Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

5 Tren Teknologi Wujudkan Nilai Bisnis Baru, Wajib Dipertimbangkan Perusahaan

5 Tren Teknologi Wujudkan Nilai Bisnis Baru, Wajib Dipertimbangkan Perusahaan Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Untuk bersaing dan mencapai kesuksesan dalam dunia yang serba digital, perusahaan-perusahaan perlu menetapkan fokus baru untuk mengimbangi nilai yang selalu dikejar dalam persaingan dan pencapaian kesuksesan dengan "nilai-nilai" sesuai harapan pelanggan dan karyawan mereka, menurut Accenture Technology Vision 2020.

Laporan tahunan Accenture edisi ke-20 memprediksi bahwa tren teknologi utama yang akan menata ulang bisnis-bisnis selama tiga tahun ke depan. Accenture Technology Vision 2020 mengidentifikasi lima tren utama yang harus dipertimbangkan oleh perusahaan-perusahaan untuk mewujudkan nilai bisnis baru.

Baca Juga: Ingin Traffic Tinggi Jangan Bergantung pada Google, Tapi?

Lima tren utama itu adalah, pertama, pentingnya personalisasi pengalaman. Maksudnya organisasi-organisasi perlu merancang personalisasi pengalaman yang memperkuat kegiatan dan pilihan seseorang. Hal ini dapat mengubah para pengguna yang pasif menjadi aktif dengan transformasi pengalaman-pengalaman satu arah, yang dapat membuat orang merasa tidak memiliki kendali atas pilihan yang ada dan tidak terlibat menjadi sebuah kolaborasi yang sebenarnya. Lima dari enam eksekutif bisnis dan Tl yang disurvei (85%), di Indonesia (92%), percaya bahwa kesuksesan persaingan dalam dekade baru ini menuntut organisasi-organisasi untuk meningkatkan hubungannya dengan para pelanggan, menjadikan mereka sebagai mitra.

Kedua, Al dan Saya. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/Al) harus memberikan kontribusi pada cara manusia melakukan pekerjaan mereka, bukan hanya menjadi pendukung otomatisasi. Sejalan dengan tumbuhnya kemampuan Al, perusahaan-perusahaan harus memikirkan kembali pekerjaan yang mereka lakukan untuk menjadikan Al sebagai bagian generatif dari proses kerja tersebut dengan kepercayaan dan transparansi sebagai intinya. Saat ini, hanya 37% organisasi, 47% di Indonesia, yang melaporkan penggunaan desain inklusif atau prinsip desain yang berpusat pada manusia untuk mendukung kolaborasi antara manusia dan mesin.

Ketiga, dilema kecerdasan. Asumsi-asumsi tentang siapa yang merupakan pemilik dari suatu produk sedang ditantang di dunia yang memasuki situasi "stagnan dalam tahap beta". Sewaktu perusahaan-perusahaan berusaha memperkenalkan generasi produk baru yang digerakkan oleh pengalaman digital, penanganan untuk hal baru ini menjadi sangat penting dalam mendukung kesuksesan. Hampir tiga perempat (74%) eksekutif, sedang di Indonesia 82%, melaporkan bahwa produk dan layanan yang terhubung dengan organisasi mereka akan memiliki pembaharuan dalam jumlah yang lebih banyak atau jauh lebih banyak selama tiga tahun ke depan.

Keempat, robot di alam terbuka. Robotika tidak lagi terkurung di dalam gudang atau pabrik. Dengan 5G yang siap untuk secara signifikan mempercepat pertumbuhan tren, setiap perusahaan harus memikirkan kembali masa depannya melalui lensa robotika. Pandangan eksekutif tentang bagaimana karyawan mereka akan merangkul robotika terpecah: 45% mengatakan bahwa karyawan mereka akan merasa tertantang dalam mencari cara untuk bekerja sama dengan robot, sementara 55% meyakini bahwa karyawan mereka akan dengan mudah menemukan cara untuk bekerja sama dengan robot. Di Indonesia berbeda, karena (82%) yakin bahwa industri mereka membutuhkan robot di alam terbuka.

Kelima, DNA inovasi. Perusahaan-perusahaan memiliki akses ke sejumlah besar teknologi disruptif yang belum pernah ada sebelumnya, seperti buku besar terdistribusi (distributed ledger), Al, extended reality, dan komputasi kuantum. Untuk mengelola semuanya, organisasi-organisasi perlu membuat DNA inovasi unik mereka sendiri sambil berkembang dengan kecepatan yang dituntut oleh pasar saat ini. Tiga perempat (76%), di Indonesia 83%, eksekutif percaya bahwa kebutuhan untuk inovasi belum pernah setinggi ini. Oleh karena itu, untuk melakukannya dengan "benar", dibutuhkan cara-cara baru untuk berinovasi dengan mitra ekosistem dan organisasi dari pihak ketiga.

Indra Permana, Managing Director Accenture Technology Indonesia mengatakan, mengacu laporan yang berjudul "Kita, Manusia di Era Pasca Digital: Dapatkah perusahaan Anda bertahan melewati bentrokan teknologi (tech-clash )", meskipun teknologi makin melekat ke dalam kehidupan manusia, upaya organisasi-organisasi untuk memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat masih bisa menemui kegagalan. Perlu adanya pola pikir dan pendekatan yang baru pada saat teknologi digital ada di manamana dan perusahaan-perusahaan memasuki dekade pada saat mereka harus memenuhi janji-janji digitalnya.

Walaupun beberapa orang menyebut lingkungan saat ini sebagai "tech-lash," atau serangan balik terhadap teknologi, istilah itu gagal untuk mengakui bagaimana masyarakat menggunakan dan mengambil manfaat dari teknologi. Seharusnya penyebutannya menjadi tech-clash yang merupakan bentrokan antara model bisnis dan teknologi yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.

Dari survei yang dilakukan Accenture untuk laporan Technology Vision terhadap lebih dari 6-000 eksekutif bisnis dan Tl di seluruh dunia, 83% mengakui bahwa teknologi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Bahkan di Indonesia, 97% eksekutif setuju akan pentingnya hubungan tersebut.

"Karena terpesona oleh janji teknologi, banyak organisasi menciptakan produk dan layanan digital semata-mata karena mereka bisa melakukannya, tanpa sepenuhnya mempertimbangkan konsekuensi manusia, organisasi, dan sosial," kata Indra, Kamis (27/2/2020).

Sekarang ini, lanjut Indra, kita melihat bentrokan teknologi yang disebabkan oleh harapan konsumen, potensi teknologi, dan ambisi bisnis dan sekarang kita berada pada titik di mana perubahan kepemimpinan menjadi penting. Banyak perusahaan harus mengubah pola pikirnya dari 'hanya karena' menjadi 'kita percaya karena' dengan meninjau kembali model bisnis dan teknologi fundamental dan menciptakan basis persaingan dan pertumbuhan baru.

Jadi, menurut laporan Technology Vision, penggunaan model yang ada saat ini tanpa memikirkan perlunya inovasi tidak hanya berisiko mengganggu pelanggan atau memutus keterlibatan karyawan, tetapi juga bisa secara permanen membatasi potensi pembaharuan dan pertumbuhan di masa depan.

"Bentrokan teknologi adalah tantangan yang bisa diatasi," tutup Indra.  

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: