Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sultan Hamid II-Amir Sjarifuddin, Sosok Besar di Selubung Sejarah

Sultan Hamid II-Amir Sjarifuddin, Sosok Besar di Selubung Sejarah Kredit Foto: KITLV/Nationaal Archief

Sultan Hamid II

Di sejumlah sudut ibu kota Kalimantan Barat, Pontianak, sejak awal Agustus, beredar umbul-umbul bergambar Sultan Hamid II, yang peran dan sepak terjangnya di masa lalu, sempat melahirkan polemik tajam di masyarakat belakangan ini.

Di satu sisi, ada suara-suara agar nama baiknya dipulihkan, dan bahkan berupaya agar dia diangkat sebagai "pahlawan nasional", namun di sisi lain ada anggapan pimpinan Kesultanan Qadariyah ini adalah pengkhianat.

Divonis bersalah oleh pengadilan di awal 1950an lantaran berniat membunuh sejumlah menteri serta walau tak terbukti  dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung, Hamid di sisi lain terbukti berjasa dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila.

Di tengah pengkutuban seperti itulah, umbul-umbul bertuliskan namanya serta kalimat "perancang lambang negara RI Garuda Pancasila" bermunculan di sudut-sudut kota itu - lengkap dengan gambar foto dirinya berseragam militer.

Peredaran umbul-umbul bergambar eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini, rupanya, merupakan salah-satu kampanye agar dia mendapat gelar pahlawan nasional.

"Ini memang bagian sosialisasi untuk memperkenalkan beliau adalah pahlawan bangsa," kata Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, kepada BBC News Indonesia, Minggu (9/8/2020).

Pada waktu hampir bersamaan, Anshari dkk juga mendatangi Kantor Dinas Sosial provinsi setempat, membahas pengusulan kembali pencalonan itu pada tahun ini atau maksimal paling lambat 2021, setelah upaya pertamanya ditolak oleh Kementerian Sosial.

Anshari memang telah menempuh jalan panjang untuk `memulihkan` nama Sultan Hamid dari tuduhan terlibat peristiwa kudeta Westerling pada 1950.

Melalui penelitian tesis magisternya di Universitas Indonesia, dia menyimpulkan bahwa pria yang meninggal pada 1978 itu hanya berniat, tetapi tidak pernah melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS pada 1950.

Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.

"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.

Dalam berbagai kesempatan, Anshari dan rekannya sesama intelektual dari Kalimantan Barat, Turiman Fachturrahman, juga terus memunculkan peran sentral Sultan Hamid II dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila - yang selama ini seperti dihilangkan dari sejarah resmi.

Turiman, melalui tesis masternya. menemukan bukti-bukti otentik yang menguatkan peran penting Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.

Bersama dokumen terkait, empat tahun silam, Anshari dan Turiman melampirkan temuannya itu sebagai bahan pengusulan pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional kepada Kementerian Sosial.

Dan awal Januari lalu, kata Anshari, Kemensos mengeluarkan keputusan bahwa Sultan Hamid "tidak memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional".

Alasannya, pria kelahiran Pontianak tahun 1913 itu dianggap terlibat kudeta Westerling, berniat membunuh Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, serta bukanlah perancang tunggal lambang Burung Garuda.

"Padahal semuanya sudah kami anulir melalui penelitian kami dan dokumen-dokumen yang kami miliki," akunya.

Belakangan, tuduhan terkait masa lalu Sultan Hamid itu disuarakan kembali oleh politikus dan mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono.

Dia menyebut eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini sebagai "pengkhianat bangsa dan bukanlah pejuang". Untuk itulah, dia menyebut mantan menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama ini "tidak layak menjadi pahlawan".

Dalam tayangan di Youtube, Hendropriyono juga menyoroti sikap Sultan Hamid yang dianggapnya "tidak senang" perubahan bentuk negara dari federal (Republik Indonesia Serikat) menjadi kesatuan.

"Dia ingin tetap federalis, dia ingin tetap menjadi sultan," katanya.

Seperti tercatat dalam sejarah, perubahan bentuk negara dari federal ke kesatuan, diawali peristiwa Mosi Integral Natsir --Mohammad Natsir adalah ketua umum Partai Masyumi-- di parlemen sementara RIS, 3 April 1950, yang diawali tuntutan di sejumlah daerah untuk kembali kepada negara kesatuan.

Puncaknya, Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1950 membubarkan Negara RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan.

Bagaimanapun, ucapan Hendropriyono di atas membuat berang keluarga Besar Sultan Hamid II. Mereka kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalbar karena dianggap "melukai" keluarga Sultan Hamid II.

Senada dengan Hendro, sejarawan Anhar Gonggong, yang juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (TP2GP), mempertanyakan apa yang disebutnya sebagai "patriotisme" Sultan Hamid II.

Dia merujuk pada dokumen yang menyebutkan bahwa Sultan Hamid II "menandatangi sebagai mayor jenderal dan ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946."

"Kita sedang dikejar-kejar Belanda mau dibunuh Belanda, Sultan Hamid menerima jabatan itu. Di mana patrotismenya?" ujar dalam diskusi daring, pertengahan Juli lalu.

Anhar juga menekankan bahwa Sultan Hamid pernah dipidana penjara 10 tahun terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.

"Ada persyaratan UU, tidak mungkin dia diterima [sebagai pahlawan nasional], karena pernah dihukum selama 10 tahun," katanya.

Peneliti dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, tidak terlalu yakin pemerintah akan menyetujui pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional.

Selama ini, menurutnya, pemerintah atau presiden "menghindari kontroversi" saat memberikan gelar pahlawan.

"Dia tidak mempunyai riwayat hidupnya yang kontroversi, seperti di dalam kasus Sultan Hamid II," kata Asvi kepada BBC News Indonesia, Selasa (4/8/2020).

Kontroversi itu, misalnya saja, seputar hukuman pidana penjara atas dirinya serta polemik tentang peranannya sebagai perancang tunggal lambang negara Burung Garuda Pancasila.

"Saya sendiri beranggapan, bahwa dia bukan satu-satunya yang berjasa untuk membuat lambang negara itu," ujarnya.

Tentu saja, penilaian seperti ini dipertanyakan Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II. Menurutnya, "faktanya yang merancang adalah Sultan Hamid II."

"Entah kemudian ada saran atau masukan antara lain oleh Ki Hadjar Dewantara, Sukarno, dan dilukis ulang oleh Dullah, itu masukan saja."

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, 5 Juni 2015 lalu, peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengatakan: "Sultan Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda," katanya.

Sebagai Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang diketuainya.

"Meskipun (burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas pita) masih terbalik," kata Rusdi Hoesin, kala itu.

Namun fakta ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang pencipta lambang negara itu menjadi pesakitan.

Perihal tudingan Hendropriyono bahwa Sultan Hamid "anti-negara kesatuan", Anshari mengutip isi pledoi Hamid pada 1953: "Saya bukan menolak negara kesatuan, akan tetapi cara atau proses-proses perubahan di dalam parlemen RIS."

"Bagaimana saya merestui bentuk negara ini [kesatuan] dengan cara-cara inkonstitusionil. Kalau melalui referendum, saya orang pertama yang mendukung negara kesatuan," kata Anshari, mengutip Sultan Hamid.

"Ini bentuk nasionalisme dia," tambahnya, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu.

Baik Anshari atau Turiman kemudian menganggap tidak ada yang salah dengan pilihan Sultan Hamid atau pemimpin lainnya yang menyokong konsep federal.

Mereka juga mempertanyakan narasi sejarah resmi yang selama ini menganggap Majelis Permusyawaratan Federal alias atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) - didirikan Juli 1948 - sebagai "boneka ciptaan Belanda".

Buku Sejarah yang Hilang (2015), karya Mahendra Petrus, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, gagasan awal BFO berasal dari inisiatif Anak Agung Gde Agung yang ingin menghilangkan kesan keberadaan negara-negara bagian semata merupakan ide Belanda.

Selain itu, menurut Hamid, pembentukan wadah bernama BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik RI-Belanda yang tidak segera terlihat ada titik temu, tulis Mahendra Petrus.

"Akan tetapi ini [BFO] - yang dipimpin Sultan Hamid II - untuk menjembatani kepentingan antara Indonesia, yaitu kaum Republiken, kemudian kaum federasi, dengan Belanda, agar ditemukan solusi bersama untuk mendapatkan kedaulatan penuh," kata Anshari.

Mohammad Iskandar, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020, mengatakan sumber-sumber primer terkait BFO sangat sedikit.

"Sehingga perannya kurang mendapatkan tempat dalam sejarah nasional Indonesia, terutama dalam buku pelajaran sangat sedikit," katanya.

Dalam sejarah Indonesia, bahkan sampai sekarang, informasi tentang BFO sangat sedikit, katanya.

"Dan celakanya lagi, sumber-sumber primer untuk ini, relatif sangat terbatas di arsip nasional. Kebanyakan ada di Belanda," ujarnya.

Akibatnya, menurut Iskandar, di buku-buku pelajaran disebutkan bahwa BFO adalah "kaki tangan" Belanda. "[Padahal] mereka ingin juga mendirikan Indonesia."

Menurut peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, "betapa penting sekali" peranan BFO sebagai kekuatan ketiga di samping RI dan Belanda.

Dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta (Juli 1949) dan Jakarta (Agustus 1949), ungkap Rusdi, perwakilan RI dan BFO menjadi "bersatu" sebelum menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.

Adnan Buyung Nasution, advokat senior, dalam kata pengantar buku Sejarah yang Hilang, mengatakan Leirizza dan Mahendra Petrus, banyak memberikan informasi baru tentang peran BFO sebagai kekuatan ketiga.

"Ternyata pendapat banyak ahli tentang BFO selama ini salah dan saya bisa membuktikan keselahan itu demi kebenaran sejarah," tulis Leirissa, yang dikutip Adnan Buyung.

Lewat BFO itulah, Anak Agung Gede Agung berhasil mengkonsolidasikan kekuatan nasional dan menjadikannya sebuah wadah diplomasi untuk menunjang perjuangan elite Indonesia untuk mendapat kemerdekaan penuh.

Kembali ke soal upaya menjadikan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional, kini bola sepenuhnya di tangan pemerintah pusat atau presiden.

Dalam tahap ini, Anshari menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai "melakukan rekonsiliasi bangsa, melakukan rekonstruksi sejarah bangsa, melakukan resolusi yang ada, Indonesia berdamai dengan sejarah."

"Kemudian mengubur dalam-dalam, semua keburukan, kemudian mengangkat semua kebaikan," katanya. Dia lantas teringat sejumlah tokoh nasional yang dulunya pernah dipenjara karena dituduh memberontak, namun kemudian diangkat sebagai pahlawan karena jasa-jasanya.

Diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu, Meutia Farida Hatta mengatakan, dirinya belum mendengar bahwa ayahnya - Mohammad Hatta - pernah menyebut Sultan Hamid sebagai "pengkhianat".

"Saya belum pernah mendengar [Hatta menyebut Sultan Hamid II sebagai pengkhianat] sampai beliau wafat," ujarnya.

Namun demikian, Meutia meminta sejarah seputar hal itu harus betul-betul diteliti.

"Sejarah memang bisa diinterpretasi macam-macam, tapi saya berharap bahwa sejarawan yang muda-muda harus meneliti, jangan membiarkan kekosongan ini terjadi," katanya.

Namun dia mengingatkan "peristiwa sejarah jangan dibelokkan, jangan ditambah-tambah".

'Pahlawan sangat berkaitan dengan faktor penguasa'

(Mohamad Iskandar, sejarawan dari Universitas Indonesia, disampaikan dalam diskusi daring Menguak jejak Sultan Hamid II, 5 Juli 2020)

Apakah seseorang itu diusulkan mendapat gelar pahlawan atau tidak, harus diperhatikan bahwa pahlawan itu berkaitan ada faktor yang bersifat relatif, yaitu penguasa.

Jadi, seperti halnya buku ajar, hal itu menjadi hak prerogatif penguasa juga. Tidak bisa berlawanan dengan yang pihak yang berkuasa.

Sebagai contoh, Mohammad Natsir (Ketua umum Partai Masyumi dan pernah menjadi perdana menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (pernah menjabat wakil perdana menteri dan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pernah diajukan sebagai pahlawan nasional, sempat ditolak oleh pemerintah -saya kebetulan ikut menjadi tim penilai.

Yang keberatan adalah pihak militer, dengan alasan bahwa gara-gara Natsir berapa jumlah manusia yang meninggal dan menderita karena perang.

Walaupun secara hukum Natsir dan Sjafruddin sudah mendapat amnesti, abolisi, tapi secara praktik korbannya banyak, kata pihak militer.

Karena semua anggota diberi kebebasan, akhirnya penilaiannya draw - seri. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Kita memahami betul bahwa yang memutuskan adalah penguasa, yaitu presiden.

Lalu kita cari akal. Kebetulan panitia pengangkatan pahlawan mengadakan haul seabad Mohammad Natsir. Diundanglah Presiden SBY. Dia hadir sebagai presiden.

Salah-satu isi pidatonya SBY mengatakan `Inilah sosok Natsir, seorang nasionalis, dan seorang pahlawan nasional. Nah itu terekam dalam harian Kompas.

Jadi kita gunting saja koran Kompas. Lalu kita tempelkan dalam dokumen pengusulan. Ini inisiatif tim pusat. Dan pada November, diumumkan siapa yang mendapat gelar pahlawan, dan Mohammad Natsirmasuk sebagai pahlawan nasional.

Itulah yang kita tunjukkan adalah sisi positifnya. Kalau unsur polemiknya, bakal banyak tafsiran

Bagaimanapun, sejarawan harus bisa membedakan sejarah untuk kajian akademis dan ada pula sejarah untuk bahan ajar.

Kalau sejarah untuk bahan ajar di sekolah jangan menampilkan hal yang terlalu polemik. Kalau untuk kajian akademis, memang harus `seobyektif` mungkin.

Karena sekali menampilkan suatu peristiwa yang polemik, maka seluruh pendapat harus ditampilkan.

Jadi, tidak adil kalau hanya menampilkan satu sudut pandang atau satu tafsiran saja - semua tafsiran harus hadir.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: