Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020 yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi izin perluasan kawasan Taman Impian Jaya Ancol seluas 120 hektare dan Dunia Fantasi (Dufan) sebesar 35 hektare sehingga totalnya 155 hektare. Kendati demikian, Anies menegaskan bahwa reklamasi Ancol tersebut berbeda dengan proyek 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta yang dihentikan sebelumnya.
"Yang terjadi di kawasan Ancol berbeda dengan reklamasi yang sudah kita hentikan seperti janji kita pada masa kampanye dulu," ujar Anies dalam video di akun Youtube Pemprov DKI, Sabtu (11/7/2020).
Baca Juga: Reklamasi Ala Ahok Haram, Kalau Versi Anies Jadi Halal?
Menurut Anies, Kepgub 237/2020 terkait izin perluasan daratan Ancol dikeluarkan sebagai landasan hukum pengelolaan lahan hasil reklamasi di lokasi tersebut. Ada 20 hektare lahan yang terbentuk di kawasan Ancol sejak 11 tahun lalu dan belum memiliki dasar hukum.
"Setelah terbentuk 20 hektare lahan tidak punya status hukum, efeknya lahan itu tidak bisa dimanfaatkan. Untuk bisa dimanfaatkan, Pemprov DKI harus mengurus hak pengelolaan lahan ke Badan Pertanahan Nasional dan itu membutuhkan legal administratif agar lahan punya dasar hukum dan bisa dimanfaatkan," ujar Anies.
Anies menyatakan, proses yang telah dilalui dan yang akan dikerjakan akan mengikuti proses hukum yang ada dan pelaksanaannya pun nanti akan dikerjakan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI yang harus menaati ketentuan hukum dan ketentuan Amdal. Ke depan, terkait luas izin yang diberikan DKI yaitu 155 hektare karena proses pengerukan lumpur di sungai dan waduk akan terus dijalankan dan akan dibuang ke kawasan Ancol, termasuk tanah galian dari proyek MRT fase II juga akan diangkut ke Ancol.
Anies menyatakan, akan membangun museum sejarah Nabi Muhammad SAW terbesar setelah Arab Saudi di lahan reklamasi Ancol. Selain museum sejarah nabi, Pemprov DKI Jakarta juga berencana untuk membuat masjid terapung di lahan buatan tersebut.
"Museum ini akan menjadi museum terbesar tentang sejarah Nabi Muhammad SAW di luar Saudi Arabia," kata Anies.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai, reklamasi di kawasan Ancol sebagai bentuk keberpihakan Gubernur Anies kepada pengusaha. Menurut Trubus, wajar kalau banyak pihak, termasuk pendukung Anies, menolak kebijakan tersebut. Terlebih, Anies pernah berjanji akan menyetop reklamasi di Jakarta.
Adapun wacana pembangunan museum nabi dan masjid apung merupakan upaya dari Anies Baswedan merayu warga Jakarta agar setuju reklamasi. "Jadi, ini kayaknya hanya sebagai rayuan gombal supaya masyarakat setuju (reklamasi) itu," kata Trubus saat dikonfirmasi.
Keputusan Anies menerbitkan dasar hukum reklamasi Ancol memang menuai protes dari sebagian pendukungnya. Relawan Jaringan Warga Jakarta Utara (Jawara) pendukung Anies-Sandi menolak perluasan kawasan wisata di Taman Impian Jaya Ancol.
"Menurut kami, Anies sudah menyalahi janji kampanye," tegas koordinator Jawara, Sanny Irsan, di Pantai Ancol, Minggu (5/7).
Jawara merupakan salah satu relawan pendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilkada 2017 lalu. Alasan utama mendukung pasangan itu karena salah satu janji kampanyenya menolak reklamasi di Teluk Jakarta. Para relawan merasa kecewa dengan kebijakan Anies Baswedan mengeluarkan Kepgub Nomor 237 tahun 2020 pada tanggal 24 Februari 2020 tentang Izin Perluasan Kawasan Wisata Ancol Seluas 155 hektare.
Sanny menyatakan, persoalan reklamasi di Ancol sudah terjadi sejak dahulu dan merupakan bagian dari 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Namun, relawan menyayangkan mengapa Anies tergoda dengan pengembang saat ini yang tiba-tiba mendukung reklamasi.
Sementara, tokoh pemuda Gerakan Bangun Jakarta Utara Kemal Abubakar mengatakan, keluarnya SK Gubernur itu tidak disertai dengan proses sosialisasi kepada masyarakat nelayan di Teluk Jakarta. "Sampai hari ini tidak pernah kami diajak bicara dan sosialisasi tidak ada," tegas Kemal.
Kemal menegaskan, jika perluasan kawasan itu tetap dipaksakan, pihaknya akan menggerakkan seluruh nelayan Teluk Jakarta untuk melakukan aksi menolak keputusan gubernur tersebut.
Tokoh Lintas Masyarakat Jakarta Utara Sandi Suryadinata mengatakan, pihaknya mendukung Anies sebagai gubernur DKI karena janji politiknya dahulu yang menolak reklamasi Teluk Jakarta. Dengan harapan itu, pihaknya dengan segenap kekuatan dan uang pribadi melakukan kampanye untuk memenangkan Anies tanpa meminta dari tim kampanye.
Pengamat tata kota, Yayat Supriatna juga menilai reklamasi Ancol hanya akan menguntungkan pihak pengelola. Reklamasi lebih untungkan pengelola ketimbang warga Jakarta itu sendiri.
"Walaupun Pantai Ancol termasuk ruang publik, tapi pengelolaannya bersifat privat, pengunjung harus membayar untuk bisa masuk kawasan. Pengelola Ancol yang nanti akan lebih diuntungkan," kata Yayat Supriatna di Jakarta, Senin (6/7).
Baca Juga: Izin Reklamasi Ancol Secepat Kilat, Pengamat: Tanda Tanya Besar
Saat ini, harga tiket masuk Ancol dibagi menjadi tiga kategori: tiket individu Rp25.000 per orang, tiket mobil Rp25.000 per unit, dan tiket motor Rp15.000 per unit. Merujuk Undang-Undang Tata Ruang, lanjut Yayat, pantai termasuk ruang publik dan Jakarta adalah kota pantai di mana warganya tidak bisa mengakses pantai secara gratis.
"Masuk Ancol harus bayar karena kategori taman pariwisata. Padahal, pantainya itu adalah ruang publik," kata Yayat.
Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Teuku Sahir Syahali menyebutkan, perluasan daratan atau reklamasi yang dilakukan melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 agar Ancol tetap bertahan di dunia rekreasi internasional.
"Kalau pengembangan Ancol ini kecil, tidak sekalian besar dan ekspansi yang bagus, ketika ada kompetitor besar dan mempunyai modal besar, Ancol bisa selesai. Kemudian kan yang diamanahkan ke kita adalah inovasi," kata Sahir di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, usai rapat bersama Komisi B DPRD DKI Jakarta, Rabu (9/7), Sahir juga menerangkan, pengembangan Ancol dengan tempat rekreasi milik dalam negeri itu dapat menahan devisa untuk tidak keluar negeri. Jika tempat rekreasi milik dalam negeri menyediakan destinasi wisata berkelas internasional, sedikit wisatawan domestik yang akan memilih untuk ke luar negeri.
"Artinya, kita bisa menahan devisa keluar," kata dia.
Manajemen PT Pembangunan Jaya Ancol juga menolak proyek perluasan kawasan Ancol dengan total luas 155 hektare seperti tertera dalam SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 disebut sebagai proyek reklamasi.
"Ini perluasan daratan. Kan nempel darat," kata Teuku Sahir.
Adapun sejumlah nelayan di Teluk Jakarta menyebutkan bahwa proses reklamasi di pesisir pantai Ancol sudah dilakukan sejak belasan tahun lalu. Sebagian nelayan mengaku terdampak reklamasi. "Dulunya di sini semua laut, belum seperti sekarang ini," kata salah seorang nelayan, Daeng Darwis, saat ditemui Antara, di Jakarta, Sabtu (11/7).
Daeng mengatakan, dirinya sudah menjadi nelayan dan mengoperasikan kapal di Teluk Jakarta sejak puluhan tahun lalu. Saat itu, dia menyewakan kapal untuk mengangkut para pekerja yang memindahkan pasir pantai dari tongkang ke kapal kecil, menuju pantai Ancol.
Seiring berjalannya waktu, penimbunan laut terus dilakukan Ancol hingga saat ini. Setiap hari beberapa truk bermuatan hasil kerukan lumpur sungai dibuang ke lokasi reklamasi di pesisir pantai Ancol.
Hal senada disampaikan Reza, salah seorang nelayan pukat kambang yang turut menyaksikan perjalanan reklamasi di pesisir Pantai Ancol. Akibat reklamasi itu, puluhan nelayan itu merasakan dampak karena makin susahnya akses mereka untuk mendapatkan tempat berlabuh kapal.
"Sebagian besar nelayan paham dampak reklamasi, tetapi tidak tahu menyampaikan harapan dan masukan kepada siapa," kata Reza.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum