Sering Dapat Sikap Rasis, China Larang Warganya Pergi ke Australia
Multikulturalisme Australia
Ditanya apakah China ingin merusak hubungan diplomatik dengan mengeluarkan larangan perjalanan, Menteri Birmingham mengatakan hal itu tidak jelas.
"Pernyataan ini jelas tidak membantu. Itu tidak diragukan lagi," katanya.
Warga China tercatat sebagai sumber turis terbesar bagi Australia, mencapai 1,4 juta pengunjung jangka pendek pada tahun 2019.
"Larangan ini merupakan taktik intimidasi," kata Dr Delia Lin. "China tidak melihatnya sebagai intimidasi, mereka melakukannya sebagai cara menunjukkan kekuatan."
Menteri Birmingham mengatakan, kebijakan multikulturalisme Australia sangat menonjol di dunia.
"Itulah yang membuat saya frustrasi dan kecewa sehubungan dengan pernyataan China," katanya.
"Tidak diragukan lagi bahwa Australia adalah salah satu negara yang paling inklusif, salah satu negara yang paling toleran," tambahnya.
Menteri Birmingham mengaku terus berusaha berdialog dengan mitranya Menteri Perdagangan China, Zhong Shan, namun hingga kini belum mendapat tanggapan.
Menteri Zhong sebelumnya menyatakan pengenaan tarif impor 80 persen pada gandum Australia dilakukan dengan hati-hati.
Menurut Profesor Golley, China sudah sangat mahir dalam menggunakan tekanan ekonomi untuk mengirim pesan geopolitik.
Bantah peningkatan serangan rasis
Wakil Perdana Menteri Michael McCormack sebelumnya membantah adanya peningkatan serangan rasis di Australia.
"Belum ada gelombang kekerasan terhadap orang-orang keturunan China," katanya.
Sebelumnya dilaporkan adanya warga keturunan Asia yang mengalami insiden rasis di Australia di tengah pandemi.
Pada Maret lalu, mahasiswa asal Hong Kong di Hobart ditinju wajahnya karena mengenakan masker di sebuah supermarket.
Pada April, dua mahasiswa Universitas Melbourne dilecehkan secara verbal dan diserang secara fisik oleh dua wanita yang meneriaki mereka "coronavirus".
Pada bulan yang sama, polisi Queensland mengatakan ada 22 pelanggaran bermotif rasial terhadap warga keturunan Asia di negara bagian itu.
Pada bulan Maret, seorang remaja jadi tersangka karena menyerang backpacker asal Korea Selatan tahun dan menuduhnya sebagai pembawa virus corona ke Australia.
Sejumlah penyewa asal Asia juga diusir dari rumah sewa karena takut menyebarkan virus corona. Tindakan vandalisme terhadap rumah keluarga keturunan China terjadi tiga kali dalam satu minggu di bulan April.
"Apakah China benar-benar peduli dengan keselamatan warga mereka? Tentu saja," kata Profesor Golley.
"Selama COVID-19, kita melihat kedutaan mereka fokus pada keselamatan warga negara mereka," jelasnya. "Tetapi kini mereka memanfaatkan hal itu untuk mengirimkan pesan politik," katanya.
Sejumlah warga keturunan China di Australia yang dihubungi ABC menyatakan larangan perjalanan yang dikeluarkan Beijing mungkin lebih merugikan.
Selama pandemi COVID-19, warga asing yang tinggal di China juga dilaporkan mengalami serangan rasis.
Sejumlah negara Afrika telah menyatakan keprihatinan atas perlakuan diskriminatif terhadap ekspatriat Afrika di China, termasuk menyita paspor, memaksa masuk karantina dan mengusir mereka dari tempat tinggalnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: