Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.
Sepenggal syair dari lagu nasional ini menggambarkan negara Indonesia sebagai negeri Pulau. Apa yang dimaksud dengan pulau? Istilah pulau, menurut Wikipedia, adalah sebidang tanah yang lebih kecil dari benua dan lebih besar dari karang, yang dikelilingi air.
Baca Juga: Save Our Sea: Membangun Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat
Kumpulan beberapa pulau ini dinamakan pulau-pulau atau archipelago. Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS ’82) pasal 121 mendefinisikan pulau (island) sebagai daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan selalu di atas muka air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada syarat yang harus dipenuhi sebagai pulau, yaitu (1) memiliki lahan daratan, (2) terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi, (3) dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar, (4) selalu berada di atas garis pasang tinggi.
Sementara menurut Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km beserta kesatuan ekosistemnya.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki lebih dari 10.000 pulau-pulau kecil. Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan merupakan beberapa di antaranya. Adapun karakteristik pulau-pulau kecil tersebut antara lain (1) terpisah dari pulau besar; (2) sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau manusia; (3) memiliki keterbatasan daya dukung pulau; (4) apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya yang khas; (5) ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen.
Sebagian kalangan beranggapan bahwa ekosistem pulau-pulau kecil (luasan kurang dari 2.000 km persegi) di Indonesia dianggap sama antara pulau kecil yang satu dengan pulau-pulau kecil lainnya. Dalam kenyataannya, Indonesia memiliki beberapa tipe pulau kecil, yaitu (1) pulau kecil yang berada di dekat pulau besar, (2) pulau kecil yang berada jauh dari daratan utama, (3) pulau kecil yang berbentuk gugusan pulau kecil. Ketiga jenis pulau tersebut membutuhkan pendekatan berbeda-beda dalam pengelolaanya.
Sementara itu, potensi yang terdapat di pulau-pulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur berbeda, dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga memiliki kondisi lingkungan, sumberdaya lingkungan, serta keanekaragaman yang spesifik dan unik (Bengen dan Retraubun 2006).
Potensi Pulau-Pulau Kecil
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta adanya ekosistem khas tropis dengan produktivitas hayati tinggi. Potensi pulau-pulau kecil terdiri dari potensi sumber daya hayati dan potensi sumber nir hayati. Potensi sumberdaya hayati meliputi: (1) terumbu karang.
Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (1996), manfaat terumbu karang meliputi manfaat langsung sebagai habitat bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan, memijah), batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya. Dan manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya. Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya.
Baca Juga: Save Our Sea: Membangun Asa Via Ekowisata
Dan berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan, dan kosmetika. Selain itu, terumbu karang menjadi daya tarik dan perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai objek penelitian.
(2) Padang Lamun (Seagrass). Secara ekologis, seagrass berfungsi sebagai produsen detritus dan zat hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Di samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi, dan sumber pupuk hijau.
(3). Hutan Mangrove. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis, berfungsi sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain. Ekosistem hutan mangrove juga bermanfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan serta binatang melata lainnya.
Sementara itu, potensi sumberdaya nir hayati pulau pulau kecil terdiri dari (1). Pertambangan. Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil di dunia maupun di Indonesia pada provinsi-provinsi tertentu. Struktur batuan dan geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel, dan lain-lain.
Beberapa aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan umum, eksplorasi, maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain timah di Pulau Kundur, Pulau Karimun (Riau); nikel di Pulau Gag (Papua), Pulau Gebe (Maluku Utara), Pulau Pakal (Maluku); batubara di Pulau Laut, Pulau Sebuku (Kalsel); emas di Pulau Wetar, Pulau Haruku (Maluku); dan migas di Pulau Natuna (Riau).
(2). Energi Kelautan. Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka potensi energi kelautan memiliki prospek sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah Konversi Energi Panas Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), panas bumi (geothermal), ombak, dan pasang surut.
Pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang bernilai ekonomis yaitu sebagai kawasan kegiatan kepariwisataan, media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi, dan jenis pemanfaatan lainnya. Jenis-jenis pariwisata yang dapat dikembangkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah (1). Wisata Bahari. Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar.
Didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (coral reef), khususnya hard corals. Di samping itu, kondisi pulau-pulau kecil tak berpenghuni akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya. Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan internasional, beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang dimilikinya mempunyai rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia.
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang cukup potensial. Beberapa di antaranya telah dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman Nasional (TN) Taka Bone Rate (Sulsel), TN Teluk Cendrawasih, TN Kep. Wakatobi (Sultra), Taman Wisata Alam (TWA) Kep. Kapoposang (Sulsel), TWA Tujuh Belas Pulau (NTT), TWA Gili Meno, Ayer, Trawangan (NTB), TWA P. Sangiang (Jabar), dan lain-lain.
(2). Wisata Terestrial. Yaitu wisata yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata terestrial di pulau-pulau kecil misalnya TN Komodo (NTT), sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (world herritage site) merupakan kawasan yang memiliki potensi darat sebagai habitat komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB sebagai Taman Buru (TB), dengan kawasan hutan yang masih asri untuk wisata berburu dan wisata bahari (diving).
Kondisi Pulau Moyo dimanfaatkan para pengusaha pariwisata sebagai kawasan "Ekowisata Terestrial". Di kawasan ini terdapat resort bertarif relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa tenda-tenda sehingga merupakan "wisata camping" yang dikemas secara mewah. Paket wisata di Kawasan Pulau Moyo ini sudah sangat terkenal di mancanegara sehingga dapat memberikan devisa bagi negara.
(3). Wisata Kultural. Salah satu komponen pulau kecil yang sangat signifikan adalah masyarakat lokal karena sudah lama berinteraksi dengan ekosistem pulau kecil. Berdasar realitas di lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata yang tinggi. Kawasan yang dapat dijadikan sebagai objek wisata kultural, misalnya di Pulau Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya heroik "Berburu Paus secara tradisional" (traditional whales hunter).
Kegiatan berburu paus secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang sangat khas, yang hanya dimiliki oleh Suku Lamalera tersebut. Keunikan budaya dan kearifan tradisional tersebut menjadi daya tarik bagi para wisatawan.
Strategi Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Kecil
Terdapat dua faktor penting dalam strategi pembangunan kegiatan pariwisata nasional. Pertama, faktor internal berupa strategi dan manajemen daya tarik objek wisata, yang terkait mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan, sampai kepada strategi penawaran. Kedua, faktor eksternal berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan pariwisata di Indonesia (Sya’rani 2010 dalam Santoso 2010).
Terkait dengan ekowisata pulau-pulau kecil, upaya perumusan konsep pengembangan dan sistem pengelolaan pulau-pulau kecil harus melibatkan setiap unsur stakeholders. Masyarakat harus tahu benar tujuan dan manfaat upaya pengembangan dan pengelolaan ekowisata pulau-pulau kecil. Selain pengelolaan sumberdaya, pengembangan kelembagaan masyarakat tak dapat dilepaskan. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dan kelompok individu dalam membuat keputusan dan pelaksanaan aktivitas.
Baca Juga: Save Our Sea: Ketika Sampah Plastik Jadi Public Enemy
Pengelolaan sumberdaya berbeda untuk setiap lokasi mengingat perbedaan situasi serta kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada. Oleh karena itu, sebelum ditetapkannya konsep pengembangan dan sistem pengelolaan ekowisata perlu dilakukan tahap-tahap seperti mengidentifikasi kondisi fisik wilayah, mengidentifikasi potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, serta mengidentifikasi permasalahan yang ada.
Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Menurut tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua, pulau vulkanik, dan pulau karang. Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan biofisik yang khas sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan.
Hal ini akan berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan maka kemungkinan besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat nelayan.
Beberapa Permasalahan
Kawasan pulau-pulau kecil termasuk pantainya merupakan sumberdaya alam hayati dan aset wisata bahari yang sangat potensial. Pantai merupakan bagian dari ekosistem pesisir yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena selain berfungsi sebagai daerah penyangga juga dapat berfungsi sebagai daerah wisata. Kebijakan pemerintah terhadap pembangunan wisata bahari mengindikasikan potensi kelautan telah menjadi salah satu andalan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun demikian, terdapat berbagai permasalahan seperti permasalahan lingkungan fisik perairan yang disebabkan oleh berbagai bentuk pencemaran, perrmasalahan ekonomi masyarakat, permasalahan sosial dan budaya yang berimplikasi kepada aktivitas yang bersifat mengganggu kelestarian sumberdaya, serta terbatasnya sarana dan prasarana penunjang.
Semuanya merupakan faktor-faktor yang menghambat pengembangan aktivitas perekonomian di kawasan pulau-pulau kecil (Hutabarat dan Rompas 2007). Permasalahan lainnya adalah
1. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menggantikan UU Pemerintahan Daerah yang lama. Perubahan ini di satu sisi akan meningkatkan efektivitas pengelolaan perairan itu sendiri karena tidak lagi terbagi-bagi antara kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi. Di sisi lain akan menimbulkan permasalahan kompleks dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.
Dengan UU ini, akan terjadi dualisme perencanaan pada ekosistem pulau-pulau kecil tersebut di mana perairannya menjadi bagian dari perencanaan provinsi sedangkan daratannya perencanaannya dikeluarkan oleh kabupaten.
2. Kontribusi keberadaan pulau-pulau kecil masih membutuhkan ekstra perhatian yang lebih khusus kepada warga di wilayah pulau-pulau kecil. Masih terdapat persoalan yang kompleks dan dinamis membelenggu masyarakat kepulauan, beberapa di antaranya yaitu
a. Belum adanya definisi operasional yang mampu mengakomodir keberadaan pulau-pulau kecil secara utuh sehingga tidak jarang di lapangan masih sering terjadi perdebatan, multitafsir, dan asimetris informasi terkait pulau-pulau kecil. Dan yang lebih memprihatinkan adalah perbedaan cara pandang tersebut ikut mempengaruhi intervensi dari pemerintah dan lembaga terkait lainnya kepada warga kepulauan.
Baik intervensi ekonomi, pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia serta kolaborasi dalam mendorong pembangunan bagi warga kepulauan;
b. Ketersediaan data dan informasi yang komprehensif serta akurat tentang pulau kecil sepertinya masih belum menjadi prioritas utama bagi pihak-pihak yang berwenang terhadap pembangunan warga kepulauan. Jika hal ini terus dibiarkan, akan sangat menghambat proses perencanaan dan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia yang notabene bersumber dari informasi yang lengkap dan akurat;
c. Terdapat ancaman geopolitik dan pertahanan keamanan bagi warga kepulauan karena letak dan posisi pulau-pulau terluar Indonesia sangat minim dari sentuhan pembangunan dan pelayanan dasar yang memadai, memaksa warga kepulauan untuk hidup dalam keterbatasan. Tidak jarang mereka mendapatkan bantuan dari negara lain yang memiliki kedekatan secara geografis dengan wilayahnya sehingga dapat memunculkan kekhawatiran jika situasi tersebut terus dipertahannkan akan dapat mengikis nasionalisme warga kepulauan yang memang minim perhatian;
d. Ketimpangan alokasi pembangunan yang masih berorientasi pada pendekatan mindland ikut memperburuk nasib warga kepulauan di mana alokasi pembangunan masih memprioritaskan pada perhitungan luas daratan dan sedikit untuk luas perairannya. Hal ini berimplikasi terjadinya disparitas pertumbuhan wilayah kepulauan yang notabene merupakan daerah yang memerlukan perhatian khusus;
e. Dalam pengelolaan potensi pulau-pulau kecil, pertimbangan wilayah, cakupan dampak (ekologi, ekonomi, sosial) serta kemampuan ekosistem dalam menopang aktivitas eksploitasi semestinya menjadi dasar perencanaan yang harus dipatuhi. Namun dalam praktiknya, banyak aktivitas eksploitasi di kawasan pulau-pulau kecil tidak mengindahkan pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Orientasi pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu alasan yang digunakan untuk menabrak peraturan pemerintah lainnya yang bersifat membatasi. Hasilnya bisa dipastikan selain dapat menimbulkan bencana ekologis juga akan merusak pranata sosial warga kepulauan;
f. Sebagai bagian dari ekosistem global, ancaman ekologis yang tinggi juga dihadapi oleh warga kepulauan baik berupa perubahan iklim, kenaikan muka air laut, degradasi lingkungan, perubahan suhu ekstrem yang ikut mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi warga kepulauan yang notabene ruang geraknya terbatas.
Beberapa Hal yang Perlu Dipertimbangkan
1. Pengelolaan pulau-pulau kecil bisa berjalan baik maka aturan UU Nomor 27 Tahun 2007 serta perubahannya UU Nomor 1 Tahun 2014, harus ditegakkan. Pengelolaan pulau-pulau kecil harus secara terintegrasi dan satu pintu. Tidak bisa dipecah-pecah berdasarkan kewenangan.
Pemerintah pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur yang mengatur integrasi pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai implikasi dari pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2014;
2. Sebagai bagian dari ekosistem kepulauan maka pulau-pulau di Indonesia termasuk pulau kecil harus memiliki peran, posisi, serta potensi yang sangat strategis untuk menjamin keberlanjutan pembangunan Indonesia sebagai bangsa yang utuh dan berdaulat. Selama ini, kontribusi yang sangat tinggi telah diberikan daerah-daerah kepulauan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan bangsa, baik dari sektor pariwisata, industri bahari, pertambangan, jasa lingkungan, energi dan pertahanan.
Dengan potensi kekayaan alam yang bersumber dari sektor perikanan, wisata bahari, minyak bumi, dan transportasi laut, sudah semestinya seluruh warga kepulauan memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi;
3. Implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai perubahan dan ancaman yang cukup kompleks, baik dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, pertahanan keamananan, serta politik nasional maupun internasional. Untuk mengantisipasinya, pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Untuk itu, kebijakan dan strategi nasional harus mampu menyentuh persoalan-persoalan yang sifatnya fundamental.
Dengan tetap mengedepankan prinsip keterpaduan di mana masing-masing pihak dapat bekerja sama dan menjamin pembagian yang adil (fair sharing) terhadap fungsi manajemen, pembagian hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan wilayah pulau pulau kecil;
4. Sinergisitas wilayah, integrasi keilmuan, koordinasi antar-aktor, serta komitmen sektor yang terkait menjadi kunci untuk mendorong pembangunan wilayah kepulauan yang optimal dan berkelanjutan. Hal ini sesuai mandat UU Nomor 27 Tahun 2007 yang menegaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar-sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen.
Akhir kata, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan optimal, dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan sesuai peraturan perundangan yang berlaku agar upaya pelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat segera terwujud. Jika upaya ini menjadi kenyataan maka julukan Indonesia sebagai negara kepulauan memang pantas untuk disematkan kepada negeri yang bernama Indonesia.
Kata kunci harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan sangat relevan dengan apa yang diuangkapkan oleh Mohammad Hatta, pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia pertama: jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: