Secara historis, Indonesia pernah melakukan kebijakan cetak uang (money creation) pada masa orde lama yang mengakibatkan hiperinflasi, yakni stadium akhir dari penyakit inflasi. Namun, ada beberapa hal yang mesti dicatat mengapa kebijakan cetak uang pada medio 1960-an itu menyebabkan hiperinflasi.
"Dari sisi produksi, ketika itu perekonomian Indonesia mengalami stagnasi, bahkan pertumbuhannya melambat dari periode sebelumnya," katanya.
Dia melanjutkan, ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini.
Baca Juga: DPR Usul Cetak Uang Rp600 T, Rizal Ramli: Permainan Bahaya!
Pertama, sebagaimana diuraikan sebelumnya pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar. Pasalnya, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sementara kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus. "Selain itu pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan," katanya.
Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik. Memang benar beberapa industri mengurangi aktivitas produksi sebagai respons dari penurunan daya beli masyarakat.
"Namun secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Bahkan, jika relaksasi kebijakan PSBB dilakukan dengan baik, aktivitas industri berpotensi dapat kembali normal secara bertahap," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti