Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PBB Bongkar Bukti AS Bunuh Jenderal Soleimani, Trump Ketar-Ketir

PBB Bongkar Bukti AS Bunuh Jenderal Soleimani, Trump Ketar-Ketir Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengunjungi distributor peralatan medis Owens & Minor di Allentown, Pennsylvania, Amerika Serikat, Kamis (14/5/2020). | Kredit Foto: Reuters/Carlos Barria
Warta Ekonomi, Washington -

Nasib Presiden Donald Trump dan sejumlah orang lainnya kini benar-benar sedang kritis. Mereka terancam ditangkap dan diadili Iran atas kejahatan pembunuhan Komandan Quds, Mayor Jenderal Qassem Soleimani.

Sebab, ternyata berdasarkan laporan yang telah dikantongi ke Dewan Keamanan PBB, Amerika diduga kuat telah melanggar hukum internasional terkait kasus pembunuhan itu.

Baca Juga: Fakta Mengejutkan Terkuak, Gaji Mata-mata Pembunuh Jenderal Soleimani 5000 Dolar AS Sebulan

Menurut pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Eksekusi ekstra-Yudisial, Agnes Callamard, dikutip melalui siaran resminya, Amerika telah melanggar Hak Asasi Manusia karena merampas kehidupan dengan cara sewenang-wenang. Dan karena itu, PBB diminta untuk turun tangan agar tak terjadi kasus serupa di kemudian hari.

Callamard dalam laporan menyebutkan, ada masalah yang penting diketahui PBB tentang kesalahan Amerika dalam pembunuhan Jenderal Soleiman, di antaranya tidak ada bukti bahwa korban menciptakan ancaman kehidupan yang dekat dan aktual dengan Amerika.

Bahkan ketika menggabungkan kerahasiaan yang melekat pada kerja intelijen, informasi yang diberikan oleh otoritas Amerika sangat kabur dan tidak penting sejauh yang mungkin menjadi ancaman yang akan terjadi.

Lalu, 9 orang yang terbunuh dalam serangan terhadap Jenderal Soleimani, secara individu belum diidentifikasi dan dinilai sebagai ancaman yang akan segera terjadi. Terbukti juga 5 korban merupakan warga Irak yang menjadi sekutu dari Amerika sendiri.

Dalam laporan khususnya di nomor 50 pada bab hukum bela diri diungkapkan  menghargai perlunya analisis dan pertimbangan yang cermat dalam melindungi masyarakat dari ancaman.

Namun, menyerang jauh sebelum serangan sudah dekat dengan alasan bahwa ini adalah peluang terbaik  membuat keberadaan ancaman yang sebenarnya sulit untuk dievaluasi setelah fakta dan meningkatkan kemungkinan bahwa alternatif seperti penangkapan dan penahanan tidak pernah benar-benar dipertimbangkan.

Ancaman terhadap kehidupan tidak akan terjadi jika sudah "belum mengkristal" tetapi "mungkin akan munul di masa depan".

Lalu pada nomor 51 dituliskan, hak untuk hidup membebankan kewajiban prosedural juga.

"Penggunaan kekuatan mematikan oleh negara harus secara efektif diatur oleh kerangka hukum yang jelas dan perencanaan dan pengendalian operasi tertentu harus sedemikian rupa untuk meminimalkan risiko hilangnya nyawa."

Selain itu, harus ada investigasi independen yang efektif yang dapat mengarah pada pertanggungjawaban untuk setiap perampasan kehidupan yang melanggar hukum.

Selanjutnya pada nomor 52, memperhatikan kewajiban prosedural akan membantu meringankan kekhawatiran tentang pelanggaran substantif. Jika Amerika Serikat, atau negara-negara lain lebih transparan mengenai bukti-bukti yang menjadi dasar penentuannya, dan memungkinkan penentuan itu diselidiki dan ditentang, maka kekhawatiran tentang potensi pembunuhan tidak sah dapat diatasi.

Atas dasar-dasar bukti dan hukum yang ada itu, maka pelapor khusus meminta Hukum HAM internasional terus berlaku dalam konflik bersenjata sebagai pelengkap dari hukum humaniter internasional.

Penilaian keabsahan penyerangan dan pembunuhan harus mempertimbangkan kedua badan hukum, mengadopsi pendekatan integrasi sistemik dan melakukan analisis kontekstual atau situasional.

Dewan Keamanan PBB harus bertemu dalam sesi formal untuk meninjau dan memperdebatkan semua klaim yang diterima berdasarkan Pasal 51.

Sekretaris Jenderal PBB harus mengatur penyelidikan internasional atau misi pencarian fakta untuk menyelidiki pembunuhan yang ditargetkan oleh drone.

"Untuk pertama kalinya, sebuah pesawat tak berawak negara menargetkan seorang pejabat tingkat tinggi dari negara lain di wilayah yang ketiga. Komunitas internasional sekarang harus menghadapi prospek yang sangat nyata bahwa negara dapat memilih untuk secara strategis menghilangkan pejabat militer berpangkat tinggi di luar perang," tulis Agnes Callamard.

Untuk diketahui, Iran telah menuntut dan akan mengadili Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan 36 orang politisi serta pejabat militer AS lainnya dengan tuduhan sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas penyerangan Bandara Internasional Baghdad pada 2 Januari 2020. Bahkan Iran meminta bantuan Interpol untuk menangkap Trump.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: