PBB Bongkar Bukti AS Bunuh Jenderal Soleimani, Trump Ketar-Ketir
Nasib Presiden Donald Trump dan sejumlah orang lainnya kini benar-benar sedang kritis. Mereka terancam ditangkap dan diadili Iran atas kejahatan pembunuhan Komandan Quds, Mayor Jenderal Qassem Soleimani.
Sebab, ternyata berdasarkan laporan yang telah dikantongi ke Dewan Keamanan PBB, Amerika diduga kuat telah melanggar hukum internasional terkait kasus pembunuhan itu.
Baca Juga: Fakta Mengejutkan Terkuak, Gaji Mata-mata Pembunuh Jenderal Soleimani 5000 Dolar AS Sebulan
Menurut pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Eksekusi ekstra-Yudisial, Agnes Callamard, dikutip melalui siaran resminya, Amerika telah melanggar Hak Asasi Manusia karena merampas kehidupan dengan cara sewenang-wenang. Dan karena itu, PBB diminta untuk turun tangan agar tak terjadi kasus serupa di kemudian hari.
Callamard dalam laporan menyebutkan, ada masalah yang penting diketahui PBB tentang kesalahan Amerika dalam pembunuhan Jenderal Soleiman, di antaranya tidak ada bukti bahwa korban menciptakan ancaman kehidupan yang dekat dan aktual dengan Amerika.
Bahkan ketika menggabungkan kerahasiaan yang melekat pada kerja intelijen, informasi yang diberikan oleh otoritas Amerika sangat kabur dan tidak penting sejauh yang mungkin menjadi ancaman yang akan terjadi.
Lalu, 9 orang yang terbunuh dalam serangan terhadap Jenderal Soleimani, secara individu belum diidentifikasi dan dinilai sebagai ancaman yang akan segera terjadi. Terbukti juga 5 korban merupakan warga Irak yang menjadi sekutu dari Amerika sendiri.
Dalam laporan khususnya di nomor 50 pada bab hukum bela diri diungkapkanĀ menghargai perlunya analisis dan pertimbangan yang cermat dalam melindungi masyarakat dari ancaman.
Namun, menyerang jauh sebelum serangan sudah dekat dengan alasan bahwa ini adalah peluang terbaikĀ membuat keberadaan ancaman yang sebenarnya sulit untuk dievaluasi setelah fakta dan meningkatkan kemungkinan bahwa alternatif seperti penangkapan dan penahanan tidak pernah benar-benar dipertimbangkan.
Ancaman terhadap kehidupan tidak akan terjadi jika sudah "belum mengkristal" tetapi "mungkin akan munul di masa depan".
Lalu pada nomor 51 dituliskan, hak untuk hidup membebankan kewajiban prosedural juga.
"Penggunaan kekuatan mematikan oleh negara harus secara efektif diatur oleh kerangka hukum yang jelas dan perencanaan dan pengendalian operasi tertentu harus sedemikian rupa untuk meminimalkan risiko hilangnya nyawa."
Selain itu, harus ada investigasi independen yang efektif yang dapat mengarah pada pertanggungjawaban untuk setiap perampasan kehidupan yang melanggar hukum.
Selanjutnya pada nomor 52, memperhatikan kewajiban prosedural akan membantu meringankan kekhawatiran tentang pelanggaran substantif. Jika Amerika Serikat, atau negara-negara lain lebih transparan mengenai bukti-bukti yang menjadi dasar penentuannya, dan memungkinkan penentuan itu diselidiki dan ditentang, maka kekhawatiran tentang potensi pembunuhan tidak sah dapat diatasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto