Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Seperti Apa Rasisme di AS? Begini Kesaksian Orang-orang Asia yang Tinggal di Negeri Paman Sam

Seperti Apa Rasisme di AS? Begini Kesaksian Orang-orang Asia yang Tinggal di Negeri Paman Sam Kredit Foto: Reuters/Lindsey Wasson
Warta Ekonomi, Jakarta -

Serangan terhadap orang-orang Asia Timur yang tinggal di Amerika Serikat meningkat selama pandemi corona, hal ini mengungkap kenyataan betapa tak nyaman menyandang identitas sebagai orang Asia ataupun China di Amerika.

Seperti kisah Tracy Wen Liu, meskipun dia tidak dilahirkan di AS, Tracy Wen Liu dalam kehidupan sehari-harinya merasa "menjadi warga negara AS". Dia menyaksikan pertandingan sepak bola, menonton Sex and the City, dan menjadi tenaga relawan di tempat penyaluran bahan makanan.

Baca Juga: Isu Ras Jadi Senjata Joe Biden Benamkan Trump

Sebelum pandemi Covid-19, Liu (31) tidak berpikir apa-apa tentang menjadi orang Asia Timur yang tinggal di Austin, Texas. "Jujur, saya pikir saya tidak terlalu menonjol," katanya.

Namun semua itu berubah. Merebaknya pandemi yang telah menewaskan lebih dari 100.000 orang di AS, membuat menjadi orang Asia di Amerika bisa menempatkan Anda sebagai sasaran --dan banyak orang, termasuk Liu, sudah merasakannya.

Dalam kasusnya, Liu mengatakan seorang temannya yang berasal dari Korea Selatan didorong dan diteriaki oleh beberapa orang di tempat berbelanja, dan kemudian diminta untuk pergi, hanya karena dia orang Asia dan mengenakan masker.

Di berbagai negara bagian termasuk New York, California, dan Texas, orang-orang dari Asia Timur diludahi, ditinju atau ditendang --dan dalam salah satu kasus bahkan ada yang ditusuk.

Terlepas dari apa yang dialami seperti kekerasan, perundungan, atau berbagai bentuk pelecehan sosial atau politik yang lebih berbahaya, lonjakan prasangka anti-Asia membuat banyak orang Asia --merujuk pada warga keturunan Asia Timur atau Asia Tenggara-- bertanya-tanya apakah mereka pantas menjadi bagian dari masyarakat Amerika.

"Tujuan saya ketika pertama kali datang ke sini lima tahun yang lalu adalah menyesuaikan diri dengan budaya Amerika secepat mungkin," ujar Liu.

"Lantas pandemi menyadarkan saya bahwa karena saya orang Asia, dan karena penampilan saya atau di mana saya dilahirkan, saya tidak pernah bisa menjadi salah satu dari mereka."

Setelah temannya mengalami hal yang tidak menyenangkan di supermarket, Liu memutuskan untuk memiliki sebuah senjata.

"Saya harap saya tidak akan menggunakannya," katanya, seraya menambahkan, "karena kalau itu terjadi situasi akan menjadi sangat ... sangat buruk, sesuatu yang bahkan tidak ingin saya bayangkan."

Pihak berwenang di New York City dan Los Angeles mengungkapkan berbagai insiden terkait kebencian terhadap orang-orang keturunan Asia mengalami peningkatan.

Sementara itu sebuah pusat pelaporan yang dikelola oleh kelompok-kelompok advokasi dan Universitas Negeri San Francisco mengatakan pihaknya menerima lebih dari 1.700 laporan diskriminasi terkait virus corona dari setidaknya 45 negara bagian AS sejak diluncurkan pada bulan Maret.

Petugas kepolisian yang berada di 13 negara bagian, di antaranya Texas, Washington, New Jersey, Minnesota dan New Mexico, juga bereaksi terhadap berbagai insiden kebencian yang dilaporkan.

Para pengamat mengatakan kalangan yang berada di puncak pimpinan telah memperburuk keadaan --baik Presiden Donald Trump maupun Joe Biden-- dituduh memicu sentimen anti-Asia ke berbagai lapisan masyarakat dengan bahasa yang mereka gunakan ketika berbicara tentang peran China dalam wabah tersebut.

Dan bagi banyak orang-orang Amerika keturunan Asia, selain merasa diserang, mereka juga merasa seolah-olah jati diri mereka sebagai orang Amerika tengah diserang.

Seberapa seriuskah prasangka anti-Asia di AS?

Banyak warga keturunan Asia Amerika dan orang-orang Asia di Amerika mengutarakan perubahan drastis yang mereka alami setelah wabah melanda.

Kimberly Ha misalnya, perempuan berusia 38 tahun, mengatakan dia merasakan perbedaan itu pada bulan Februari, setelah ada orang asing yang mulai meneriakinya saat dia berjalan dengan anjingnya di New York.

"Dia berteriak: 'Saya tidak takut pada orang-orang China yang radioaktif' dan mulai menunjuk ke arah saya, lalu dia berteriak lagi 'kalian tidak boleh berada di sini, keluar dari negara ini, saya tidak takut dengan virus ini yang kalian bawa," perempuan keturunan China Kanada yang sudah tinggal di New York selama lebih dari 15 tahun itu menuturkan.

Pada minggu-minggu berikutnya, dia juga memperhatikan ada "satu dari 10" orang yang dia temui di depan umum tampak marah saat menatapnya. "Saya belum pernah merasakan tingkat permusuhan seperti itu sebelumnya," katanya.

Sementara Madison Pfrimmer (23) yang tinggal di California, sudah mendengar tentang berbagai serangan anti-Asia.

Bulan April lalu, dia membantu pasangan lansia China di sebuah supermarket di Los Angeles. Madison menerjemahkan ketika mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang marah-marah sembari melontarkan sumpah serapah dan melemparkan botol air mineral ke mereka dan menyemprotkan disinfektan.

"Dia berteriak, 'beraninya kalian datang ke toko tempat keluarga saya berbelanja, beraninya kalian datang dan merusak negara saya. Kalian adalah alasan mengapa keluarga saya tidak dapat menghasilkan uang,'" kenang Madison yang memiliki keturunan China.

Madison mengatakan dia mencoba berdamai dengan perempuan yang memarahinya karena membantu menerjemahkan untuk pasangan lansia itu dan melemparkan botol minuman ke arahnya, hingga membasahi kakinya.

Perempuan itu lalu melintas lagi ketika mereka tengah antre di kasir, sambil menyemprotkan sesuatu yang tampak seperti pengharum ruangan atau disinfektan ke arah tubuh mereka, tak cukup sampai di situ dia juga mengejar pasangan lansia itu sampai naik ke mobilnya.

Di sana dia mengambil foto mereka sambil berteriak "itu salahmu" , dan melontarkan kata-kata kasar seperti "China", "semua orang-orang kotor" dan "komunisme".

"Saya berlari menghampiri pasangan itu, memberi tahu mereka dalam bahasa Mandarin untuk masuk ke dalam mobil mereka, dan memasukkan barang-barang belanjaannya --saya menyodorkan telur lewat kaca mobilnya," kata Pfrimmer.

Perempuan itu terus mengikutinya sambil mengemudi --sampai akhirnya Pfrimmer sengaja mengarahkan kendaraannya mendekati sebuah kantor polisi.

Kelompok-kelompok HAM Asia dan San Francisco State University bekerja sama untuk memulai database bernama STOP AAPI HATE, yang mencatat laporan diskriminasi Covid-19 yang diarahkan pada orang-orang Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik di AS.

Mereka menerima berbagai laporan dari 45 negara bagian, di mana sebagian besar kasus-kasus tersebut terjadi di California dan New York.

Insiden yang tercatat sejauh ini yang paling umum terjadi berupa pelecehan secara verbal. Namun penyerangan fisik, diskriminasi di tempat kerja, dan vandalisme muncul juga dalam database - kaum perempuan lebih banyak menjadi sasaran ketimbang laki-laki.

Russell Jeung, seorang profesor studi Asia-Amerika di San Francisco State University yang sudah menjalankan database tersebut, mengatakan dia menemukan begitu banyak insiden orang-orang yang "terkena batuk atau diludahi" sehingga dia menambahkannya sebagai kategori tambahan.

Itulah yang terjadi pada Ted Nghiem, seorang warga Amerika keturunan Vietnam di Philadelphia. Dia mengatakan pada bulan Maret, seorang pria menyumpahinya sembari berteriak "keluar dari sini, Anda menyebabkan virus corona" --tetapi itu tidak terlalu mengganggunya.

Namun, setelahnya di bulan yang sama seorang pria meludahinya ketika dia berjalan melintasinya, insiden itu "benar-benar membuatnya terpuruk selama satu atau dua hari".

"Saya memang melapor pada polisi tetapi saya tidak tahu apakah ada sesuatu yang terjadi, beruntung saya tidak tertular," kata Nghiem.

Database STOP AAPI HATE didasarkan pada pelaporan mandiri online. Analisis wawancara BBC yang terpisah dan laporan media AS mendapati liputan lebih dari 100 dugaan insiden sejak Januari yang tampaknya menargetkan orang-orang Asia.

Sekitar 70 persen dari insiden itu memiliki kaitan yang jelas dengan pandemi, dan sekitar 40 persen kasus dilaporkan ke polisi.

Beberapa insiden mencapai batas kejahatan rasial. Polisi Kota New York mengatakan mereka telah menyelidiki 14 kejahatan rasial terkait Covid-19, yang melibatkan 15 korban warga Asia. Setidaknya ada sembilan serangan fisik di negara bagian itu.

Di California, seorang lansia dipukul dengan sebatang besi, dan seorang remaja dibawa ke rumah sakit setelah diserang secara fisik. Di Texas, seorang anak berusia dua tahun dan enam tahun yang berasal dari satu keluarga Asia ditikam di sebuah supermarket.

ABC News yang memperoleh laporan dari FBI mengatakan bahwa "pelaku mengindikasikan bahwa dia menikam keluarga itu karena dia pikir keluarga itu orang China, dan menularkan virus corona kepada orang-orang".

Diketahui keluarga itu berasal dari Asia Tenggara. Beberapa orang Asia juga melaporkan mereka ditolak dari berbagai layanan seperti kamar hotel, atau naik transportasi Uber, karena etnis mereka.

Matt (bukan nama sebenarnya), seorang dokter keturunan China Amerika yang bertugas di ruang gawat darurat di Connecticut, melihat beberapa pasien minta dirawat di rumah sakit karena mereka mengatakan orang Asia batuk di dekat mereka.

Secara pribadi dia sendiri mengalami bias anti-Asia saat dirinya berupaya merawat seorang pasien yang diduga menderita Covid-19.

"Saya memakai APD, berjalan masuk dan memperkenalkan diri. Begitu mereka mendengar nama keluarga saya, mereka seperti `jangan sentuh mereka, apakah ada dokter pengganti --bisakah Anda tidak mendekati saya'."

Banyak kalangan minoritas lain menghadapi lebih banyak "jenis diskriminasi terang-terangan yang lebih buruk", ujar Matt --namun dia khawatir insiden seperti yang dia alami akan menurunkan moral para pekerja medis.

"Ini adalah kondisi yang membuat stress --jam kerja kami lebih panjang, mengenakan APD sepanjang waktu, dan banyak dari kami yang terpapar Covid-19."

Jika dia terlihat seperti orang China, dia akan diserang

Virus ini berasal dari Wuhan, China, dan sebagian besar retorika Presiden Trump berfokus pada apa yang dia sebut sebagai kegagalan negara itu untuk mengatasi wabah Covid-19.

Awal tahun ini, Trump berulangkali menyebut virus corona sebagai "virus China" --istilah yang menurut para pengamat tidak membedakan antara China, pemerintah China, dan orang-orang dari etnis China.

Dia lantas menyerukan agar orang-orang Asia-Amerika dilindungi, dengan mengatakan "penyebaran virus bukanlah kesalahan mereka dalam bentuk atau bentuk apa pun".

Namun hal itu tidak membuat warga keturunan China Amerika luput dari serangan --mereka ataupun orang-orang dari Asia Timur lainnya tetap menjadi sasaran.

Prof Jeung mengatakan sekitar 40% dari laporan yang dia terima berasal dari etnis China --tetapi sebagian besar kasus berasal dari etnis Asia Timur lainnya.

"Itu adalah contoh profil rasial --bahwa 'jika dia terlihat seperti orang China, dia akan diserang'."

Mengapa orang Amerika keturunan Asia masih dipandang sebagai orang luar?

Orang Asia di AS berasal dari beragam etnis, negara, dan latar belakang, dan sering kali memiliki keyakinan dan identitas politik yang berbeda.

Sekitar 20 juta penduduk AS --atau sekitar 6 persen dari populasi AS-- adalah orang Asia, menurut data sensus. Angka tersebut termasuk orang Amerika-Asia, serta orang-orang dari Asia Selatan dan Timur yang tinggal, belajar atau bekerja di AS.

Beberapa penduduk Asia, seperti orang Amerika Bhutan, lebih cenderung menjadi imigran yang lahir di luar negeri, sementara yang lain, seperti orang Jepang-Amerika, kemungkinan besar berasal dari keluarga yang telah tinggal di AS selama beberapa generasi.

Sekitar tiga juta wisatawan yang mengunjungi AS setiap tahun berasal dari China.

Tapi prasangka berbasis ras terhadap orang Asia di AS tidak pandang bulu, apakah seseorang mengidentifikasi diri sebagai orang Asia-Amerika, berharap menjadi orang Amerika, atau hanya berkunjung.

Orang-orang Asia Amerika menggambarkan beberapa pengalaman yang lazim terjadi --termasuk bahwa mereka dilihat sebagai "selamanya menjadi orang asing" bahkan sebelum pandemi.

Ras, seperti banyak kategori sosial, (adalah) hal yang mengatakan Anda adalah bagian dari kategori ini (yang) jelas terlihat oleh semua orang," kata Debbie Ma, seorang profesor psikologi di California State University, Northridge.

"Karena itu," tambahnya, "sangat mudah melabeli dan menetapkan stereotip dan asosiasi dengan kategori-kategori itu" --bahwa orang Asia Timur adalah orang asing.

Debbie Ma pernah menyusun sebuah penelitian tahun 2008, dia menemukan bahwa responden yang terdiri dari para mahasiswa AS dari berbagai latar belakang ras dan usia - lebih cenderung secara implisit menganggap Kate Winslet, aktris Inggris, sebagai "orang Amerika", dibanding Lucy Liu, bintang kelahiran New York yang memiliki keturunan China.

Matt mengatakan dia selalu dipuji "Anda berbicara bahasa Inggris dengan baik", dan ditanya dari mana asalnya, bahkan ketika dia menjelaskan bahwa dia dilahirkan di AS.

Sementara itu, Prof Jeung mengatakan: "Meskipun keluarga saya sudah di AS selama lima generasi, saya masih dipandang sebagai orang asing."

Dr Ma mencatat bahwa ini adalah "beban khusus" yang dialami orang Asia di Amerika secara berbeda dari minoritas lainnya. Misalnya, "tidak ada yang terkejut ketika seorang Amerika kulit hitam berbicara bahasa Inggris dengan sangat baik," meskipun orang Afrika-Amerika menghadapi serangkaian prasangka lain, katanya.

Saat ini, beberapa orang Asia-Amerika masih menggambarkan perasaan mereka seperti "dalam masa percobaan", dan perlu membuktikan status mereka sebagai warga AS --sebuah situasi yang telah secara signifikan memburuk di tengah wabah.

Andrew Yang, seorang mantan kandidat Partai Demokrat untuk presiden, menulis pada bulan April di Washington Post, "Beberapa tingkat penghinaan atau keterasingan telah tumbuh menjadi permusuhan langsung dan bahkan agresi."

Dia meminta orang-orang Asia-Amerika untuk "menunjukkan ke-Amerika-an dengan cara-cara yang tidak pernah dimiliki sebelumnya" misalnya, dengan membantu tetangga dan mengenakan "merah putih dan biru".

Namun, dia juga dituduh menyalahkan korban karena muncul untuk menginternalisasi anggapan bahwa orang-orang Asia, berdasarkan etnis mereka, tidak cukup menjadi orang Amerika.

Bagaimana orang-orang Asia di AS menanggapi berbagai serangan?

Bagi sebagian orang, meningkatnya sentimen anti-Asia terasa jelas dan berbahaya.

Tidak ada data komprehensif tentang pembelian senjata di AS, namun berbagai laporan dari para pemilik toko senjata menunjukkan bahwa lebih banyak orang Asia yang menjadi pembeli di tengah kenaikan penjualan.

Donghui Zang (49) warga Amerika keturunan China mulai mengorganisir patroli di lingkungan sekitarnya di kawasan Queens, New York. Di sana lebih dari 200 anggota kelompok itu bergantian berkeliling dan melaporkan kegiatan mencurigakan kepada polisi. Baru-baru ini anggota patroli termasuk Zang mengajukan izin kepemilikan senjata api.

Zang, yang menyebut dirinya konservatif secara sosial, percaya bahwa orang Amerika keturunan China harus mempersenjatai diri "jika terjadi gejolak sosial dan meroketnya kejahatan".

Max Leung, salah satu pendiri San Francisco Peace Collective, mengatakan kelompoknya melakukan patroli di Chinatown untuk membantu menghentikan kasus vandalisme dan pencurian.

"Budaya yang ingin saya ciptakan dalam kelompok kami adalah mempromosikan perdamaian, bukan melanggengkan kekerasan." ujar Leung.

Seniman dan komedian juga terinspirasi untuk bersuara --termasuk artis hip hop Jason Chu, yang memulai kampanye Hate is a Virus, dan menulis lirik rap tentang insiden anti-Asia.

Dia mengatakan rap itu bertujuan untuk menunjukkan "konyolnya orang-orang yang menargetkan orang-orang Asia-Amerika", dan juga "menekankan fakta bahwa orang-orang Asia-Amerika adalah warga di sini".

"Kami bukan tamu di Amerika --kami lahir di sini-- di sinilah orang tua kami membesarkan kami. Kami mengatakan bahwa kebencian tidak memiliki tempat di negara kami."

Secara umum, ada harapan bahwa kesadaran baru akan diskriminasi ini akan mengarah pada komunitas Asia yang lebih kuat di AS - dan solidaritas lebih dengan etnis minoritas lainnya.

Prof Jeung mengatakan dia telah melihat contoh-contoh orang Asia-Amerika "mengakui kepentingan bersama mereka, dan memobilisasi sebagai kelompok dan komunitas politik".

Orang-orang Asia dari berbagai lapisan kehidupan sekarang "mendapati diri mereka memiliki pengalaman yang sama" karena diskriminasi yang terkait dengan pandemi.

"Kita semua menghadapi proses ini, profil rasial, bersama-sama. Jadi mudah-mudahan, kita akan bersama-sama memerangi rasisme, dan membangun empati terhadap orang lain."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: