Awal pekan ini, pasar finansial global termasuk Indonesia terguncang dari dampak perseteruan yang kian panas antara dua negara adidaya Amerika Serikat dan China. Perang dagang kini berubah menjadi perang mata uang setelah nilai tukar yuan China dilansir melemah secara drastis. Pemerintah AS kemudian menuding China sebagai manipulator nilai tukar dan melaporkan secara resmi ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Eskalasi konflik kedua negara besar itu mengakibatkan selama dua hari berturut-turut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 2,59% dan 0,91% pada level 6119,47. Begitu pun kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) rupiah melemah hampir 1% dari 14.203 pada akhir pekan (2/8/2019) menjadi 14.344 pada Selasa (6/8/2019). Sementara, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun sempat naik ke level 7,7291.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menyarankan agar para investor mengambil sikap defensif dalam menyikapi memburuknya perseteruan AS dan China.
Budi menduga keputusan China melemahkan mata uangnya sesungguhnya beralasan mengingat surplus neraca berjalan mereka terus menipis. Tapi, dia tidak menduga ditempuh secepat Senin lalu bersamaan dengan penundaan pembelian komoditas pertanian dari Amerika Serikat.
Baca Juga: Perang Mata Uang dan Ancaman Ekonomi Global
Aksi China itu nampak sekali sebagai balasan pernyataan Presiden Donald Trump yang mengancam akan kembali mengenakan tarif impor mulai September mendatang.
Pelemahan drastis yuan dikhawatirkan memicu perlombaan regional memperlemah mata uang dengan sengaja atau competitive devaluation. Aksi bank sentral China itu jelas mempersulit upaya Indonesia menurunkan defisit neraca perdagangan dengan China yang terus memburuk sejak 2012. Selama 2018, defisit perdagangan dengan China mencapai US$18,4 miliar atau melonjak 44,8% dibanding nilai selama 2017.
"Risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah menurunkan keleluasaan BI memangkas suku bunga untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih gegas, namun tanpa memicu defisit neraca berjalan," ungkap Budi dalam siaran pers, Rabu (7/8/2019).
Dia berkata lagi, "Jadi, sebaiknya investor menyikapi perkembangan saat ini secara defensif. Sebaiknya berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Selain reksa dana pasar uang, SBN dapat menjadi pilihan sebab pokoknya aman, cuan nyaman dan likuiditas lancar."
Bagi investasi di pasar saham, Budi menyarankan agar investor lebih selektif memilih saham-saham. Berbeda dengan siklus penurunan bunga sebelumnya, saat ini adalah istilah TINA (there is no alternative).
Di masa lalu, penurunan suku bunga memacu pertumbuhan laba sektor properti dan otomotif. Namun, saat ini kedua sektor tersebut menghadapi tantangan penurunan daya beli sejalan dengan pelemahan harga komoditas primer andalah ekspor Indonesia.
Sebagai akibatnya, investor melirik saham sektor perbankan kendati valuasi sudah mahal. Sebab sektor ini diyakini mendapat manfaat pelebaran margin keuntungan dengan penurunan bunga deposito, sementara bunga kredit relatif tetap.
Budi juga mengatakan, agar investor sebaiknya berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi seperti tambang dan CPO serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan. Pelemahan yuan kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestik.
Baca Juga: Begini Cara Bapak Investor Dunia Tentukan Perusahaan Layak atau Tidak
Pemerintah China sendiri diyakini akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming shale-gas di Amerika Serikat. Pilihan ini membawa konsekuensi menurunkan permintaan impor batu-bara dari Indonesia.
Perang dagang antara China dan AS dalam jangka panjang akan memengaruhi profil arus perdagangan dan investasi internasional. Selama tahun terjalan hingga Mei 2019, data pemerintah AS menunjukkan Vietnam, Korea Selatan, dan Taiwan sebagai pemenang.
Trade surplus Vietnam ke AS mencapai US$ 21,6 miliar atau naik 42,6% dibandingkan kumulatif Mei 2018. Pada periode yang sama, trade surplus China turun 10%, dengan posisi US$ 137 miliar. Sementara trade surplus Indonesia turun 12,2% menjadi US$ 5,1 miliar.
"Indonesia memiliki banyak tantangan dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga, seperti Vietnam. Selain faktor infrastruktur, kepastian hukum dan insentif pajak, banyak keluhan investor asing terkait kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang harus segera dibenahi. Investor nampaknya menanti susunan kabinet pemerintah baru yang diharapkan lebih efektif meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia," tutur Budi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: