Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lawan Pandemi Covid-19, Baiknya Cetak Uang atau Berutang?

Lawan Pandemi Covid-19, Baiknya Cetak Uang atau Berutang? Pekerja menghitung uang Dollar Amerika Serikat dan Rupiah di sebuah tempat penukaran uang di Jakarta, Kamis (28/3/2019). Pada penutupan perdagangan, Rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan Asia setelah ditutup melemah 0,25 persen ke level 14.243. | Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pandemi Covid-19 membuat dunia bergejolak, termasuk Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga Hartarto mengatakan perekonomian Indonesia pada kuartal II 2020 akan lebih buruk dan negatif.

Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan pun sampai memberikan kemungkinan skenario sangat berat, yaitu ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,4% pada 2020.

Skenario sangat berat yang menyebabkan defisit anggaran tersebut mungkin terjadi karena produktivitas dan konsumsi berhenti akibat dari pembatasan sosial secara fisik. Negara mengalami beban ekonomi berlipat-lipat, yaitu mengeluarkan anggaran jaminan sosial bagi warga terdampak, menurunkan pendapatan negara dari sisi pajak, memberikan insentif bagi pelaku usaha agar bertahan dan menghindari PHK, serta beban biaya penanganan kesehatan yang besar.

Baca Juga: Cetak Uang saat Ini Gak Bikin Hiperinflasi, Ekonom Beberkan 3 Alasannya

Membengkaknya defisit anggaran akibat tingginya tekanan ekonomi dari pandemi, memunculkan narasi mencetak uang atau menerbitkan surat utang.

Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang antara Rp400–Rp600 triliun sebagai cara cepat menyediakan dana segar di tengah terbatasnya uang negara untuk pembiayaan penanggulangan dampak Covid-19. Uang tersebut bisa dipakai untuk membeli surat utang pemerintah atau surat utang perbankan dan korporasi.

Menanggapi hal itu, Tri Kunawangsih Purnamaningrum dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti, mengatakan, bahaya yang ditawarkan dari cetak uang berlebihan bisa menimbulkan hiperinflasi.

"Hiperinflasi dapat menyebabkan turunnya nilai mata uang. Uang yang terlalu banyak dapat menyebabkan warga menjadi konsumtif sehingga menurunkan nilai uang. Hal ini patut diperhatikan mengingat nilai tukar rupiah pernah menjadi 17 ribu di awal kemunculan kasus Covid-19," tuturnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: