Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Andree Surianta, mengatakan bahwa upaya untuk menjaring investor memasuki Indonesia membutuhkan upaya jangka panjang berupa reformasi regulasi secara menyeluruh. Hal ini sangat berkaitan dengan, salah satunya, upaya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mendekati dan mendapatkan perusahaan yang merelokasi bisnisnya dari China.
Sebagaimana diketahui bersama, pemberlakuan lockdown atau karantina wilayah di sebagian besar wilayah China akibat pandemi Covid-19 menyebabkan menurunnya kegiatan industri di negara tersebut. Padahal, banyak perusahaan dari berbagai belahan dunia menginvestasikan modalnya dan memiliki kegiatan operasional di sana. Rencana BKPM untuk proaktif mencari perusahaan dari China yang akan pindah ke Indonesia patut disambut baik, tetapi perlu diingat bahwa kemungkinan besar hal ini juga akan dilakukan negara lain, terutama dari kawasan ASEAN.
Baca Juga: Pemerintah Mau Potongan Pajak Efektif? Ini Saran CIPS
"Perlu diingat, Investasi Langsung Asing (Foreign Direct Investment) sifatnya adalah jangka panjang. Selain terus melakukan upaya promosi investasi untuk jangka pendek, pemerintah juga sebaiknya terus fokus membenahi berbagai hal yang menjadi kendala jangka panjang. Perusahaan yang ingin relokasi sekalipun pasti mencari iklim investasi yang stabil. Bukan hanya untuk 2-3 tahun ke depan, tetapi 10, 20, bahkan 50 tahun," jelas Andree dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (24/6/2020).
Berdasarkan FDI Restrictiveness Index 2018 yang dikeluarkan oleh OECD untuk 69 negara, Indonesia berada di urutan 67 setelah Arab Saudi dan Filipina. Jangankan Vietnam, bahkan Laos dan Myanmar pun rankingnya masih di atas Indonesia. Hal ini, lanjutnya, terjadi karena berbagai hal yang menjadi hambatan masuk dan operasional investor tidak kunjung dibenahi.
Andree melanjutkan, beberapa hambatan yang terbilang paling sulit misalnya adanya pembatasan kepemilikan asing, susahnya mendatangkan tenaga ahli dari luar Indonesia, dan adanya pembatasan operasional, termasuk kepemilikan lahan. Semua ini adalah problem jangka panjang sehingga tidak bisa diatasi hanya dengan insentif pajak atau deal-deal khusus yang sifatnya jangka pendek.
Selain itu, memberikan insentif pajak akan mengurangi pendapatan negara yang sedang sangat tertekan karena pandemi. Pendekatan langsung ke calon investor memang baik, tetapi kalau hambatan ini tidak cepat dibenahi, rasanya Indonesia sekali lagi akan di-bypass para investor.
"Selain mencoba menarik investor dari tetangga kita di utara, kita juga perlu melihat ke selatan.? Perjanjian kemitraan ekonomi dengan Australia (IA CEPA) akan aktif dalam 1,5 minggu ke depan dan ini membuka peluang sangat baik untuk menarik investasi universitas dari Australia," ungkapnya.
Ia menambahkan, upaya untuk merespons peluang investasi dengan cepat juga perlu dilakukan untuk mengetahui bidang investasi mana yang berpeluang untuk dijajaki dan dikerjasamakan. Saat pandemi menghambat perjalanan internasional, adalah waktu yang sangat baik untuk mendekati universitas di Australia untuk membuka cabang di Indonesia.
Australia berpotensi kehilangan ribuan mahasiswa dari Indonesia selama penutupan perbatasan.? Jadi, dengan membuka cabang di sini, mereka mencegah kehilangan mahasiswa dan kita pun diuntungkan dengan meningkatnya kapasitas dan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Selain itu, penilaian kinerja satu pintu dan kinerja percepatan berusaha memang penting untuk memastikan reformasi terus berjalan dan mencegah Kementerian/Lembaga mengeluarkan peraturan yang bertentangan. Tantangannya adalah bagaimana evaluasi dilakukan secara terstruktur, berkala, dan terbuka.
Untuk pemerintah daerah, misalnya, evaluasi ini sebaiknya bisa dibuat menjadi peringkat yang kemudian dipublikasikan setiap kuartal atau semester.? Informasi ini bisa menjadi acuan bagi investor dalam tahap awal pemilihan lokasi dan sekaligus memacu persaingan yang sehat antar pemerintah daerah untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di daerah mereka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum