Kapitalisme tak hanya menjanjikan kesuksesan. Menurut statistik, sembilan dari 10 perusahaan rintisan (startup) dijamin gagal. Yang lebih tragis, sebagian besar startup itu gagal karena mereka membelanjakan semua uangnya. Ini artinya tidak hanya perusahaan itu yang merugi jutaan dolar, tetapi juga para pendirinya.
Saat perusahaan bangkrut, rekening bank dan kekayaan para chief executive officer (CEO) pun tiba-tiba lenyap. Silicon Valley juga bukan tempat di mana para entrepreneur mengalami kerugian dalam jangka panjang. Kegagalan bisa saja hanya sebentar, tapi bagi beberapa orang, kegagalan dapat menjadi pertarungan hukum di pengadilan selama bertahun-tahun serta dakwaan kriminal dan kebangkrutan karena dianggap menipu para pemegang saham.
Kisah kejatuhan yang paling dramatis mungkin dialami pendiri dan mantan CEO Theranos, Elizabeth Holmes, yang menghadapi dakwaan penipuan karena dianggap menipu para investor dan pembuat kebijakan tentang kemampuan teknologi tes darah milik perusahaannya.
Contoh lain, namun dengan akhir bahagia adalah Napster, software sharing musik populer yang kemudian jatuh karena digugat oleh Band Metallica. Meski Napster tidak mampu bangkit lagi, para pendirinya Sean Parker dan Shawn Fanning dapat pulih. Parker menjadi presiden pertama Facebook, dan Fanning telah berinvestasi dalam berbagai startup-nya sendiri.
Kegagalan dalam industri teknologi memang tak dapat dihindari. Kehilangan segalanya sudah menjadi bagian dari permainan. Berikut ini beberapa CEO yang kehilangan jutaan dolar dan perusahaan yang mereka bangun.
Pertama, pendiri dan mantan CEO perusahaan tes darah Theranos, Elizabeth Holmes.
Dia dapat memperoleh pendanaan hampir USD1 miliar dari para investor seperti Rupert Murdoch dan Menteri Pendidikan Amerika Serikat (AS) Betsy DeVos sebelum dia diperiksa tentang teknologinya dan didakwa melakukan penipuan sehingga Theranos harus tutup.
Kedua, pendiri startup drone, Lily Robotics, Antoine Balaresque dan Henry Bradlow berada di daftar selanjutnya. Pada 2015, Lily Robotics mendapat pendanaan USD15 juta dan hampir USD35 juta dalam prapenjualan berkat video viral yang menunjukkan drone sedang beraksi.
Namun dua tahun kemudian, Lily Robotics tutup, mengajukan kebangkrutan dan digeledah oleh sejumlah agen federal. Adapun co-founder dan mantan CEO Sidecar, Sunil Paul yang membangun startup pionir taksi daring awalnya sangat menjanjikan.
Sidecar bahkan mampu mengalahkan Uber dan Lyft sebagai perusahaan yang pertama meluncurkan model bisnis itu. Sayangnya, dengan pendanaan hanya USD35 juta, Sunil Paul menyatakan perusahaannya tidak dapat bersaing melawan Uber yang meraih dana hingga USD6,6 miliar.
Sidecar kemudian menutup operasional pada 2015 dan menjual aset-asetnya ke General Motors pada tahun selanjutnya. “Visi kami menciptakan kembali transportasi dan kami mencapai itu dengan ridesharing dan pengiriman. Ini, meski demikian, kemenangan yang pahit manis,” ujar Paul, yang menyalahkan agresifnya taktik Uber sebanyak penyebab kebangkrutan perusahaannya.
Adapun Napster didirikan pada 1999 oleh para remaja saat itu, yakni Sean Parker dan Shawn Fanning sebagai layanan sharing musik gratis dan pertukaran file. Namun setelah mendapat beberapa gugatan hukum, Napster gulung tikar dan bersedia membayar ganti rugi sebesar USD26 juta pada pihak-pihak yang menggugatnya.
Napster bangkrut setelah gugatan oleh Band Metallica yang memengaruhi 57 juta pengguna layanan itu. Jawbone Health merupakan alat pelacak kesehatan dan fitnes yang mengumpulkan dana hingga USD950 juta. Jawbone mengucurkan dana hingga USD1 miliar selama satu dekade, tapi tak dapat memproduksi peralatan yang dapat bersaing dengan lawannya, Fitbit.
Pendiri dan CEO Jawbone, Hosain Rahman, mengajukan kebangkrutan bagi perusahaannya pada 2017 dengan rencana menjual beberapa asetnya. JP Morgan bahkan menggugat Rahman karena dituduh gagal bayar utang, namun kedua pihak kemudian membuat kesepakatan. Startup televisi dan video streaming, Aereo yang didirikan oleh Chet Kanojia terpaksa ditutup oleh Mahkamah Agung AS pada 2014, setelah pengadilan memutuskan terjadi pelanggaran hak cipta pada 2014.
Perusahaan itu hanya bertahan dua tahun sejak berdiri. Lima bulan kemudian, Kanojia dan Aereo kembali diadili untuk kasus kebangkrutan. Aplikasi pemanggilan taksi Karhoo, menjadi salah satu kisah perusahaan yang kehabisan dana. Hanya 18 bulan setelah peluncurannya, Pendiri dan CEO Karhoo, Daniel Ishaq, mundur, dan beberapa hari kemudian perusahaan mengumumkan rencana tutup.
Shyp menjadi startup ketujuh yang bangkrut. Startup pengiriman pesanan itu mirip dengan Uber yang berpotensi mengganggu seluruh industri. Shyp mampu mengumpulkan pendanaan USD60 juta dari sejumlah perusahaan seperti Kleiner Perkins, tapi akhirnya gagal juga. Saat Shyp berupaya mengumpulkan lebih banyak dana, perusahaan itu terpaksa tutup.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: