Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ahli Coba Beberkan Alasan Tingginya Tingkat Kematian Anak-Anak Akibat Covid-19 di Indonesia

Ahli Coba Beberkan Alasan Tingginya Tingkat Kematian Anak-Anak Akibat Covid-19 di Indonesia Kredit Foto: Unsplash/Luma Pimentel

Mengapa angka kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tinggi?

Angka kasus dan kematian anak akibat pandemi Covid-19 yang tinggi, menurut dr Aman, menunjukkan lemahnya ketahanan kesehatan anak Indonesia.

"Diare dan pneumonia masih menjadi pembunuh nomor satu dan dua di Indonesia, angka TBC kita nomor dua di dunia, angka stunting kita tinggi, malnutrisi kita tinggi, coverage imunisasi kita rendah," jelas dokter yang juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia Pasifik ini.

Baca Juga: WHO Klaim Anak-anak Positif Corona Akan Segera Pulih Sepenuhnya karena...

Dr Aman menduga, faktor-faktor ini menjadi penyebab Covid-19 pada anak di Indonesia bisa berakibat fatal.

"Faktor komorbid pada kita bukanlah diabetes atau penyakit lain semacamnya. Jadi kalau kita lihat, komorbidnya kalau pada bayi tentulah bukan penyakit yang aneh-aneh, karena [kelompok anak] yang paling banyak meninggal itu adalah kelompok umur 29 hari sampai 1 tahun baru kemudian kelompok balita," katanya.

Namun, dr Hermawan Saputra, anggota dewan pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia juga mengingatkan untuk berhati-hati dalam mengaitkan faktor kerentanan anak dengan faktor seperti stunting atau kekurangan gizi. "Saya ambil contoh di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dengan jumlah kasus Covid-19 pada anaknya cukup signifikan," jelasnya.

"Memang Lombok Timur adalah salah satu daerah yang prevalensi stunting-nya tinggi. Tapi, apakah ada hubungan antara keduanya, kita harus hati-hati menyimpulkan karena belum ada riset yang lebih detil soal itu," kata Hermawan.

Dr Hermawan juga mengingatkan soal aspek perilaku yang bisa menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kasus dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia. Menurut dia, ada kesenjangan informasi antara masyarakat di kota besar dan di daerah luar kota yang menyebabkan masyarakat di luar kota besar lebih permisif pada aturan-aturan semasa pandemi.

Hermawan mencontohkan, ada orang tua yang ke luar rumah bersama anaknya dengan menggunakan masker, tetapi anaknya tidak menggunakan masker.

"Mungkin karena orang tua tidak paham bahwa anak juga harus memakai masker, atau bisa jadi tidak ada masker yang tersedia untuk anak-anak, atau ya memang cenderung menganggap enteng," tutur dr Hermawan.

Anak bukan miniatur orang dewasa

Hal lain yang menurut IDAI penting untuk diwaspadai adalah pelayanan imunisasi dan vaksinasi untuk anak yang terhambat saat pandemi ini. "Coverage [imunisasi kita secara nasional hanya 60 persen. IDAI sudah merekomendasikan agar ini tetap berjalan, tapi Dinas Kesehatan kurang meng-endorse-nya."

Namun, Aman menegaskan, IDAI tidak menyalahkan puskesmas atau posyandu yang berhenti melayani di masa wabah virus corona ini. "Mereka juga mungkin takut, tidak punya keahlian membedakan anak yang sakit dan sehat saat ini, belum lagi ketiadaan APD," katanya.

Di luar rendahnya cakupan imunisasi nasional, hasil penelitian terbaru dari organisasi "Save the Children" mencatat cakupan imunisasi diprediksi akan menurun lagi hingga 30 persen karena Covid-19.

Akibatnya, 10 juta anak berpotensi tidak mendapatkan imunisasi sehingga jutaan anak akan rentan terhadap berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti tuberkulosis, campak, dan pneumonia.

"Jika imunisasi kita secara nasional turun menjadi di bawah 50 persen, bisa dibayangkan tahun 2021 nanti seluruh wabah penyakit akan timbul semua," kata dr Aman, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Dr Aman juga mengingatkan kebutuhan anak dalam masa tumbuh kembangnya sangat berbeda dengan orang dewasa. "Anak bukan miniatur orang dewasa. Mereka punya kebutuhan yang berbeda karena fisiknya masih bertumbuh dan berkembang, demikian pula otaknya."

Tak cukup menunda masuk sekolah

Memasuki masa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang disebut di Indonesia sebagai "new normal", rencana pembukaan kembali sekolah membuat resah sebagian besar masyarakat. IDAI termasuk yang mendukung agar anak-anak tetap belajar di rumah.

Awal pekan lalu (1/6/2020), Menteri Pendidikan Muhadjir Effendi mengatakan, Presiden Jokowi akan menunda masuk sekolah sampai akhir tahun 2020 karena "terlalu besar risikonya untuk anak".

Meski menyambut baik upaya pemerintah yang menunda masuk sekolah hingga akhir tahun 2020, IDAI mengingatkan, rencana ini tidak cukup. "Kami apresiasi [penundaan masuk sekolah]. Tapi kapasitas tes juga harus ditambah dan pelayanan kesehatan untuk anak terus berjalan," kata Aman.

Untuk keperluan ekstrapolasi data secara akurat, IDAI menyarankan agar pemerintah dan pihak swasta melakukan pemeriksaan rt-PCR secara masif, yakni 30 kali lipat dari jumlah kasus konfirmasi Covid-19, termasuk juga pada kelompok usia anak.

Sementara itu, dr Hermawan mengakui memang ada tantangan topografi, geografi, dan demografi Indonesia jika dikaitkan dengan kapasitas deteksi atau tes Covid-19. Namun, menurutnya, masyarakat bisa melakukan community-based fighting initiative, di mana masyarakat mulai dari RT, RW, Kepala dusun atau kampung, berinisiatif menyadarkan masyarakatnya, termasuk untuk melakukan isolasi mandiri.

"Bila memang ada kebutuhan pelayanan atau penanganan kesehatan, barulah kelompok ini berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan lanjut seperti puskesmas atau rumah sakit," kata dr Hermawan.

Namun, untuk "new normal", Hermawan berpendapat, kondisi ini belum pantas diwacanakan seperti yang sudah diributkan saat ini.

"The New Normal di Indonesia belum pantas diwacanakan saat ini, pada awal Juni. Mungkin bisa diwacanakan pekan keempat Juni untuk implementasinya pada Juli atau Agustus, itu pun dengan prasyarat-prasyarat yang cukup komprehensif," pungkasnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: