Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Riset: Emisi GRK Gambut Kebun Sawit Lebih Rendah Dibandingkan GRK Gambut Sekunder

Riset: Emisi GRK Gambut Kebun Sawit Lebih Rendah Dibandingkan GRK Gambut Sekunder Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lahan gambut khususnya di wilayah tropis (tropical peatland) terdiri dari komponen organik sisa kayu atau bagian tumbuhan yang lapuk yang kaya akan stok karbon dan menjadi siklus karbon yang penting bagi alam. Karbon yang tersimpan pada lahan gambut dapat hilang baik dalam bentuk gas yang menjadi emisi karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) maupun bentuk terlarut (dissolved organic carbon).

Pembuatan drainase pada lahan gambut dalam alih fungsi lahan menyebabkan terjadinya proses dekomposisi gambut. Proses ini menjadi sumber emisi CO2 terbesar dari lahan gambut.

Melansir laporan Palm Oil Indonesia, argumen tersebut melatarbelakangi LSM pecinta lingkungan dan LSM antisawit mengkritik pemanfaatan lahan gambut untuk budi daya kelapa sawit. Alih fungsi lahan gambut ini dianggap akan berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang kini semakin parah.

Baca Juga: Cerita Suhar: Apa Pun yang Terjadi, Kelapa Sawit Tetap di Hati!

Selain memberikan manfaat sosial ekonomi, kebun sawit juga hadir berkontribusi untuk menambahkan biomassa gambut secara berkelanjutan. Studi Sabiham (2013) menunjukkan bahwa stok karbon bagian atas lahan gambut makin meningkat dengan makin bertambahnya umur tanaman kelapa sawit, bahkan stok karbon pada kebun kelapa sawit berumur dewasa di lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan stok karbon hutan gambut sekunder (degraded peat land).

Tuduhan LSM tersebut keliru karena kehadiran perkebunan sawit di lahan gambut merupakan bagian dari restorasi gambut sekaligus dapat menurunkan emisi GRK lahan gambut. Banyak penelitian juga telah membuktikan bahwa emisi GRK yang dihasilkan kebun sawit yang dibudidayakan di lahan gambut, berkisar 31,4–57 ton CO2 per hektare per tahun atau lebih rendah dibandingkan dengan emisi gambut sekunder (degraded peat land) yang mencapai 127 ton CO2 per hektare per tahun.

Studi IPCC (2014) juga menyebutkan bahwa emisi dari proses dekomposisi gambut yang dihasilkan oleh perkebunan sawit sebesar 40 ton CO2 per hektare per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan emisi dari proses dekomposisi gambut yang dihasilkan oleh hutan tanaman pada lahan gambut dan pertanian pada lahan gambut, baik tegalan maupun campuran (agroforestry) yang mencapai 51 ton CO2 per hektare per tahun.

Fakta-fakta empiris tersebut menjadi bukti bahwa tuduhan LSM antisawit terhadap perkebunan kelapa sawit di lahan gambut adalah tidak benar. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut tidak menyebabkan peningkatan emisi GRK gambut. Justru sebaliknya, kebun kelapa sawit tersebut menurunkan emisi GRK lahan gambut.

Budi daya berkelanjutan yang tepat pada lahan gambut akan menghasilkan perkebunan sawit yang menjadi bagian pembangunan ekonomi, ekologi, dan sosial yang berkelanjutan di Indonesia.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: