Kader Muda Golkar Anggap Kode Etik Buatan Majelis Etik Tak Mengikat, Ini Alasannya
Keberadaan Majelis Etik Partai Golkar terus dipersoalkan. Wakil Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Abraham Sridjaja menganggap Majelis Etik pimpinan Mohammad Hatta itu tak punya legalitas.
Baca Juga: Jika Jadi Ketum Golkar, Bamsoet Ogah Tanya Jatah Menteri, Nyindir?
Pernyataan Abraham tersebut merupakan respons atas tulisan Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Golkar Adies Kadir tentang legalitas Majelis Etik di partai berlambang beringin itu. Sebelumnya Adies menyebut pembentukan Majelis Etik tidak menyalahi anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) ataupun hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2017.
Abraham mengaku mengkaji legalitas Majelis Etik Golkar. Hasilnya, Majelis Etik bentukan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto itu ilegal.
“Karena tidak ada kewenangan yang diberikan oleh AD/ART Partai Golkar kepada DPP untuk membentuk Majelis," kata Abraham, Jumat (9/8).
Kader muda Golkar yang juga praktisi hukum itu lantas membeber analisisnya. Menurutnya, berdasar Pasal 27 ayat 1 dan 2 Anggaran Dasar (AD) Partai Golkar, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) memang dapat membentuk badan, lembaga, dan kelompok kerja untuk melaksanakan tugas-tugas dalam bidang tertentu.
Ketentuan selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Golkar. Namun, pada Pasal 25 ayat 1 ART Golkar ada batasan bahwa pembentukan badan, lembaga, dan kelompok kerja itu 'sebagai sarana penunjang pelaksanaan program partai'.
Abraham menyebut ketentuan itu sangat berbeda dengan Majelis Etik yang diatur berdasar keputusan DPP Golkar No. Kep-289/DPP/GOLKAR/ III/2018 tanggal 21 Maret 2018. “Tugas pokoknya (Majelis Etik, red) menegakkan integritas, etika pengurus ataupun anggota dalam memelihara kemuliaan dan muruah partai serta tugas lain yang diatur dalam SK (surat keputusan) tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut Abraham mengatakan, Rapat Pleno DPP Golkar pada 29 Januari 2018 memang membicarakan soal Majelis Etik. Namun, katanya, hasil pleno tersebut tidak dicantumkan sebagai konsideran pembentukan Majelis Etik.
“Jadi secara legal formal rapat pleno tidak menjadi acuan pembentukan Majelis Etik,” tuturnya.
Abraham juga membeber keanehan lainnya, yakni diktum ketiga SK DPP Golkar tentang pembentukan Majelis Etik. Menurutnya, diktum itu menempatkan SK DPP Golkar di atas peraturan organisasi.
”Ketentuan lainnya yang belum cukup diatur dalam keputusan ini akan diatur sendiri dalam peraturan organisasi Partai Golkar. Ini suatu keanehan jika menempat SK DPP lebih tinggi kedudukannya daripada persatuan organisasi,” ulasnya.
Keanehan lainnya adalah klaim bahwa pembentukan Majelis Etik telah dilaporkan oleh DPP Golkar dalam forum rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang digelar 23 Maret 2018. Faktanya, kata Abraham, pada tanggal itu tidak ada Rapimnas DPP Golkar.
“Yang betul adalah pada 23 Maret 2018 dilaksanakan rakernas (rapat kerja nasional),” tegasnya.
Analisis Abraham soal keanehan Majelis Etik tak berhenti di situ. Merujuk Pasal 32 ayat 5 AD Partai Golkar, kata Abraham, ada dua ketentuan penting tentang rakernas. Pertama, rakernas adalah rapat yang diadakan untuk menyusun dan mengevaluasi program kerja hasil munas.
Kedua, dakernas dilaksanakan pada awal dan pertengahan periode kepengurusan. “Jadi suatu kekeliruan besar jika rakernas merekomendasikan DPP untuk menyusun kode etik,” tegasnya.
Abraham menambahkan, kekeliruan lainnya adalah kode etik yang dituangkan dalam Peraturan Organisasi No. 19/DPP/Golkar/VII/2018 tangal 23 Juli 3018. “Kode etik harus disahkan minimal dalam rapimnas dan dicantumkan dalam AD/ART agar memiliki kekuatan hukum mengikat semua kader Partai Golkar,” tegasnya.
Karena itu Abraham menilai kode etik buatan Majelis Etik Partai Golkar merupakan kekeliruan dan tidak mengikat semua kader Golkar. ”Apalagi kode etik tersebut dilaksanakan oleh Majelis Etik yang keberadaannya tidak memiliki legal standing,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat