Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Buat Ekonomi Masyarakat Makin Sulit

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Buat Ekonomi Masyarakat Makin Sulit Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi seperti yang dituangkan dalam Perpres 64/2020, iuran akan naik secara bertahap mulai 1 Juli 2020 dinilai tidak tepat. Beleid yang diterbitkan di bulan Mei pada saat pandemi sangat memberatkan dan hanya membuat rakyat yang ekonominya sulit makin susah.

Demikian diungkapkan Intan Fauzi, Anggota Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) Fraksi PAN, Dapil Kota Bekasi dan Depok. Dia meminta agar pemerintah melihat dengan mata hati tentang kondisi rakyat saat ini. Terlebih lagi, saat ini banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian kemudian terbebani kenaikan iuran yang signifikan, baik peserta iuran mandiri juga penerima upah.

Baca Juga: BPJS Kesehatan Teken Nota Kesepahaman dengan Lemhannas

Menurut Intan, dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, masyarakat akan makin terbebani dengan berbagai iuran, seperti BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, bahkan tahun depan saat kita belum tahu ekonomi masyarakat bisa bangkit atau belum terbebani lagi dengan iuran BPTapera.

"Kalau saya ambil UMP saja di DKI sebesar Rp763.429 tersedot untuk berbagai iuran tsb. Sisanya untuk biaya hidup dikurangi lagi tagihan air, listrik dll. Belum lagi berbagai beban perpajakan sebagai PTKP dengan adanya PPH 21, PBB dsb.," beber Intan.

Intan menegaskan, dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan mengonfimasikan bahwa pemerintah tidak punya perencanaan yang baik. Karena itu, Fraksi PAN meminta agar mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020.

Alasannya, pertama, MA telah mengabulkan gugatan masyarakat tentang kenaikan iuran dan membatalkan Pepres 75/2019. Seharusnya untuk sesuatu yang sudah diputuskan oleh hukum, harus dijalankan pemerintah.

Dalam amar Putusan MA, disebutkan bahwa harus dilakukan penyelesaian persoalan INEFISIENSI dalam pengelolaan dan pelaksanaan BPJS Kesehatan. Dalih menaikkan iuran karena terjadi Deifisit adalah tidak berdasar hukum. Apalagi, masyarakat akan menggugat kedua kalinya kenaikan iuran yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020. Kalau sampai pemerintah kalah lagi, sama saja menampar muka pemerintah yang kedua kalinya.

Kedua, defisit anggaran hanya berdasarkan perhitungan aktuaria juga tidak bisa seenaknya dibebankan kepada masyarakat. Defisit itu harus menjadi perbaikan pemerintah.

Ketiga, jika tolok ukurnya adalah persoalan Inefisiensi, lembaga yang berwenang telah memberikan putusan hukum yang tujuannya demi tercapainya keadilan masyarakat dan hukum, beberapa lembaga lain juga telah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terkait hal ini antara lain KPK dan sebagainya.

Juga DPR dalam berkali kali kesimpulan RAKER DAN RDP Komisi 9, juga Rpat Gabungan komisi 9, 11, 8, 2 dan dipimpin langsung oleh Ibu Ketua DPR juga menyampaikan rekomendasi perbaikan tata kelola ini. Dengan begitu, seyogianya Perpres 64/2020 tidak perlu menunggu gugatan masyarakan lagi. Jangan jadikan rakyat tumbal dari kebijakan yang tidak prorakyat.

"Setop membuat kebijakan yang luar biasa blunder," tegas Intan.

Sekali lagi, menurut Intan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini melanggar amanat konstitusi. UUD 45, Pasal 28 ayat 1 H, menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Artinya, negara berkewajiban melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Bukan malah membebani rakyat dengan menaikkan iuran. Kenaikan  tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 24/2011 tentang BPJS Kesehatan.

Sementara, BPJS Kesehatan bukanlah Badan Usaha, tetapi Badan Penyelenggara Publik. Dengan begitu, pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa memperhatikan keadilan masyarakat dan hukum.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: