi lanskap ekonomi dan keuangan global beberapa waktu terakhir ini.
"Pengumuman Presiden Trump mengenai (tarif produk China) mendominasi lanskap ekonomi dan keuangan global dalam beberapa minggu dan bulan mendatang," jelasnya seperti dikutip dari Reuters.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih