Hingga akhir Mei lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja -24,54% sepanjang tahun ini. Sepanjang bulan Mei, IHSG melanjutkan rebound kembali dengan kenaikan tipis +0,79% dibanding pada bulan April.
Sementara kinerja pasar obligasi lebih unggul dibanding pasar saham di mana BINDO Index tercatat memiliki kinerja +1,38% sepanjang tahun ini dan +2,57% pada bulan Mei. Kenaikan nilai aset saham dan obligasi masih ditopang oleh relaksasi kebijakan moneter dari bank sentral serta stimulus fiskal yang masif dari hampir seluruh negara di dunia.
Optimisme akan pembukaan kembali ekonomi setelah dicabutnya kebijakan karantina wilayah juga menambah sentimen positif di pasar keuangan.
Baca Juga: Keceriaan Pasar Saham Bukan Hanya Euforia Semata
Presiden Direktur Schroders Indonesia Michael T Tjoajadi optimistis pasar saham akan kembali tumbuh pesat di tahun 2021 seiring dengan proyeksi membaiknya pertumbuhan ekonomi global.
Menurutnya, dalam beberapa minggu terakhir bursa saham global mulai mengalami perbaikan didukung oleh sentimen positif dari pembukaan kembali negara-negara setelah masa karantina akibat covid-19. Pasar masih akan berfluktuasi dalam beberapa bulan ke depan namun optimisme akan pengembangan vaksin covid-19 dan dimulainya kembali aktivitas perekenomian dan bisnis akan memberikan support untuk ekonomi dunia dan pasar.
"Dengan tatanan baru ini, ekonomi akan membaik di 2021, peluang investasi menjadi besar, karena kalau ekonomi membaik perusahaan akan membaik, ini yang kita lihat di 2021. Saat ini menjadi waktu yang tepat untuk berinvestasi. Ini memberikan confidence, nantinya capital market di negara emerging market seperti kita juga akan memberikan harapan untuk investasi," kata Michael saat Market Update online bersama Bank Commonwealth, hari ini, di Jakarta.
Baca Juga: Penguatan IHSG: Momentum OJK Lanjutkan Bersih-Bersih Pasar Modal
Pada kesempatan yang sama, Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya menyebutkan, jika dibandingkan stabilitas dan ketahanan ekonomi Indonesia saat ini dengan kondisi pada saat krisis sebelumnya, baik pada tahun 2008 maupun 1998, bisa dibilang jauh lebih baik. Sebagai contoh, inflasi saat ini yang stabil dan terjaga rendah di kisaran 3% (vs. 12% pada 2008 ; 82% pada 1998).
Selain itu, cadangan devisa saat ini jauh lebih besar sehingga dapat dijadikan amunisi untuk menjaga stabilitas rupiah serta menahan laju pelemahan rupiah. Cadangan devisa Indonesia hingga akhir Mei berada pada level $130,5 miliar (vs. $50 miliar pada 2008 ; $17 miliar pada 1998) atau setara dengan pembiayaan 8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Kondisi fundamental Indonesia yang cukup baik ini, lanjut Ivan, dapat membuat para investor asing kembali melirik Indonesia sebagai salah satu negara emerging market yang menjadi tujuan investasi. Pasar obligasi Indonesia saat ini menawarkan tingkat real yield yang cukup atraktif jika dibandingkan dengan negara emerging market lainnya yakni di sekitar 5,16%.
“Di sisi lain, pasar saham akan mendapatkan angin segar sejak mulai dibukanya kembali ekonomi di berbagai negara setelah karantina wilayah. Hal tersebut menandakan akan dimulainya pemulihan ekonomi dan bisa dijadikan momentum untuk berinvestasi jangka panjang,” jelas Ivan.
Baca Juga: Biar Gak Buntung, Ini Investasi Menguntungkan di Masa Pandemi Covid-19
Meski demikian, volatilitas diperkirakan masih akan tinggi dalam beberapa bulan ke depan jika pandemi COVID-19 masih belum usai. Menurut Ivan, yang terpenting dilakukan investor di masa apapun terutama yang baik dilakukan dengan kondisi saat ini adalah diversifikasi aset.
Pada saat ini, Ivan menyarankan investor untuk menyesuaikan alokasi aset portofolionya. Untuk investor dengan profil risiko balanced direkomendasikan untuk sementara mengurangi porsi saham dan mengalihkan ke obligasi untuk menurunkan tingkat volatilitas portofolio, proporsi adalah 25% reksa dana saham, 40% reksa dana pendapatan tetap atau obligasi, 35% reksa dana pasar uang.
Sedangkan untuk investor dengan profil risiko agresif idealnya memiliki portofolio yang terdiri dari 60% reksa dana saham, 25% reksa dana pendapatan tetap atau obligasi dan 15% reksa dana pasar uang, dan jangan lupa agar tetap aman investasi dari rumah saja melalui digital yaitu bisa dari internet atau mobile banking.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri