Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mencoret nama Indonesia dari daftar negara berkembang. Indonesia saat ini dianggap sudah menjadi negara maju oleh negeri paman sam. Tak hanya Indonesia, nasib yang sama juga menimpa China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Ekonom Indef, Bhima Yudistira memandang bahwa keputusan AS memasukan Indonesia menjadi negara maju hanya akal licik sang Presiden yakni Donald Trump yang ingin menekan defisit dagangnya dengan Indonesia.
“Ini kan cuma strategi AS aja untuk menekan defisit dagang dengan Indonesia. Jadi Indonesia dikeluarkan dari status negara berkembang. Fasilitas GSP nya dicabut. Sehingga barang ekspor Indonesia ke pasar AS nantinya akan dikenakan bea masuk yang lebih mahal. Ini akal liciknya Trump aja,” katanya, di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Baca Juga: Amerika Coret Nama Indonesia, China dari Negara Berkembang, Airlangga Hartanto Buka Suara
Pasalnya, menurut Bhima, bila merujuk pada kriteria Bank Dunia penetapan negara berpendapatan menengah atau tinggi itu melihat pendapatan per kapita 1.026-12.375 US$.
“Negara maju itu pendapatan per kapita diatas US$12,375. Sementara Indonesia hanya US$3,840 jadi Indonesia masih tergolong negara berkembang, ujarnya.
Ia pun mengungkapkan bila dengan adanya perubahan status tersebut akan mengakibatkan dikeluarkannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang selama ini banyak pelaku usaha menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS.
Baca Juga: Imbas Corona, BI Revisi Target Pertumbuhan Ekonomi Jadi. . .
“GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin, kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk,” ucapnya.
Bhima memprediksikan sektor tekstil dan pakaian jadi lah yang paling terancam. Tercatat dari Januari hingga November 2019 ada US$2.5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP. Dimana, total sebanyak 3.572 produk indonesia yang memperoleh GSP.
“Ekspor ke pasar AS terancam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai US$864 juta,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: