Pasar saham Indonesia terkoreksi cukup dalam dengan IHSG anjlok -8,20% pada bulan lalu, sementara indeks obligasi pemerintah Indonesia (BINDO) cenderung flat dengan kinerja +0,12%. Volatilitas pasar selalu cenderung meningkat di tengah ketidakpastian yang terjadi, Bank Commonwealth merekomendasikan investor yang memiliki profil risiko moderat untuk sementara dapat menambahkan atau mengalihkan porsi portofolionya ke dalam instrumen pendapatan tetap yakni obligasi. Untuk investor yang memiliki profil risiko agresif dapat memanfaatkan peluang ini untuk menambah porsi aset kelas saham di portofolionya melalui reksa dana saham.
Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya menuturkan bila koreksi yang terjadi saat ini membuat valuasi pasar saham relatif murah. Valuasi IHSG saat ini berada di bawah -2x standar deviasi rata-rata 5 tahun, di mana valuasi saat ini terakhir terjadi pada semester II-2015. Pada saat itu penurunan di pasar saham dipicu oleh faktor global yakni krisis Yunani bukan karena faktor fundamental Indonesia. Pasar saham pada saat itu mengalami recovery dari titik terendahnya hingga mencapai sekitar +16% dalam waktu 4 bulan dan +32% dalam waktu sekitar 10 bulan.
“Jika membandingkan fundamental Indonesia, kondisi saat ini dengan tahun 2015 cukup berbeda. Dalam hal inflasi, saat ini inflasi cenderung stabil di level rata-rata 3,0% year on year sementara pada 2015 sempat menyentuh level 7,26% year on year. Nilai tukar rupiah saat ini stabil di level Rp 14.200 per dolar AS, dibandingkan pada 2015 sempat mencapai Rp 14.600 per dolar AS. Kestabilan rupiah saat ini didukung oleh cadangan devisa sebesar USD131 miliar, jauh lebih besar dibandingkan dengan USD101 miliar pada 2015,” terangnya, dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Baca Juga: Menyikapi Anjloknya Pasar Finansial, Bagaimana Sikap Terbaik Investor?
Selain itu, lanjut Ivan, pemerintah serta bank sentral telah mengambil sikap preventif untuk menahan gejolak perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus ini. Bank sentral China (PBOC) telah memberikan suntikan likuiditas ke pasar sebesar USD174 miliar pada awal Februari. Lalu, PBOC juga memangkas suku bunga Loan Prime Rate (LPR) sebesar 10 bps. Dari bank sentral AS, Federal Reserve, juga merespon dengan melakukan pemotongan suku bunga darurat sebesar 50 bps menjadi 1,25% di awal Maret yang dilakukan di luar jadwal pertemuan bulanannya.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia telah melakukan pemotongan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,75% pada bulan Februari. Disusul pada awal Maret dengan meluncurkan “senjata” untuk meredam outflow asing baik dari pasar rupiah dan obligasi. Dari pemerintah sendiri telah meluncurkan insentif pada industri pariwisata dan penerbangan untuk menopang dampak negatif dari penurunan kunjungan wisatawan mancanegara.
“Dengan kondisi fundamental Indonesia yang stabil, kondisi penyebaran virus corona yang bersifat sementara serta langkah antisipasi dari pemerintah serta bank sentral baik di China, AS, Eropa bahkan Indonesia yang responsif, hingga saat ini kami melihat koreksi yang terjadi bisa dimanfaatkan untuk menyeimbangkan kembali porsi kelas aset saham di dalam portofolio,” ujarnya.
Ivan menyarankan, strategi investasi yang dapat dilakukan pada bulan ini adalah untuk stay in the market dengan menambah serta menyeimbangkan kembali porsi kelas aset saham di dalam portofolio yang tergerus dengan memanfaatkan koreksi yang sedang terjadi saat ini bagi investor yang memiliki profil risiko agresif.
“Investor juga bisa memperbesar ataupun mengalihkan portofolio-nya ke dalam kelas aset obligasi, yang cenderung memiliki volatilitas yang lebih rendah dibandingkan kelas aset saham, bagi investor yang memiliki profil risiko moderat,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: