Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Solar Mahal, PLN Lebih Pilih Gas

Solar Mahal, PLN Lebih Pilih Gas Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Jakarta -

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan lebih masif memanfaatkan pembangkit dengan bahan bakar gas dibandingkan solar pada tahun ini. Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan PLN berencana menurunkan konsumsi solar pada 2020 lewat gasifikasi pembangkitan dan biodiesel.

 

Sebelumnya, pada 2019 konsumsi solar PLN mencapai 4,2 persen dari total jenis energi pembangkitan. Konsumsi solar pada 2020 ditargetkan sebesar 3,8 persen. Menurutnya, konversi ke gas akan menghemat pengeluaran biaya energi primer PLN.

 

Selama ini, penggunaan solar membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan gas. Harga gas yang lebih murah dibandingkan solar memungkinkan PLN untuk menjadikan pembangkit gas berproduksi saat beban dasar atau base load, tidak sebagai peaker yang selama ini diterapkan.

 

"Ini ada energi impor [solar] dengan biaya tinggi diganti ke energi domestik [gas] yang lebih murah dan berbasis lingkungan, tentu saja punya efek sangat positif, bukan hanya bagi PLN, tetapi juga pemerintah karena bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi," ujar Darmawan, Minggu (19/1).

 

Baca Juga: Di 2019, PLN Sukses Operasikan 130 MW Pembangkit Baru

 

Ia menjelaskan PLN secara bertahap akan melakukan pengalihan pembangkityang semula diesel menjadi gas. Namun, Darmawan menjelaskan PLN akan berhitung penghematan yang bisa dikantongi perusahaan. Ia merinci jika berbanding antara harga beli, gas jauh lebih murah dibandingkan diesel. 

 

Ia menjelaskan PLN membeli solar dengan harga 20 dolar AS per mmbtu sedangkan harga gas yang dibeli oleh PLN sebesar 12 hingga 14 dolar AS per mmbtu. Ia menilai jika melihat harga beli ini maka gas jauh lebih murah. Namun, aspek perhitungan tidak hanya harga beli bahan bakar saja, tetapi juga aspek lain. 

 

"Artinya, ini mengubah energi berbasis impor, sedang kita laksanakan, ditambah lagi cost saving, PLN jalankan ini tidak sendirian, tetapi seluruh komponen," kata Darmawan.

 

PLN pun sudah memetakan sumber pasokan LNG yang dapat berasal dari Kilang Tangguh, Bontang, maupun Kilang Masela yang baru mulai berproduksi sekitar 2026 atau 2027. Ia menjelaskan PLN telah melakukan kontrak take or pay dengan Kilang Tangguh untuk memasok 40 kargo gas alam cair (liquid natural gas/LNG) pada tahun ini dan 16 kargo LNG pada tahun depan.

 

Sementara itu, kebutuhan LNG PLN pada tahun ini sesuai dengan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2020 adalah sebanyak 56 kargo. Pada tahun lalu, realisasi kebutuhan gas PLN mencapai 57 kargo atau lebih tinggi dari RKAP yang sebesar 53 kargo. Semua kebutuhan gas tersebut dipasok dari Kilang Bontang tanpa menggunakan mekanisme take or pay.

 

Meski begitu, agar jauh lebih hemat, Darmawan menilai perlu pembangunan infrastruktur LNG yang masif dari Kilang Tangguh, Kilang Bontang, maupun Kilang Masela dengan skema hub and spoke, yakni kapal bergerak dengan memasok gas ke hub yang lebih besar terlebih dahulu. Pengembangan infrastruktur LNG yang masih akan semakin menekan biaya yang dikeluarkan PLN sehingga efisiensi dapat terjadi.

 

"Seperti apa suatu infrastruktur masif tentu saja kita sesuai perintah dari kepmen, Skala ekonomi tetap penting," ujar Darmawan. 

 

Baca Juga: Tarif Listrik Gak Jadi Naik, PLN Pasrah Aja

 

Pembangkit listrik PLN yang sudah menggunakan gas sampai dengan saat ini tersebar di daerah Sumatera Bagian Utara, Sumatera Bagian Selatan Tenggara, Jawa, Bali, Kalimantan Bagian Timur dan Utara, dan Sengkang di Sulawesi Selatan dengan kapasitas pembangkit sebesar 12.695 MW. Penyaluran gas dilakukan melalui gas pipa, regasifikasi LNG, maupun dengan CNG.

 

Saat ini masih ada pembangkit yang dioperasikan dengan HSD dan tidak layak digasifikasi. Pembangkit tersebut terutama berada di daerah terluar. terdepan, dan tertinggal (3T). Nantinya, pembangkit di 3T yang masih menggunakan HSD akan didorong untuk beroperasi menggnakan Biodiesel atau hybrid dengan EBT.

 

Darmawan menambahkan, PLN juga akan melakukan identifikasi lanjutan terhadap pembangkit berskala kecil yang masih mengonsumsi solar. Konversi ke gas tidak memungkinkan dilakukan pada pembangkit dengan skala kecil tersebut karena berkaitan dengan investasi infrasruktur yang akan lebih tinggi.

 

PLN cenderung akan menyesuaikan konversi pembangkit yang masih mengonsumsi solar dengan kearifan lokal setempat seperti potensi energi baru terbarukan.

 

"Itu yang skala kecil-kecil di pembangkit tua berskala kecil, yang memang ini interm solution, kalau dibangun infrastruktur gas jangka panjang apakah layak," katanya.

 

PLN saat ini telah menetapkan 10 klaster LNG untuk konversi 52 pembangkit listrik ke gas. Adapun pembagiannya yakni klaster Sumatera bagian utara, Kepulauan Riau, Jawa bagian barat, Jawa bagian timur, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Papua bagian utara, Maluku bagian utara, serta Maluku bagian selatan-Papua.

 

Berdasarkan Rencana USaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 - 2028, proyeksi kebutuhan LNG cenderung mengalami peningkatan setiap tahun. Pada 2020, proyeksi kebutuhan LNG sebesar 221 triliun british thermal unit (TBTU). Kebutuhan LNG diproyeksi akan menurun pada 2021 menjadi 215 TBTU. Namun, setelahnya proyeksi kebutuhan terus meningkat yakni 2022 229 TBTU, 2023 264 TBTU, 2024 275 TBTU, 2025 316 TBTU, 2026 354 TBTU, 2027 389 TBTU, dan 2028 417 TBTU.

 

Kebutuhan solar diproyeksi terus menurun, dari 1,8 juta kiloliter (KL) pada 2020 menjadi 1 juta KL di 2021, 403.000 KL di 2022, 408.000 KL pada 2023, dan terendah pada 2024 sebesar 330.000 KL. Namun, setelahnya proyeksi kebutuhan solar justru meningkat menjadi 369.000 KL pada 2025. Proyeksi kebutuhan tertinggi terjadi pada 2028 sebesar 446.000 KL.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: