Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) tersungkur 325,24 poin atau hampir mencapai angka 6% pada perdagangan hari ini karena aksi panic selling yang dilakukan investor. Hingga berita ini diturunkan ada sebanyak 386 saham yang melemah, hanya 41 saham menguat, sisanya sebanyak 81 saham tak bergerak.
“IHSG kali ini ikut terdampak aksi panik jual dimana sebagian besar bursa regional ikut tertekan. Menyusul rilis data Consumer Confidence untuk bulan Februari yang mencatatkan adanya penurunan 2.8% MoM. Penurunan saat ini lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya yang diperkirakan hanya berada 2.2%,” kata Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilanus Nico Demus, di Jakarta, Senin (9/3/2020).
Baca Juga: Dalam 3 Jam Saja Tiga Saham Bank Besar Sudah Dibuat Berdarah-darah oleh Asing
Hancurnya kinerja pasar modal tak hanya dialami oleh Indonesia. Bursa saham di Asia seperti di Jepang Nikkei 225 juga anjlok -5,07% ke posisi 19.698,76. Indeks pasar saham Hongkong HSI turun -4,23% ke 25.040,46. Bursa saham China SSE juga ambruk -3,01% ke 2.943,29. TAIEX pun runtuh 3,04% ke 10.977,64. Indeks di Korea, Kospi terjerembab 4,19% ke 1.954,77.
“Indeks pasar saham Asia hari ini bergerak melemah. Pasar saham Asia kali ini mengalami tekanan yang cukup tinggi. Hal tersebut dinilai berasal dari kekhawatiran pelaku pasar setelah Jepang secara resmi mengeluarkan kinerja GDP kuartal 4 2019 dan neraca pembayaran yang meleset dari ekspektasi,” ujarnya.
Baca Juga: Asing Bawa Kabur Ratusan Miliar Rupiah, Pasar Modal Anjlok Parah!
Selain itu, lanjutnya, pelaku pasar saat ini juga memastikan dampak dari pelemahan minyak dunia yang turun cukup signifikan setelah OPEC gagal meraih kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak. Pasalnya, banyak pihak yang mengharapkan adanya penurunan produksi minyak guna menjaga supply dan harga minyak agar lebih stabil.
“Kami melihat hal tersebut memiliki positif dan minusnya. Positifnya, harga minyak yang rendah akan berdampak pada meningkatnya impor bagi negara importir minyak dan rendahnya harga minyak saat ini juga dinilai dapat berdampak pada rendahnya biaya operasional bagi para pengguna di Kawasan industry. Negatifnya, tertekannya harga minyak dunia dapat berdampak pada fiscal negara produsen dimana hal yang sama juga terjadi pada tahun 2016 ketika harga minyak menyentuh US$ 26/barrel,” terangnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: