Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Target Kemiskinan Ekstrem 0% Jokowi Dikritisi PKS

Target Kemiskinan Ekstrem 0% Jokowi Dikritisi PKS Warga beraktivitas di Blok H, Kompleks Rusunawa Penjaringan, Jakarta, Senin (30/10). Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta pada tahun 2018 akan merevitalisasi dua bangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) yakni Rusunawa Penjaringan, Jakarta Utara dan Rusunawa Karang Anyar, Jakarta Pusat. Revitalisasi tersebut dilakukan karena bangunan sudah tidak layak tinggal. | Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Target kemiskinan ekstrem menjadi 0% alias sudah tidak ada lagi pada 2024 mendatang yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikritisi oleh Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, yang harus direnungkan adalah tidak selamanya statistik dipandang krusial dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. "Memetakan kemiskinan tidak cukup hanya menghitung jumlah orang miskin,” ujar Anis Byarwati, Kamis (5/3/2020).

Baca Juga: Jokowi Target Kemiskinan Ekstrem 0% 2024, Analis Politik: Ini Warning bagi Menteri

Dia menambahkan, selain berfokus pada seberapa besar atau kecil angka kemiskinan, pemerintah juga harus paham tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah-wilayah Indonesia. "Pengentasan kemiskinan harus lebih dari sebatas perkara statistik. Ia harus mewujud dalam pendekatan yang partisipatif," ujarnya.

Artinya, lanjut dia, pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan berbasis pembangunan. "Masyarakat bukan semata dijadikan sampel penelitian dan perhitungan angka-angka kemiskinan belaka," kata legislator asal daerah pemilihan DKI Jakarta I ini.

Dia menjelaskan, angka garis kemiskinan yang dikatakan turun menjadi 1 digit (9,22 persen) itu tampaknya sangat dekat dengan batasan ekstrem penyetaraan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) sebesar US$ 1,9 yang dijadikan acuan Bank Dunia untuk golongan negara-negara berpendapatan rendah.

Padahal, lanjut dia, per tahun 2018 Bank Dunia mencatat GNI Indonesia berada di level US$ 3.840. Artinya, lanjut dia, Indonesia telah masuk ke dalam golongan negara berpenghasilan menengah-bawah (lower-middle).

Dia mengatakan, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan untuk golongan negara penghasilan menengah ke bawah sebesar US$ 3,2 PPP. Karena itu kata dia, dalam menetapkan garis kemiskinan seharusnya Indonesia sudah mengadaptasi garis kemiskinan ke level negara berpenghasilan menengah-bawah.

Karena saat ini Indonesia telah masuk ke dalam golongan negara berpenghasilan menengah-bawah (lower-middle), dia menuturkan, bila dihitung dengan batasan garis kemiskinan US$ 3,2 PPP, Bank Dunia mencatat tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 27,3% di tahun 2017.

"Melihat fakta ini, data kemiskinan 9,22 persen ini agaknya sudah tidak relevan. Apa iya kemiskinan di negara yang katanya merupakan kekuatan ekonomi nomor 10 dunia ini mau disamakan dengan negara berpenghasilan rendah," tuturnya.

Kendati demikian, dia mengapresiasi niat Presiden Jokowi tersebut. "Saya mengapresiasi niat baik Presiden Jokowi untuk menolkan angka kemiskinan," jelasnya.

"Sebuah niat yang mulia untuk menjadikan rakyat sejahtera. Namun, mengentaskan kemiskinan tidak cukup hanya dengan menghitung jumlah orang miskin, perlu upaya serius yang terintegrasi," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: