Yang mengadakan rapat itu: wali kota Surabaya sendiri. Yang diundang: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Surabaya, pimpinan rumah-rumah sakit, relawan Covid-19, dan gugus tugas wabah itu.
Rapatnya diadakan di halaman depan kantor wali kota. Di seberang kantor Harian DI's Way.
Bu Risma, sejak tiga bulan lalu, memang berkantor di halaman. Di bawah tenda. Lantainya aspal.
Ke halaman itulah meja kerjanyi dipindah. Di halaman itu pula rapat-rapat dengan wali kota dilangsungkan.
"Saya sendiri sudah tiga-empat kali diajak beliau rapat di tempat terbuka itu," ujar Dokter Brahmana.
Senin kemarin pun dr. Brahmana yang diminta memimpin rapat. Acara pertamanya pidato pengantar dari wali kota. Bu Risma berpidato kira-kira setengah jam.
Setelah itu giliran para pimpinan rumah sakit yang berbicara.
Drama itu sendiri terjadi ketika dokter Sudarsono tengah memberikan paparan. Ia adalah Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSUD dr. Soetomo Surabaya, milik Provinsi Jatim.
Dokter Sudarsono lagi menceritakan keadaan rumah sakit yang ia pimpin. Tiba-tiba, itu tadi. Bu Risma ndelosor di lantai --yang tak lain adalah aspal yang biasa untuk tempat berhenti mobil.
Begitu lama Bu Risma ndelosor. Beberapa orang sampai ikut merayu untuk mengakhiri adegan itu.
Bu Risma pun kembali duduk di kursinya.
Setelah kembali duduk dia pun mengungkapkan kejengkelannya pada RSUD dr. Soetomo. Yang, katanya, sulit diajak koordinasi. Dari ucapannya itu, terkesan, pasien Covid-19 dari Surabaya tidak bisa masuk ke situ. Kesan lainnya lagi: Pemprov, sebagai pemilik RS itu, tidak mendukung program Covid-19 wali kota.
Kesan, di zaman medsos ini, bisa lebih dominan dari data. Menurut data, pasien RS Dr Soetomo kebanyakan adalah warga Surabaya.
Kalau pun ada pasien Surabaya yang ditolak itu karena rumah sakitnya lagi penuh. Bukan karena wali kota Surabaya lagi bertengkar dengan gubernur Jatim.
Jatim memang lagi punya gubernur dan wali kota yang sama-sama wanitanya. Hanya beda partainya.
Baru sekitar dua menit Bu Risma mengungkapkan kejengkelannya ke RS dr. Soetomo, dia berdiri lagi. Maju ke depan lagi. Sujud lagi. Ndelosor lagi. Untuk yang kedua kalinya.
IDI Surabaya pun mengusulkan terobosan. Rapat setuju. Tinggal menunggu persetujuan. Juga menunggu anggaran.
Usul Dokter Brahmana adalah: agar setiap Puskesmas di Surabaya disediakan alat pengukur oksigen. Banyak pasien yang tidak ada gejala Covid-19 tapi kekurangan oksigen.
Menurut Brahmana, pasien yang oksigennya sudah merosot harus segera dibawa ke rumah sakit.
Itu bisa mengurangi risiko kematian. Juga bisa mengurangi beban rumah sakit.
"Alatnya murah kok. Hanya kisaran ratusan ribu rupiah," ujar dr. Brahmana.
Alat itu disebut "pulse oximeter fingertip", alat pengukur kadar oksigen.
Begitulah. Semoga drama Senin lalu itu yang terakhir kali.
Saya pun harus meralat tulisan DI's Way kemarin. Yang menyimpulkan bahwa berita terbesar minggu ini adalah marah besarnya Presiden Jokowi.
Ternyata di kampung saya sendiri ada berita yang lebih besar lagi. Gajah di pelupuk memang bisa membuat mata tertutup.
(Dahlan Iskan)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: