Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina mengatakan, salah satu bentuk respons dan antisipasi pemerintah terhadap dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur beberapa kebijakan revisi dan/atau baru untuk menstabilkan keuangan negara.
Perppu tersebut mengamanatkan tiga pengenaan pajak yang dapat dilakukan di masa pandemi, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi PMSE, Pajak Penghasilan (PPh) badan melalui redefinisi Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) atau pajak tambahan apabila PPh badan tidak dapat dikenakan karena adanya perjanjian pajak antarnegara. PPN sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas penambahan nilai suatu barang yang melalui proses distribusi dan produksi.
Terkait pengenaan pajak digital dan pajak penghasilan, Indonesia masih terlibat dalam negosiasi internasional untuk menghadapi tantangan mengenai pengenaan pajak tersebut.
Baca Juga: Keuangan Seret, Erick Pamer: BUMN-BUMN Gak Lari dari Pajak
Baca Juga: 5 Situs Nonton Film Gratis dan Legal, Tak Bayar Kayak Netflix
Rencana pengenaan pajak digital ini mendapatkan respons dari Amerika Serikat, yang muncul karena banyak perusahaan besar di sektor ekonomi digital dan teknologi asal AS yang beroperasi di Indonesia, contohnya Amazon, Netflix, dan Google. Kewajiban perusahaan-perusahaan tersebut untuk mematuhi peraturan mengenai pajak digital dikhawatirkan akan menghambat kegiatan bisnis mereka.
Padahal, pengenaan pajak digital akan memberikan rasa keadilan karena perusahaan asing akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan perusahaan dalam negeri yang memang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Hal ini sekaligus untuk menciptakan level playing field dan kompetisi yang sehat.
"Namun, akan lebih baik jika pemerintah melihat best practice pengambilan pajak di negara lain, misalnya Australia, Prancis, dan Italia. Pada negara-negara tersebut, iklim bisnis tidak terganggu dan investasi tetap masuk. Apalagi, Indonesia mempunyai pasar yang sangat besar dengan jumlah 160 juta pengguna internet, tentu saja investasi platform digital akan tetap menyasar pasar kita. Namun, mungkin 10% cukup tinggi dibandingkan Inggris dengan tingkat pajak 2% dan Prancis 3%," ujar Dina, Kamis (23/7/2020).
Namun demikian, lanjut Dina, pengenaan pajak digital tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, tapi juga global. Sampai saat ini, OECD masih merumuskan landasan bersama antarnegara-negara. Tindakan sepihak seperti pajak layanan digital di Prancis atau rencana Indonesia untuk memperkenalkan pajak transaksi elektronik sangat kompleks karena ada potensi gangguan terhadap perdagangan internasional dan tensi dari mitra dagang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Rosmayanti