Black campaign terkait isu lingkungan yang disuarakan oleh LSM antisawit dalam satu dekade terakhir terus melukai industri kelapa sawit dunia, khususnya Indonesia. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dijadikan sebagai 'kambing hitam' penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan dan deforestasi global.
Black campaign tersebut berhasil menarik simpati konsumen dunia hingga menimbulkan berbagai gerakan boikot produk sawit dan merusak citra industri sawit Indonesia.
Di sisi lain, masyarakat dunia akan semakin bergantung terhadap minyak sawit, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun energi. Diperkirakan permintaan minyak sawit dunia pada 2050 mencapai mencapai 156 juta ton.
Baca Juga: Mujur Tak Boleh Diraih, Malang Tak Boleh Ditolak: Harga CPO Terperosok ke Lantai Dasar
Mengutip Palm Oil Indonesia, untuk memenuhi besarnya kebutuhan minyak sawit dunia, Indonesia sebagai produsen utama minyak sawit dunia harus meningkatkan produksinya.
Namun, peningkatan produksi minyak sawit yang dihasilkan Indonesia tidak lagi dihasilkan melalui ekstensifikasi atau perluasan luas areal kebun sawit. Hal ini dilakukan untuk menghindari penggunaan lahan yang berasal dari hutan (deforestasi), implementasi kebijakan moratorium, dan keterbatasan lahan.
Selain ekstensifikasi, peningkatan produksi minyak sawit juga dapat dilakukan melalui intensifikasi atau peningkatan produktivitas pada perkebunan sawit yang dapat dilakukan dengan kultur teknis dan peremajaan (replanting).
Kultur teknis atau perbaikan Good Agricultural Practices (GAP) dilakukan pada kebun sawit yang masih berada dalam umur ekonomi. Sementara itu, replanting dilakukan dengan cara mengganti tanaman sawit yang sudah tidak produktif atau ekonomis lagi (>25 tahun) atau produktivitas yang rendah (
Proses penebangan pohon sawit dan penanaman ulang dengan menggunakan bibit unggul memang terkesan 'mematikan' usaha kebun sawit. Pekebun sawit atau perusahaan sawit harus menunggu setidaknya empat tahun agar tanaman sawit berbuah sehingga dapat memberikan keuntungan.
Artinya, selama tanaman sawit belum menghasilkan dalam periode replanting, produsen tidak mendapatkan penerimaan. Hal inilah yang menjadi salah satu demotivasi, khususnya pekebun sawit, yang menggantungkan perekonomiannya pada budi daya sawit.
Dugaan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tanaman sawit yang diremajakan memang belum dapat dipanen pada fase tanaman belum menghasilkan (TBM) selama tiga tahun awal, namun pekebun sawit bisa mendapatkan penerimaan, baik dari hasil pengelolaan limbah kebun sawit yang diremajakan maupun polikultur pada lahan sawit yang diremajakan.
1. Batang sawit tua
Batang sawit tua yang ditebang dalam proses peremajaan tidak langsung menjadi limbah yang tak berguna. Air nira yang terdapat dalam batang sawit tua dapat diolah menjadi gula merah sawit. Nilai ekonomi dari gula merah sawit dapat memberikan pendapatan bersih sekitar Rp18–Rp22 juta per hektare.
Tidak hanya itu, pengambilan air nira dari batang sawit juga dapat mengurangi serangan hama kumbang tanduk (oryctes rhynoceros), yang selama ini sering menyerang tanaman sawit yang diremajakan.
Batang sawit tua yang telah diambil niranya tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur atau mebel, kayu lapis, dan flooring. Harga jual batang sawit ini juga tidak jauh berbeda dibandingkan harga kayu alam.
Kualitas dari batang sawit juga sama dengan kayu kelas dua, seperti Meranti, dan jika diawetkan akan semakin meningkatkan kekuatan dan kualitas batang sawit. Selain itu, motif batang atau kayu sawit juga unik sehingga menjadi daya tarik pembeli.
Para peneliti menemukan bahwa sepertiga bagian terluar dari batang sawit--kualitasnya setara dengan kayu Sengon--dapat digunakan sebagai bahan bangunan dengan memberikan perlakukan khusus.
Selain menjadi gula merah, furnitur kayu, dan bahan bangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mengklaim serat pada batang kelapa sawit dapat diolah menjadi bioetanol dan pelet pengganti batu bara.
2. Pelepah sawit
Pelepah sawit dapat diolah menjadi sapu lidi dengan nilai ekonomi mencapai Rp2.500–Rp4.500. Sapu lidi sawit tersebut tidak hanya dipasarkan dalam pasar lokal, namun juga sudah merambah pasar ekspor.
Tidak hanya sebagai sapu lidi, tetapi lidi dari pelepah sawit juga dapat diolah lebih lanjut menjadi piring anyaman cantik. Harga dari piring anyaman tersebut mencapai Rp8.000 per satuan.
Baca Juga: Uni Eropa: Tak Hanya CPO, Tapi Juga Minyak Jelantah!
3. Pola Tanam Polikultur
Polikultur yang dilakukan pada lahan kebun sawit berusia TBM (
Tanaman tumpang sari tersebut tidak hanya sebagai sumber pendapatan tambahan bagi petani, tetapi juga berperan sebagai tanaman penutup tanah (cover crop).
Peneliti di Litbang Pertanian mengungkapkan bahwa pendapatan rata-rata yang dihasilkan oleh pekebun sawit yang membudidayakan jagung pada lahan peremajaan mencapai Rp17,4 juta per hektare per musim tanam dengan harga jual jagung Rp4.350 per kg.
Sementara itu, pendapatan pekebun sawit dari budi daya kedelai sebesar Rp3,98 juta per hektar per musim tanam dengan harga jual kedelai sebesar Rp7.000 per kg.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti