Komunikasi Krisis dengan Media: Belajar dari Kasus PLN
Oleh: Irfan Riza, Senior Trainer WE Academy
Ketika terjadi krisis maka tidak terhindarkan lagi kebutuhan komunikasi intens kita dengan media termasuk media sosial, publik, pelanggan, dan stakeholders lainnya. Komunikasi krisis seharusnya dimulai sesegera mungkin dalam rentang golden hour untuk memastikan persepsi publik bahwa perusahaan siap menghadapi krisis serta peduli dengan kepentingan publik.
Dalam kasus PLN, terlihat bahwa respons komunikasi krisis yang dilakukan belum mencerminkan skema komunikasi krisis yang efektif. Publik justru dibombardir viralnya informasi "liar tapi benar" menyangkut dampak black out operasional PLN yang menyebabkan putusnya aliran listrik di seantero Jakarta Raya, sebagian Jabar, Banten, bahkan hingga Bali.
Peran media sosial memang luar biasa massif dan punya daya jangkau luar biasa secara cepat sehingga terkesan respons PLN tidak ada gaungnya sama sekali di mata publik. Dalam situasi inilah, pihak PLN terlihat kurang merespons dan memahami dinamika media sosial yang menjadi mainstream alur komunikasi publik masyarakat Indonesia sekarang ini.
Diakui, ada tiga opsi kemungkinan dari dampak krisis yang menyebabkan pihak perusahaan gamang melaksanakan tindakan atau respons komunikasi yang efektif dan tepat. Pertama, perusahaan berpotensi mengalami masalah besar, potensi bangkrut atau keluar dari bisnisnya, serta pimpinannya berpotensi menghadapi tuntutan kejahatan pidana.
Kedua, perusahaan akan tetap eksis, tetapi mungkin berpotensi kehilangan citra dan respek dari publik atau pelanggannya serta tidak berimplikasi signifikan pada kondisi finansialnya. Ketiga, perusahaan akan menghadapi kondisi tekanan yang luar biasa kencang untuk mendapatkan dukungan opini public, perombakan top manajemen, dan proses recovery kembali menuju posisi awal sebagai good company.
Sementara beberapa tipe perusahaan yang lain mengalami krisis akan kehilangan reputasi dan potensi kerugian yang cukup besar dengan catatan tidak akan mengalami kebangkrutan atau terlempar dari industrinya.
PLN dalam posisi sebagai perusahaan pemerintah (BUMN) berada dalam opsi ketiga, di mana resiko yang terjadi mungkin adalah perombakan direksi guna rehabilitasi operasional PLN ke depannya (the captain must go down but not the ship).
Dalam kondisi normal, perusahaan akan berupaya segala cara untuk mendapatkan atensi media bahkan diperlukan sejumlah budget besar untuk membangun positive appeals di mata publik melalui media (paid publicity). Namun dalam kondisi krisis, sebaliknya semua media akan mengejar staf PR atau pimpinan perusahaan untuk mencari sumber berita dan isi berita yang tepat terkait dengan kondisi krisis yang dialami oleh perusahaan.
Benar apa yang sering didengungkan bahwa bad news sells. Dalam kondisi seperti inilah, kesiapan perusahaan menghadapi tekanan media diuji sekaligus kemampuan melakukan tindakan strategi komunikasi yang efektif dan tepat di saat krisis.
Dampak viralnya informasi via media dan media sosial umumnya melewati empat tahapan. Pengelola komunikasi atau pimpinan perusahaan yang in charge sebagai komunikator perusahaan perlu menyiapkan informasi yang benar beserta penjelasan secukupnya untuk masing-masing tahapan yang akan dilaluinya.
Tahap pertama, adalah breaking news. Ini adalah kondisi atau kejadian yang punya dampak dramatis atau mengejutkan bagi publik melalui media. Bagi siapa saja yang tinggal di Jakarta, tentu sudah muncul kepercayaaan bahwa listrik PLN tidak akan padam mendadak dalam kondisi yang unpredictable. Kalau kondisi ini terjadi, akan berimplikasi multiplier di berbagai sektor.
Ada banyak sektor yang akan menghadapi masalah bila listrik padam, misal aktivitas bisnis/perkantoran, transportasi, komunikasi, lalu-lintas, kenyamanan lingkungan, dan lain sebagainya. Tetapi faktanya itu telah terjadi di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2019 dan juga terjadi di berbagai daerah lainnya.
Dalam tahapan ini, informasi detail biasanya belum tersedia sehingga lalu lintas misinformasi yang di-broadcast via media sosial yang tersebar meluas sebenarnya bukan informasi yang sahih. Dalam kondisi seperti ini, semestinya orang nomor 1 di PLN tampil dengan elegan dan percaya diri untuk menyatakan secarta faktual bahwa telah terjadi blackout operasional PLN dan sudah menyiapkan crisis response team untuk segera mencari tahu sumber masalah krisis serta akan menyampaikan kepada publik hasil temuan awal maksimal 1 jam berikutnya dengan hasil informasi faktual plus scenario plan yang terukur.
Tim respons krisis ini bekerja dengan fokus internal dan eksternal. Internal terkait dengan pencarian sumber masalah utama, sedangkan eksternal terkait dengan respons cepat terhadap pihak-pihak yang terkena dampak masalah, misal penyediaan bantuan bus-bus untuk penumpang KRL yang terjebak di stasiun kereta, penyediaan snack gratis bagi pihak terdampak, kunjungan ke masjid atau tempat ibadah yang menjadi tempat kumpul warga yang terkena dampak pemadaman PLN, dll.
Semakin cepat tahapan pertama dilalui serta eksposure respons perusahaan terlihat oleh publik, tentu semakin baik respons dari publik.
Tahapan kedua dimulai pada saat data detail terukur sudah didapatkan oleh crisis response team. Pada tahapan inilah perlu disampaikan sumber masalah utama yang menjadi penyebab masalah serta mitigation plan yang akan dilakukan. Perlu disampaikan juga sistem backup yang sudah disiapkan, apakah berjalan dengan baik atau ternyata tidak dapat berjalan. Prinsipnya semakin deskriptif kondisi krisis terurai, semakin positif respons publik terhadap pihak perusahaan.
Tahapan ketiga melibatkan analisis krisis dan pasca-krisis. Proses analisis ini akan lebih bernilai, bilamana melibatkan pakar-pakar ahli nasional di bidang perlistrikan serta lembaga nasional yang punya basis keilmuan dan teknologi yang relevan (pusat studi, LIPI, dll). Bagaimana respons perusahaan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban, apa yang sedang dan akan dikerjakan.
Intinya bicara tentang how dan why. Tahapan ini terkait dengan visi perusahaan untuk memberikan kenyamanan kepada pihak terkait dan pihak terkait merasa diperhatikan serta menjadi fokus dari semua langkah recovery operasional perusahaan.
Tahapan keempat adalah evaluasi dan otokritik secara konstruktif dan objektif terhadap munculnya insiden krisis. Apakah ditemukan gejala-gejala awal terhadap munculnya krisis, kesiagaan terhadap krisis, serta bagaimana pola respons cepat dan strategis dalam menghadapi krisis sebagai bahan masukan ke depannya. Ini menggambarkan karakter perusahaan sebagai learning organization.
Tujuan utama komunikasi dalam krisis adalah menjaga kepercayaan publik terhadap perusahaan melalui saluran media maupun media sosial. Oleh karena itu, perusahaan perlu memasok dan merespons kebutuhan informasi secara tepat dan cepat kepada media dalam framing positif. Jangan sampai justru media mengolah informasi secara liar sehingga menimbulkan framing negatif terhadap perusahaan.
Perusahaan membutuhkan media secara mutual dan perlu memperkuat kerja sama positif dengan pihak media. Dalam kondisi krisis, ada tiga kondisi yang terkait dengan kebutuhan informasi dari pihak media.
Pertama, perusahaan mengetahui dan semua kebutuhan informasi tersedia. Kedua, perusahaan tidak mengetahui semuanya pada saat sekarang, tetapi akan segera menemukan dan menyampaikan kepada media. Ketiga, perusahaan tidak punya ide atau informasi sama sekali, tetapi akan menemukan dan menyampaikan kepada media. Tugas perusahaan adalah menyampaikan latar belakang informasi, statistik, foto, dan juru bicara yang memadai kepada media.
Salah satu figur penting dalam kondisi krisis adalah juru bicara perusahaan. Dalam kondisi krisis, perusahaan perlu menetapkan seorang juru bicara utama. Juru bicara yang tunggal ini akan mengurangi potensi munculnya pernyataan yang beragam dan bertentangan, mencerminkan kesatuan visi perusahaan, serta menjaga konsistensi dan kontinuitas proses komunikasi dengan publik via media.
Berbicara dengan seorang juru bicara jauh lebih efektif dalam kondisi krisis. Sebaiknya pimpinan tertinggi (CEO/dirut) yang bertindak sebagai juru bicara, atau ditunjuk salah satu pimpinan manajemen sebagai juru bicara di mana selalu didampingi oleh pimpinan tertinggi ketika menyampaikan informasi kepada publik melalui media.
Kenapa demikian, karena pada prinsipnya melekat pada figur pimpinan tertinggi sebagai representasi dari perusahaan, sebagai figur yang dapat dan mampu membuat keputusan dan berbicara sepenuhnya atas nama perusahaan. Kondisi ini tentunya sangat diapresiasi oleh publik.
Kebenaran merupakan hal yang sangat esensial dalam kondisi krisis. Dalam kondisi krisis, tidak ada lagi ruang longgar bagi publik untuk mengetahui kebenaran maupun objektivitas informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan. Oleha karena itu, menjadi mandatory bagi perusahaan untuk menyampaikan objektivitas tentang kondisi aktual sebelum atau pada saat munculnya krisis dalam framing positif, peduli dengan kepentingan publik, empati, dan diliputi nuansa apologi.
Perlu dihindarkan orientasi membangun asumsi-asumsi yang condong menguntungkan kepentingan atau posisi perusahaan dengan mengorbankan kepentingan publik atau pelanggan. Hal ini tentunya justru akan membangkitkan rasa kekecewaan publik secara massif dan terstruktur sehingga muncul semacam ide-ide class action atau gugatan konsumen kepada PLN atau potensi tuntutan hukum oleh pihak Polri yang tentunya kontraproduktif bagi perusahaan.
Kalau perusahaan sudah menerapkan sistem backup yang dianggap kuat atau sistem disaster mitigation plan, perlu juga diungkap kenapa sistem-sistem tersebut tidak cukup mampu mencegah munculnya krisis. Objektivitas faktual terhadap munculnya krisis serta background information yang aktual-objektif dan pendekatan komunikasi yang humanis dalam kondisi krisis sangatlah penting dalam kondisi krisis. Semoga bermanfaat.
Get Trained
Dapatkan jadwal pelatihan terbaru Irfan Riza tentang komunikasi krisis dengan mengikuti akun media sosial Warta Ekonomi di Akun Facebook dan Akun Instagram.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo