Hasil Forum Grup Diskusi (FGD) hari ini, Rabu (26/2/2020) di Universitas Andalas menyimpulkan jika UU Cipta Lapangan Kerja atau banyak dikenal Omnibus Law Cipta Kerja bermasalah dan merekomendasikan DPR untuk membahasnya secara serius dengan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam FGD yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Hukum dan HAM (Pusham) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini disampaikan kajian awal Pusham terkait kontroversi RUU Cipta Kerja. Ada beberapa poin penting yang berhasil dipaparkan.
Baca Juga: Gabungan Buruh Akan Lakukan Demo Tolak Omnibus Law 23 Maret Mendatang
Dari aspek pembentukan, RUU ini dinilai tidak sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 sehingga mengakibatkan kebingungan pembaca. Selain itu, proses pembentukan RUU ini belum memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, khususnya asas kejelasan rumusan dan asas keterbukaan.
Sementera itu, dari aspek substansi yang diatur, Pusham menilai ada 6 poin yang bermasalah. Pertama, "fleksibiltas" yang diberikan kepada pemerintah pusat, dalam artian, pemerintah pusat punya kewenangan untuk membentuk regulasi terkait berbagai masalah yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Paradigma ini bertentangan dengan prinsip pembatasan kekuasaan sebagai salah satu syarat negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kedua, adanya over delegasi kepada Peratutan Pemerintah (PP). Dalam draft yang ada, hampir 500 norma delegasi pengaturan ke dalam PP. Over delegasi dapat menyebabkan ruang kontrol terhadap pemerintah makin berkurang dan pada saat yang sama mengurangi kekuatan legislasi DPR.
Masih berhubungan dengan "kekuasaan pemerintah pusat", poin berikutnya yang dinilai bermasalah oleh Pusham adalah adanya berbagai norma yang menarik wewenang pemda menjadi wewenang pemerintah pusat. Contohnya adalah wewenang penyelenggaran penataan ruang, wewenang perizinan pengusaha minerba, wewenang dalam penyediaan tenaga listrik, dan masih banyak lagi.
Keempat, Pusham menilai terdapat berbagai norma yang membuka kesempatan untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang dan/atau penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Di antaranya, dihilangkannya batas minum 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan atau pulau, dihilangkannya syarat "tidak bertentangan dengan ketentuan peratuan perundang-undangan" dalam penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintah, pemberian wewenang untuk memberikan izin usaha jasa pengamanan kepada Polri, dan beberapa pengaturan lainnya.
Kelima, terdapat sejumlah norma yang membuka kesempatan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan impunitas. Seperti dihilangkannya pengaturan tentang tanggung jawab pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas kebakaran hutan dan dihilangkannya izin AMDAL dalam perindustrian sehingga pontensial melanggar hak atas lingkungan hidup yang sehat. Selain itu, penghapusan pengaturan pengupahan dalam UU dan dilimpahkan kepada PP; perlindungan kerja, skema periode kerja, dan waktu libur diserahkan untuk diatur dalam PP; serta perlakukan diskriminatif antara guru/dosen dan guru/dosen lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain terkait sertifikasi.
Keenam, hilangnya kepastian hukum terkait sanksi pidana dan administratif sebagai penggati sanksi pidana. Salah satu alasan yang sering disampaikan ke publik, semua sanksi pidana diakomodasi dalam RKUHP. Namun kenyataannya, RKUHP tidak mengakomodasi. Sebagai contoh, dihilangkannya ketentuan pidana dan diganti dengan ancaman pidana administrasi terhadap pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk, dihilangkannya ketentuan pidana terkait penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah atau gelar secara tanpa hak, dan lain sebagainya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: