Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Luar Dalam Sawit Indonesia Diguncang

Luar Dalam Sawit Indonesia Diguncang Kredit Foto: Abdul Aziz
Warta Ekonomi, Jakarta -

Para pengusaha sawit semakin ketar-ketir. Tidak kondusifnya situasi geopolitik menjadi pemicunya. Gaza war, Rusia-Ukraina war, Pakistan-India war, hingga trade war yang dipicu oleh sodokan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menjadi pemantik.

Rasa ketar-ketir itu semakin kuat ketika di dalam negeri, ketidakkondusifan itu juga terjadi. Penertiban sawit yang diklaim dalam kawasan hutan hingga kabar tak sedap bahwa pekan ini Menteri Keuangan akan meneken kenaikan Pungutan Ekspor (PE) dari 7% menjadi 10%, menjadi musababnya. 

"Kami berharap kenaikan tarif PE itu ditunda dulu, minimal setelah ada keputusan tarif Trump yang 32% itu enggak jadi diberlakukan," pinta salah seorang pengusaha yang tak mau namanya disebut. 

Pengusaha ini berasalan, kalau tarif PE dinaikkan, itu akan berpengaruh pada harga Tandan Buah Segar (TBS) petani. "Harga CPO akan tertekan di angka Rp12 ribu per kilogram. Kalau sudah begini, akan berimbas pada harga TBS petani," ujarnya. 

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung justru mewanti-wanti agar pemerintah tidak mengutak-atik dulu tarif PE itu. 

"Untuk saat ini, menaikkan atau menurunkan tarif PE, itu tidak solusi. Soalnya saat ini harga internasional sedang turun. Jadi kalau harga internasional nggak naik, enggak ada alasan untuk menaikkan PE," lelaki 60 tahun ini berpendapat. 

Turbulensi Global

Saat ini, dunia sedang menghadapi turbulensi ekonomi akibat situasi geopolitik tadi. Terhadap sawit pun, kondisi itu sangat berdampak.  

Misalnya akibat Pakistan-India war. Dari tanggal 7 Mei 2025 kata pengusaha tadi, pengiriman minyak sawit ke dua negara itu sudah di-hold. Padahal biasanya, minyak sawit yang dikirim dari Indonesia ke India saja, sekitar 750 ribu ton per bulan. 

"Akibat Gaza war, kapal yang menuju Eropa pun sudah melewati Afrika. Kondisi ini membikin biaya transport menjadi lebih tinggi," kata Tungkot pula. 

Yang berbahaya lagi dan sangat dikhawatirkan oleh hampir semua negara kata Tungkot, bila nanti akibat defisit fiskal AS, kemudian membikin negara Adi Daya itu benar-benar menarik dukungan dananya ke badan-badan internasional. 

Dan itu menurut dia sudah mulai kelihatan. Misalnya; USAID Indonesia sudah tutup, lalu AS sudah telah menarik diri pula dari WHO dan FAO. 

Keadaan ini menurut Tungkot akan menyeret dunia pada situasi masa sebelum Perang Dunia (PD) II; semua akan melindungi diri, proteksionisme akan sangat tinggi. Perairan internasional tidak lagi bersahabat lantaran banyaknya bajak laut.

"Kalau pendanaan itu kemudian berpindah ke pundak Cina dan Eropa, dari segi fiskal mereka enggak mampu. Jadi sebetulnya, dibalik kebijakan fiskal Trump yang 'gila' ini, dia ingin mempertahankan posisi AS sebagai pengemban tugas dunia. Tapi hampir semua bereaksi negatif," doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mulai mengurai. 

Nah, semua yang diurai di atas, terjadi pada waktu yang sama. "Makanya, ini adalah turbulensi yang musti kita hadapi bersama, kita harus navigasi bersama. Meski tidak mudah untuk dilewati, tapi mau tak mau harus kita lewati," ujar Tungkot. 

Solusi di Dalam Negeri

Di dalam negeri kata Tungkot, pemerintah masih bisa mendongkrak harga TBS dengan menggenjot penggunaan biodiesel. Menurut dia, itu yang paling realistis. 

Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana caranya membiayai biodiesel bila selama ini sumber pembiayaannya berasal dari PE? 

Menurut Tungkot, harus dicari titik keseimbangannya. "Sekarang kan harga minyak bumi juga turun. Berarti selisih harga biodiesel juga turun. Itu satu," Tungkot kembali mengurai. 

"Yang kedua, dari tahun lalu sebenarnya saya sudah ingatkan agar disain pembiayaan mandatori biodiesel itu jangan semuanya dari industri sawit. Pertamina musti dilibatkan," katanya. 

Selama ini kata Tungkot, yang menikmati subsidi itu adalah Pertamina. Sebab perusahaan plat merah inilah yang menghasilkan biodiesel yang kemudian dijual menjadi solar industri. Pada periode 1-14 Maret 2025 solar industri dibanderol Rp22.600 per liter. 

"Kalau ke petani, subsidinya bersumber dari APBN. Itulah makanya saya bilang, selama ini subsidi biodiesel itu yang menikmati ya Pertamina," lagi-lagi Tungkot menegaskan. 

Jadi, lantaran harga solar industri segitu, Pertamina menurut Tungkot tidak hanya turut membiayai, tapi HIP Biodiesel juga harus dikurangi. 

"Kalau mandatori biodiesel semuanya dari sawit, itu sama saja industri sawit yang mandatori. Jadi, sudah saatnya pembiayaan itu mix finance; Industri sawit, Pertamina dan konsumen (menaikkan harga BBM)," katanya. 

Penertiban Kawasan Hutan Musti Pro Pasar

Terkait Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang saat ini sedang gencar-gencarnya dilakukan, Tungkot menyebut pasti mendapat dukungan. 

Sebab upaya itu menjadi bagian dari perbaikan tata kelola yang menyeluruh. Dengan PKH itu, diharapkan persoalan yang selama ini dihadapi, bisa tuntas, termasuk agar semua legalitas terlengkapi. 

"Tapi itu tadi, kita berharap proses yang dilakukan itu jangan menganut proses yang tidak pro pasar. Yang tidak pro pasar itu adalah kalau pengambilalihan kebun sawit tidak dilakukan melalui proses peradilan. Bahwa tindakan tegas dilakukan, kita setuju. Tapi dengan prosedur yang bersahabatlah," ujarnya. 

Baca Juga: Riau Perkuat Kesiapsiagaan Hadapi Karhutla, KLHK Libatkan GAPKI dan Perusahaan Sawit

Sebelum Satgas PKH muncul kata Tungkot, pemerintah sudah punya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang didalamnya dihadirkan pasal 110A dan 110B sebagai solusi keterlanjuran. 

"Itu saja yang dijalankan. Berikutnya, dari dulu saya selalu mengatakan, sawit rakyat itu musti dipandang sebagai bagian dari reformasi agraria. Jadi, nggak usahlah diproses kayak korporasi. Dibina saja, kalau pun ada denda, yang rasionallah. Namanya kita membantu rakyat, mengatasi kemiskinan, menambah pekerjaan dan menggerakkan ekonomi melalui sawit. Itu harus diperhitungkan untuk menetapkan denda," panjang lebar Tungkot mengurai. 

Baca Juga: 5 Peran Devisa Sawit bagi Indonesia

Baca Juga: 6 Keunggulan Minyak Sawit sebagai Kebutuhan Penting bagi Masyarakat Dunia

"Kalau soal dibilang salah, siapa sih yang nggak salah? Pemerintah juga ada salahnya di masa lalu. Semua kita ini salah. Lantaran itu, mari kita perbaiki, tapi jangan bunuh diri. Jangan membunuh pelaku usaha terutama UKM, sebab itu benteng. Apalagi sekarang kondisi ekonomi dunia sangat tidak bersahabat, jangan sampai ada PHK, jangan sampai ada orang kehilangan pendapatan," pintanya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz

Advertisement

Bagikan Artikel: