Sejumlah laporan baru-baru ini menunjukkan, risiko keuangan akibat perubahan iklim bisa jauh lebih besar dari sebelumnya. Seluruh aset bisa jadi sasaran saat suhu bumi meningkat. Triliunan dolar nilai pasar menguap akibat perubahan iklim.
Melansir dari RT, Sabtu (4/1/2020), perusahaan penyedia reasuransi dan risiko, Aon, melaporkan bahwa kerusakan akibat perubahan iklim bakal menghantam ekonomi global dalam berbagai cara. Pertama dan yang paling jelas adalah kerusakan fisik akibat bencana alam. Tahun 2017 dan 2018 adalah tahun paling merugikan terkait bencana alam.
Baca Juga: Ini Dia 5 Sektor Ekonomi Paling Terpukul Akibat Banjir
Bahayanya bertambah buruk ketika kerusakan fisik mulai memengaruhi harga sebagian aset. Contoh paling mencolok adalah pasar real estate di sepanjang garis pantai yang akan menghadapi kerusakan fisik dan repricing. Terjadinya bisa melalui berbagai mekanisme: orang berpindah, peraturan zonasi membatasi bangunan, perusahaan asuransi menarik dukungan, investor menarik modal, dll.
"Jika permukaan laut naik 6 kaki pada 2100, diperkirakan US$900 miliar perumahan di AS akan benar-benar berada di bawah air," tulis Center for American Progress (CAP) dalam laporannya, November lalu.
Hasilnya, sektor ini menjadi bernilai sepersekian dari sebelumnya. Dan ini hanyalah satu aspek dari perubahan iklim yang memengaruhi hanya satu sektor tertentu. Pemerintah negara-negara di dunia pada akhirnya akan bertindak untuk mengatasi perubahan iklim yang dapat mengubah apa yang berharga dan tidak berharga.
Sebuah laporan lainnya dari Principles for Responsible Investment (PRI) menemukan bahwa pengetatan kebijakan iklim akan menghapus US$2,3 triliun dari sejumlah perusahaan minyak. PRI adalah grup yang mewakili investor dengan aset yang dikelola sebesar US$86 triliun.
Kelompok-kelompok industri akan selalu memenuhi permintaan selama ada permintaan. Namun, ketika dampak perubahan iklim bertambah buruk, kemungkinan reaksi kebijakan yang keras akan muncul.
Bumi akan makin panas hingga 3 derajat Celcius pada akhir abad ini. Dua kali lipat dari yang diinginkan pemerintah dan para ilmuwan. "Sangat mustahil pemerintah dapat menurunkan suhu bumi menjadi 2,7 derajat Celcius tanpa dipaksa melakukan tindakan cepat," tulis Fiona Reynolds, CEO PRI, bulan lalu.
PRI mengungkapkan, sektor bahan bakar fosil bisa kehilangan sepertiga dari nilainya saat ini karena cadangan batu bara, minyak, dan gas terlantar. Menurut sejarawan Adam Tooze, ada sekitar US$1 trilliun dan US$4 triliun aset energi yang terlantar, serta US$20 triliun di sektor industri lainnya. Namun, yang menjadi perhatian adalah bagaimana dampak yang mempengaruhi berbagai industri tersebut menjangkiti sistem keuangan.
"Stres pada lembaga keuangan yang besar, kompleks, dan saling berhubungan atau stres di perusahaan-perusahaan kecil yang terpapar risiko yang sama dapat menularkan stres di seluruh sistem keuangan," tulis CAP.
Pandangan bahwa ada gangguan pada aset keuangan menjadi makin umum. "Skenario semacam ini, yakni penolakan berlarut-larut diikuti dekarbonisasi yang didorong kepanikan, adalah yang paling penting bagi bank-bank sentral. Itu paling dekat dengan kenyataan kita," tulis Adam Tooze dalam Foreign Policy, awal tahun ini.
Bahkan, ada spekulasi yang menyebutkan efek gabungan dari repricing aset dengan meningkatnya kerusakan fisik terkait perubahan iklim dapat memicu krisis keuangan. Bank, perusahaan asuransi, dan perantara keuangan lainnya terjerat dalam kompleksitas minyak dan gas. Ketika aset-aset itu ditulis nilainya, jumlah korban finansial bisa berlipat ganda. Triliunan dolar bisa lenyap.
Untuk saat ini, pemerintah melanjutkan dengan reformasi seadanya. Dengan peraturan yang sebagian besar masih berada di jalur bisnis seperti biasa, investasi terus mengalir ke sektor-sektor yang berisiko akibat gangguan iklim. Industri minyak telah menggelontorkan US$50 miliar ke proyek-proyek yang tidak selaras dengan perjanjian Iklim Paris sejak 2018.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lili Lestari
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: