Hingga 2019, jalan Trans Papua segmen I (Sorong-Maybrat-Manokwari sejauh 595 km) sepanjang 550 km sudah beraspal. Sementara segmen II (Manokwari-Mameh-Wasior-Batas sejauh 476 km) juga telah berhasil ditembus.
Hanya saja, pesatnya pembangunan di provinsi paling Timur Indonesia itu telah memunculkan kecemasan baru. Yakni laju deforestasi (penggundulan hutan) yang tidak terkendali. Padahal, seperti kita ketahui, Papua dan Papua Barat memiliki kawasan hutan perawan yang merupakan sarana paling efektif untuk menyerap gas rumah kaca (GRK).
Tak hanya sampai di situ. Laju deforestasi yang tidak terkendali juga akan secara drastis mengurangi keanekaragaman flora, fauna, dan ekosistem. Hal ini dapat membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati. Padahal, potensi keanekaragaman hayati merupakan sumber daya untuk bahan makanan, serat, bahan pakaian, bahan obat-obatan, bahan mentah industri, dan bahan bangunan.
Oleh sebab itu, menurut Luhut, hutan dan ekosistem Papua dan Papua Barat yang kaya dengan sumber daya alam itu perlu dijaga. Salah satunya dengan menerapkan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada konsep investasi hijau.
"Nanti pemerintah akan memberikan kerangka kebijakannya, sementara pelaku bisnis perlu menyediakan investasi dan dukungan," ujarnya.
Dilihat dari sudut manapun, konsep investasi hijau memang paling cocok dengan kondisi di Papua dan Papua Barat. Soalnya, konsep ini tidak memandang fungsi ekosistem fungsi hutan secara sempit, yakni hanya sebagai menyerap karbon dioksida. Konsep investasi hijau memandang ekosistem hutan yang lebih luas: sebagai tangkapan air, ruang hidup dan perlindungan masyarakat di sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosiokultural yang tidak dapat dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: