- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Menyikapi Anjloknya Pasar Finansial, Bagaimana Sikap Terbaik Investor?
Pekan lalu, kondisi pasar finansial berbagai negara merah padam, tak terkecuali Indonesia. Mulai dari instrumen obligasi hingga indeks saham di berbagai belahan dunia "rontok". Kejatuhan ini dipicu oleh lonjakan kasus terjangkit virus corona (COVID-19) di luar China.
Kecemasan investor terhadap meningkatnya kasus epidemi COVID-19 beralasan. Setelah perang dagang antar China dan AS selama tahun lalu mengganggu sisi produksi (supply), kini penanganan wabah COVID-19 dipastikan melemahkan sisi permintaan (demand). Berbagai tindakan karantina kota (lockdown) seperti di Wuhan dan kebijakan menahan pendatang untuk pertemuan komunal (seperti yang diumumkan oleh Pemerintah Saudi Arabia terkait kegiatan ziarah umrah) dapat memperlemah kegiatan transportasi, pariwisata, eceran, hingga perbankan.
Baca Juga: The Fed Ngaku Virus Corona Bikin Ekonomi Global Terancam, Suku Bunga Terpaksa Dipangkas Dalam-Dalam!
Melansir data Bloomberg, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 13,4% sejak awal tahun atau year to date (ytd), kurs tengah Rupiah terhadap Dollar AS (JISDOR) melemah 3,6% pada level 14.234. Sementara, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan total dana asing telah keluar dari pasar obligasi mencapai Rp8,04 triliun (ytd) pada Jumat (28/2/2020) lalu.
Kepala Makro ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, memahami kecemasan investor yang mengurangi atau likuidasi investasi dalam saham. Pasalnya, dengan volatilitas indeks saham (VIX) dan obligasi US (T-bond) yang relatif tinggi, mengindikasikan sikap konservatif investor untuk mengurangi kedua jenis volatilitas aset tersebut guna mengurangi kerugian lebih lanjut.
Akan tetapi, jika mengamati penurunan IHSG, Budi menilai valuasi IHSG relatif paling murah jika dibandingkan bursa regional lainnya. Sebagai perbandingan, selama setahun terakhir, kenaikan annualized average pertumbuhan indeks saham dan earning per share antara indeks S&P (SPX) (16,8%) sekitar tiga kali lebih pesat ketimbang pertumbuhan earning yang hanya sekitar 5%. Proyeksi EPS yang pesat selama tiga tahun terakhir ditopang oleh stimulus fiskal berupa pemangkasan pajak Presiden Trump. Perusahaan banyak menggunakan tambahan dana dari pemangkasan pajak itu untuk membeli kembali (buyback) saham sehingga memicu kenaikan harga saham.
Sementara, kenaikan harga saham pada IHSG alias JCI cenderung lebih rendah ketimbang pertumbuhan laba, terutama setelah era supercycle commodity booming berakhir. Selain itu, meski pertumbuhan EPS IHSG 7,3% lebih rendah dari acuan normatif pertumbuhan GDP nominal, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding sejumlah negara.
"Ketepatan membaca angka dan analisis ini penting untuk menentukan sikap terutama mengantisipasi peluang cuan ketika terjadi krisis. Kendati valuasi dianggap sudah murah, investor tetap perlu berhati-hati terhadap adanya potensi koreksi harga saham sehingga sikap menunggu menjadi lebih tepat," ujar Budi Hikmat, dalam siaran pers, Rabu (4/3/2020).
Untuk itu, lanjut Budi, ada dua hal yang harus dicermati. Pertama, respons perusahaan di AS untuk kembali buyback atau malah berbalik menjual. Kedua, kestabilan kurs rupiah relatif terhadap mata uang regional.
Pertimbangan pertama dilandasi dari pergerakan yang serupa antara IHSG dan indeks S&P. Pergerakan kedua indeks yang sama ini lebih besar ketimbang faktor internal pertumbuhan M1 (persediaan uang riil). Bila perusahaan atau emiten memanfaatkan sebagai kesempatan buyback, ada peluang harga saham akan terjaga. Namun, jika perusahaan menjual saham karena mereka mencemaskan kondisi bisnis, harga saham indeks S&P akan tertekan dan berpengaruh kepada IHSG.
Pertimbangan pertama didasarkan kenyataan adanya co-movement antara JCI dan SPX yang bahkan lebih besar ketimbang faktor internal real M1 growth. Bila perusahaan emiten memanfaatkan sebagai kesempatan buyback, ada peluang harga saham akan terjaga. Namun, bila ternyata perusahaan malah menjual saham karena mereka sendiri mencemaskan kondisi bisnis, harga saham SPX akan tertekan yang berpengaruh kepada JCI.
Stimulus Pemerintah dan Kebijakan BI, sementara itu, sangat penting mencermati respons kebijakan fiskal dan moneter yang berpengaruh pada penguatan ekonomi dan kurs rupiah, mengingat sikap investor asing yang melepas aset, baik saham maupun obligasi akibat adanya antisipasi pelambatan ekonomi dan risiko pelemahan rupiah (currency risk).
Secara fiskal, pemerintah menggelar insentif termasuk dengan mempercepat peluncuran Kartu Prakerja di tiga provinsi, yaitu Bali, Sulawesi Utara, dan Kepulauan Riau. Pemerintah juga menaikkan tambahan manfaat bagi keluarga penerima manfaat (KPM) sebesar Rp50.000 menjadi Rp200.000. Kebijakan ini berlaku selama enam bulan, mulai Maret 2020. Di bidang perumahan, pemerintah menambah kebutuhan anggaran Rp1,5 triliun, untuk subsidi bunga Rp800 miliar dan subsidi uang muka Rp700 miliar.
Di sektor wisata, pemerintah memberi insentif sebesar Rp741,89 miliar untuk menarik wisatawan mancanegara maupun domestik, dengan memberikan insentif berupa diskon khusus maupun kegiatan promosi. Insentif ini mulai berlaku pada Maret, April, dan Mei 2020. Sementara, bagi pemerintah daerah yang terdampak akibat penurunan tarif pajak hotel dan restoran mendapat hibah dari pemerintah pusat sebesar Rp3,3 triliun.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia melakukan stabilisasi melalui kebijakan triple interventions melalui penjualan valas di pasar spot, intervensi melalui forward di pasar domestic non delivery forward (DNDF), dan intervensi pembelian SBN yang dilepas oleh investor asing.
Di era melimpahnya likuiditas uang dan kecilnya kredit, bila bank sentral China (PBoC) melakukan ekspansi serupa bank sentral G3 (AS, Jepang, dan Jerman), suku bunga bakal terjaga rendah. Hal ini akan memberi ruang lebih untuk instrumen pendapatan tetap seperti obligasi di negara berkembang yang pengelolaanya relatif hati-hati (prudent) seperti Indonesia.
Ikuti arus di mana obligasi akan tetap mendahului saham. Selanjutnya, kita perlu mencermati apakah berbagai stimulus pemerintah efektif menopang daya beli. Menyikapi gangguan pada pengiriman barang input dari China, pemerintah sendiri sudah mengajak perusahaan untuk memacu pengadaan bahan baku.
"Berdasarkan pengalaman melintasi berbagai krisis, kondisi saat ini nampak berbeda bila dibanding menjelang krisis 2008. Saat itu, sikap terbaik adalah menahan ketamakan (controlling the greed) karena valuasi saham sudah terlalu tinggi dan jauh melebihi acuan normatif pertumbuhan GDP nominal. Sementara saat ini, kita perlu mengelola rasa takut (managing fear). Masih ada aset investasi yang menarik, terutama SBN yang justru menjadi prasyarat peluang cuan saham," tandas Budi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum