Sultan Hamid II-Amir Sjarifuddin, Sosok Besar di Selubung Sejarah
Amir Sjarifuddin
Tahun ini, 72 tahun silam, mantan Perdana Menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin, dieksekusi mati karena dianggap terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.
Di tengah malam, 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.
Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, karya Soe Hok Gie, yang diangkat dari skripsi sarjana strata satu, menggambarkan momen-momen menjelang eksekusi mati itu.
"Amir bertanya kepada seorang kapten TNI yang memimpin proses persiapan eksekusi," tulis Soe Hok Gie. "Mau diapakan mereka [kami]?"
"Saya tentara, tunduk perintah, disiplin," jawab sang tentara. Malam itu, puluhan warga setempat disuruh menggali lubang sedalam 1,7 meter untuk penguburan 11 orang tawanan politik pemerintah - termasuk Amir.
Usai lubang digali, pelaksanaan hukuman mati pun dimulai. Amir Sjarifuddin, bekas perdana menteri dan menteri pertahanan, dan anggota politbiro CC PKI, serta ikut mencetuskan Kongres Pemuda II 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda, meminta waktu untuk "menulis surat"- tawanan lainnya melakukan hal yang sama.
Lalu, seperti yang tercatat dalam sejarah, dan juga ditulis Soe Hok Gie, "mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasional". Lantas, "dor"!
Sejarawan Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar di buku itu, menulis bahwa apa yang disebutnya sebagai pemberontakan PKI di Madiun 1948 itu membawa banyak korban, "dengan segala luka dan memori kolektif traumatik yang ditinggalkannya."
Kematian tragis Amir memang sudah menjadi masa lalu. "Sejarah," tulis Syafii Maarif dalam kalimat berikutnya," memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan".
"Untuk siapa?" Lanjutnya. "Untuk mereka yang masih hidup, bukan untuk mereka yang sudah mati." Syafii barangkali benar, tapi seperti yang dia tulis di awal, `Madiun Affair`, masih menyisakan residu-residu trauma kolektif - hingga sekarang.
Walaupun kuburan Amir dan 10 orang lainnya digali kembali, diidentifikasi, dan jasadnya diserahterimakan kepada keluarganya, serta dimakamkan kembali, sesuai perintah Presiden Sukarno, pada November 1950, pusara itu dihancurkan sekelompok massa usai G30S 1965.
"Sampai reformasi 1998, masih berupa gundukan tanah dan ditumbuhi rumput liar," ungkap Yunantyo Adi, aktivis kemanusiaan dan pemerhati sejarah, kepada BBC News Indonesia, Rabu (29/7/2020) lalu.
Barulah pada 2008, pemugaran pusara Amir dapat dilakukan. Sebuah lembaga bernama Ut Omnes Unum Sint Institute memelopori pemugarannya, dengan terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan warga setempat dan Komnas HAM.
Tujuh tahun kemudian, sejumlah aktivis di mana Yunantyo terlibat di dalamnya, pernah mencoba menggelar peringatan kemanusiaan untuk mengenang Amir Sjarifuddin dan "orang-orang yang terstigma" sejarah.
"Doa bersama lintas agama, tujuannya untuk menghapus stigma, yang melibatkan warga setempat," ungkap Yunantyo.
"Artinya peristiwa masa lalu itu sudahlah, jangan dibumbui hoaks, dengan stigma, dengan luka-luka yang terus diperuncing," tambahnya.
Pada tahun yang sama, Yunantyo bersama Perkumpulan masyarakat Semarang HAM (PMS-HAM) pernah memasang nisan di lokasi kuburan massal orang-orang dituduh simpatisan atau anggota PKI di Dusun Plumbon, Semarang, Jateng, dan berhasil.
Tetapi keinginan Yunantyo dkk untuk menggelar acara kemanusiaan serupa di makam Amir, ternyata, gagal. "Ada sekelompok massa yang menolaknya."
Di matanya, sosok Amir Sjarifuddin, bersama tokoh bangsa lainnya, memiliki peran dan jasa dalam perjalanan Indonesia, apapun ideologi maupun garis politiknya.
"Dan kenapa kita tidak bisa memaafkan dia [Amir Sjarifuddin] kalau dia dianggap salah. Toh dia belum tentu orang yang harus dimintai `tanggung jawab` peristiwa Madiun 1948," katanya.
Amir Sjarifuddin pernah menjadi bagian dalam Kongres Pemuda II 1928 yang belakangan dikenal sebagai Sumpah Pemuda. "Di situ Amir punya andil," kata Yunantyo.
Menjadi bendahara acara itu, Amir menjadi salah-satu wakil Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran organisasi Jong Batak.
Pada 1937, Amir mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang berusaha membina segenap kekuatan-kekuatan antifasis dan prodemokrasi.
Belakangan, dia mengakui menerima uang dari pemerintah Belanda pada 1941 untuk "membiayai jaringan di bawah tanah" melawan invasi fasisme dan militerisme Jepang, tulis Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Pelawanan di Jawa 1944-1946 (1988).
Saat Jepang masuk, awal 1943,Amir ditangkap Kempetai Jepang dan dijatuhi hukuman mati, karena dianggap mengorganisasi gerakan gawah tanah - hukuman itu tidak pernah dijalankan setelah ada intervensi Sukarno-Hatta.
Setelah dipercaya menjadi menteri dalam kabinet awal, Amir menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1947 dan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville - disepakati 17 Januari 1948 - yang hasilnya dianggap merugikan kedudukan Indonesia.
Lantas, Amir meletakkan jabatan, setelah sejumlah pimpinan partai menolak hasil perjanjian itu. Maka berakhirlah pemerintahan Sayap Kiri.
Sebulan kemudian lahirlah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang menjadi penentang paling keras Kabinet Hatta. Dalam organisasi FDR inilah, Amir merupakan salah-seorang pentolannya.
Pada awal Agustus 1948, sosok yang disebut George Mc Turnan Kahin, dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1995), sebagai "anggota Politbiro PKI pada permulaan tahun 1926 dan pendiri PKI ilegal pada 1935", Musso, datang ke Indonesia.
Dan, dua pekan kemudian, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa dia sudah "menjadi komunis" sejak 1935. "Dia bergabung dengan Partai Komunis Ilegalnya Musso di Surabaya," tulis Kahin.
Beberapa bulan kemudian, meledaklah peristiwa Madiun 1948, yang menurut sejarah resmi, disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun. Dalam pusaran itulah, Amir berada di pihak yang kalah - dan berakhir dengan kematiannya yang tragis.
"Saya tidak setuju, dia [Amir Sjarifuddin] dianggap pihak paling bertanggungjawab dalam `peristiwa Madiun`," kata Yunantyo.
Cara pandang berbeda atas sosok Amir, seperti pernyataan Yunantyo di atas, rasanya tidak mungkin disuarakan secara terbuka pada rentang waktu rezim Orde Baru berkuasa.
Di masa Orde Baru, seperti ditulis sejarawan asal Prancis, Jacques Leclerc dalam buku Amir Sjarifuddin, antara Negara dan Revolusi (1996), sosoknya memang diharamkan untuk `ditampilkan` di depan umum.
Jacques Leclerc mencontohkan majalah Prisma dalam November 1982, menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis sangat hati-hati, terancam dibreidel oleh Kementerian Penerangan.
Lalu, disertasi pendeta Frederiek Djara Wellem, di bawah bimbingan pendeta Belanda, Th van den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir Sjarifoeddin, Pergumukan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang telah terbit oleh penerbit Kristen Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan ketika izin peredarannya ditolak pemerintah.
Namun setelah ambruknya rezim Suharto, sejumlah pihak mempertanyakan sejarah resmi yang dianggap meminggirkan Amir dari pentas sejarah nasional. Pada Desember 2008, misalnya, digelar diskusi untuk menggugat narasi sejarah tunggal sosok Amir.
Di acara itu, para peserta diskusi juga menyayangkan eksekusi mati atas pria kelahiran 1907 itu. "Ini tak perlu terjadi, apabila para pemimpin seperti Sukarno melihat peristiwa Madiun secara jernih," kata Wilson, ketua panitia acara diskusi.
Anak bungsu mendiang Amir Sjarifuddin, Helen Lucia, hadir pula dalam acara itu. Namun ketika itu dia menolak diwawancarai BBC Indonesia.
Belakangan, persisnya pada November 2015, ada wacana dari sejumlah pihak agar ada upaya supaya Amir Sjarifuddin mendapatkan status pahlawan nasional dari pemerintah.
Pemberitaan itu menyebutkan akan dibentuk kepanitiaan untuk menggolkannya, yang antara lain, dipimpin oleh Sabam Sirait, Bert Supit dan Jopie Lasut. Intinya, mereka diberi mandat mempersiapkan dokumen-dokumen seputar peranan Amir.
Belum jelas sampai di mana tahapannya, namun salah-seorang inisiatornya, Bert Adriaan Supit, tetap menyokong apabila Amir Sjarifuddin diusulkan sebagai pahlawan nasional.
"Amir [Sjarifuddin] adalah salah-satu tokoh dalam membentuk Republik Indonesia, "kata Bert Adriaan Supit kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/07) lalu.
Bert Supit, yang pernah menjadi salah-seorang ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 1989-1994, menganggap "semua yang mensponsori kemerdekaan Indonesia, semua itu adalah pahlawan."
Pria kelahiran 1934 asal Sulawesi Utara ini juga menilai "Amir sebenarnya seperti Sjahrir, dan lain-lain, hanya dia memang terjebak dengan Musso."
Jika ada yang menyebut Amir adalah komunis, Bert Supit termasuk pihak yang meragukan. "Saya pikir dia bukan seorang komunis sejati," ujarnya dalam wawancara melalui sambungan telepon.
Dia meyakini Amir mengikuti pikiran dan iman Kristen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. "Oleh sebab itu, sosialisme Amir Sjarifuddin kuat sekali berdasarkan iman."
"Dia sangat agresif memperjuangkan hak-hak manusia yang lemah. Dia itu patriotik."
Dari perjalanan riwayat hidupnya, sepengetahuan Adriaan, dia terlibat dalam peristiwa Madiun "tidak sepenuh hati". "Emosi saja," katanya.
"Jadi sama saja dengan Mohammad Natsir [pemimpin Masyumi], dia kan dikaitkan dengan [pemberontakan] PRRI [di Sumatera]. Kalau itu dianggap suatu pemberontakan, tapi akhirnya diangkat sebagai pahlawan nasional."
'Perlu ruang terbuka, ruang dialog untuk membicarakan sejarah secara terbuka'
(Andi Achdian, sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta)
Sebagai sejarawan, saya selalu berharap sejarah itu tempat kita berdialog, bukan suatu doktrin untuk mendapatkan suatu yang utuh.
Semua orang punya sisi gelap. Jadi saya kira yang paling penting adalah apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat demokratis dan adil serta nilai-nilai ideal lainnya.
Problemnya di Indonesia sekarang sejarah adalah suatu pengetahuan yang lekat dengan kekuasaan. Dia dijaga dari unsur-unsur yang bisa mengotori kekuasaannya.
Dalam beberapa konteks, sosok-sosok figur pahlawan sifatnya bisa relatif.
Dari situasi politik Indonesia sekarang, yang melihat komunisme sebagai suatu trauma, atau ketakutan terhadap komunisme, itu adalah konsekuensinya.
Hal itu mengindikasikan bahwa pengetahuan sejarah kita masih bermasalah dalam tradisi demokrasi.
Nilai tentang pemberontak atau pahlawan itu juga cap warisan Orde Baru, yaitu tidak berkhianat kepada negara. Itu sangat relatif dalam beberapa kasus.
Problemnya bukan pada pahlawannya, karena mereka sudah tiada. Problematiknya adalah tingkat pengetahuan sejarah kita sendiri yang perlu diperbaiki. Pengetahuan sejarah kita masih istana sentris.
Jalan keluarnya, saya kira tetap perlu ruang terbuka, ruang dialog untuk berbicara tentang sejarah masa lalu.
Dan tradisi pemberian gelar setiap tahun itu juga bermasalah, karena seolah-olah mengejar target untuk mendapatkan pahlawan baru.
Lebih baik membiarkan masyarakat sendiri menentukan pahlawannya. Tentu di sini membutuhkan kemampuan dialogis yang luas. Hal penting lainnya adalah mampu membicarakan sejarah lebih terbuka.
Amir Sjarifuddin menurut saya adalah tokoh penting. Dan ini sebuah fakta bahwa Amir berperan dalam pembentukan sebuah Republik yang merdeka, terlepas ada akhir tragis dalam kehidupannya.
Jadi, Amir berjasa bagi Republik itu adalah fakta, kemudian bagaimana kita menilainya sebagai pahlawan, itu persoalan politik Indonesia.
Fakta keras itu yang lebih penting tampil, yaitu bagaimana Amir menjalankan perannya bagi terbentuknya Republik yang merdeka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: