Dia merinci, posisi jumlah uang beredar di Indonesia saat ini relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Rasio uang primer terhadap PDB (M0/PDB) hanya ada di kisaran 6%. Padahal, di Thailand dan bahkan Vietnam, M0/PDB bisa mencapai 14%. Tambahan uang kartal dengan kebijakan cetak uang baru sebesar Rp1.000 triliun diperkirakan akan meningkatkan M0/PDB dari 6% menjadi 15%, atau kurang lebih sama dengan Thailand dan Vietnam.
Sementara rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian sempit (M1) dalam lima tahun terakhir (2015-2019) sangat rendah, yaitu sekitar 11% (yoy), jauh di bawah pertumbuhan M1 semasa krisis ekonomi tahun 1998 yang mencapai 29% yoy.
Apalagi bila dibandingkan dengan pertumbuhan M1 pada 1963-1965 yang secara rata-rata lebih dari 200% yoy sehingga kemudian menyebabkan terjadinya hiperinflasi.
Jumlah uang beredar di Indonesia akan terlihat jauh lebih kecil lagi, jika diukur menggunakan rasio uang beredar dalam artian luas (M2) terhadap PDB. Saat ini rasio M2 terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 38%.
Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara Asean lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam yang masing-masing mencapai 125%, 124%, dan 158%. Apalagi bila dibandingkan dengan Tiongkok yang M2/PDB-nya hampir mencapai 200%, atau Jepang yang di atas 200%.
"Dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah, Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi," katanya.
Dia melanjutkan, jika melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, Core Indonesia berkeyakinan bahwa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti