Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sultan Hamid II-Amir Sjarifuddin, Sosok Besar di Selubung Sejarah

Sultan Hamid II-Amir Sjarifuddin, Sosok Besar di Selubung Sejarah Sultan Hamid II (kiri) dan Amir Sjarifuddin (kanan). | Kredit Foto: KITLV/Nationaal Archief
Warta Ekonomi, Jakarta -

Setelah 22 tahun reformasi, sejarah sepertinya bukan lagi menjadi narasi milik penguasa, melainkan menjadi wacana publik yang tidak lagi berwajah tunggal.

Sebagian masyarakat tidak lagi takut atau malu-malu untuk mengungkap narasi sejarahnya sendiri, yang selama ini barangkali dibungkam atau tak pernah disebut secara adil dalam sejarah resmi.

Pengusulan sosok Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional barangkali merupakan bagian dari arus tersebut. Dia adalah perancang lambang negara Burung Garuda Pancasila, yang namanya dilupakan setelah divonis terlibat kudeta Westerling 1950.

Demikian pula keinginan sejumlah pihak supaya mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin yang dieksekusi mati karena dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948 diberi tempat selayaknya dalam sejarah, sepertinya mewakili suara-suara yang selama ini ditindas.

Namun masalahnya kemudian, bagaimana menempatkan kedua sosok itu secara adil dalam ilmu dan narasi pada panggung sejarah Indonesia?

Apakah masyarakat, yang sebagian masih terbelah secara ideologis dan dihinggapi sisa-sisa residu trauma kolektif konflik di masa lalu, siap menerima perbedaan?

Lantas bagaimana sejarawan menawarkan perspektifnya di tengah kekosongan teks peristiwa sejarah tertentu, himpitan kepentingan kekuasaan, serta sikap sebagian masyarakat yang masih berpikiran sempit?

BBC News Indonesia kali ini menyoroti sosok Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, yang di satu sisi dianggap pengkhianat atau pemberontak, namun di sisi lainnya dianggap berjasa atau bahkan layak diusulkan sebagai pahlawan.

Sultan Hamid II

Di sejumlah sudut ibu kota Kalimantan Barat, Pontianak, sejak awal Agustus, beredar umbul-umbul bergambar Sultan Hamid II, yang peran dan sepak terjangnya di masa lalu, sempat melahirkan polemik tajam di masyarakat belakangan ini.

Di satu sisi, ada suara-suara agar nama baiknya dipulihkan, dan bahkan berupaya agar dia diangkat sebagai "pahlawan nasional", namun di sisi lain ada anggapan pimpinan Kesultanan Qadariyah ini adalah pengkhianat.

Divonis bersalah oleh pengadilan di awal 1950an lantaran berniat membunuh sejumlah menteri serta walau tak terbukti  dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung, Hamid di sisi lain terbukti berjasa dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila.

Di tengah pengkutuban seperti itulah, umbul-umbul bertuliskan namanya serta kalimat "perancang lambang negara RI Garuda Pancasila" bermunculan di sudut-sudut kota itu - lengkap dengan gambar foto dirinya berseragam militer.

Peredaran umbul-umbul bergambar eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini, rupanya, merupakan salah-satu kampanye agar dia mendapat gelar pahlawan nasional.

"Ini memang bagian sosialisasi untuk memperkenalkan beliau adalah pahlawan bangsa," kata Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, kepada BBC News Indonesia, Minggu (9/8/2020).

Pada waktu hampir bersamaan, Anshari dkk juga mendatangi Kantor Dinas Sosial provinsi setempat, membahas pengusulan kembali pencalonan itu pada tahun ini atau maksimal paling lambat 2021, setelah upaya pertamanya ditolak oleh Kementerian Sosial.

Anshari memang telah menempuh jalan panjang untuk `memulihkan` nama Sultan Hamid dari tuduhan terlibat peristiwa kudeta Westerling pada 1950.

Melalui penelitian tesis magisternya di Universitas Indonesia, dia menyimpulkan bahwa pria yang meninggal pada 1978 itu hanya berniat, tetapi tidak pernah melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS pada 1950.

Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.

"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya.

Dalam berbagai kesempatan, Anshari dan rekannya sesama intelektual dari Kalimantan Barat, Turiman Fachturrahman, juga terus memunculkan peran sentral Sultan Hamid II dalam merancang lambang negara Burung Garuda Pancasila - yang selama ini seperti dihilangkan dari sejarah resmi.

Turiman, melalui tesis masternya. menemukan bukti-bukti otentik yang menguatkan peran penting Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.

Bersama dokumen terkait, empat tahun silam, Anshari dan Turiman melampirkan temuannya itu sebagai bahan pengusulan pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional kepada Kementerian Sosial.

Dan awal Januari lalu, kata Anshari, Kemensos mengeluarkan keputusan bahwa Sultan Hamid "tidak memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional".

Alasannya, pria kelahiran Pontianak tahun 1913 itu dianggap terlibat kudeta Westerling, berniat membunuh Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, serta bukanlah perancang tunggal lambang Burung Garuda.

"Padahal semuanya sudah kami anulir melalui penelitian kami dan dokumen-dokumen yang kami miliki," akunya.

Belakangan, tuduhan terkait masa lalu Sultan Hamid itu disuarakan kembali oleh politikus dan mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono.

Dia menyebut eks ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini sebagai "pengkhianat bangsa dan bukanlah pejuang". Untuk itulah, dia menyebut mantan menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama ini "tidak layak menjadi pahlawan".

Dalam tayangan di Youtube, Hendropriyono juga menyoroti sikap Sultan Hamid yang dianggapnya "tidak senang" perubahan bentuk negara dari federal (Republik Indonesia Serikat) menjadi kesatuan.

"Dia ingin tetap federalis, dia ingin tetap menjadi sultan," katanya.

Seperti tercatat dalam sejarah, perubahan bentuk negara dari federal ke kesatuan, diawali peristiwa Mosi Integral Natsir --Mohammad Natsir adalah ketua umum Partai Masyumi-- di parlemen sementara RIS, 3 April 1950, yang diawali tuntutan di sejumlah daerah untuk kembali kepada negara kesatuan.

Puncaknya, Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1950 membubarkan Negara RIS dan kembali kepada Negara Kesatuan.

Bagaimanapun, ucapan Hendropriyono di atas membuat berang keluarga Besar Sultan Hamid II. Mereka kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalbar karena dianggap "melukai" keluarga Sultan Hamid II.

Senada dengan Hendro, sejarawan Anhar Gonggong, yang juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (TP2GP), mempertanyakan apa yang disebutnya sebagai "patriotisme" Sultan Hamid II.

Dia merujuk pada dokumen yang menyebutkan bahwa Sultan Hamid II "menandatangi sebagai mayor jenderal dan ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946."

"Kita sedang dikejar-kejar Belanda mau dibunuh Belanda, Sultan Hamid menerima jabatan itu. Di mana patrotismenya?" ujar dalam diskusi daring, pertengahan Juli lalu.

Anhar juga menekankan bahwa Sultan Hamid pernah dipidana penjara 10 tahun terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.

"Ada persyaratan UU, tidak mungkin dia diterima [sebagai pahlawan nasional], karena pernah dihukum selama 10 tahun," katanya.

Peneliti dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, tidak terlalu yakin pemerintah akan menyetujui pencalonan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional.

Selama ini, menurutnya, pemerintah atau presiden "menghindari kontroversi" saat memberikan gelar pahlawan.

"Dia tidak mempunyai riwayat hidupnya yang kontroversi, seperti di dalam kasus Sultan Hamid II," kata Asvi kepada BBC News Indonesia, Selasa (4/8/2020).

Kontroversi itu, misalnya saja, seputar hukuman pidana penjara atas dirinya serta polemik tentang peranannya sebagai perancang tunggal lambang negara Burung Garuda Pancasila.

"Saya sendiri beranggapan, bahwa dia bukan satu-satunya yang berjasa untuk membuat lambang negara itu," ujarnya.

Tentu saja, penilaian seperti ini dipertanyakan Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II. Menurutnya, "faktanya yang merancang adalah Sultan Hamid II."

"Entah kemudian ada saran atau masukan antara lain oleh Ki Hadjar Dewantara, Sukarno, dan dilukis ulang oleh Dullah, itu masukan saja."

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, 5 Juni 2015 lalu, peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengatakan: "Sultan Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda," katanya.

Sebagai Menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno untuk merancang gambar lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang diketuainya.

"Meskipun (burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas pita) masih terbalik," kata Rusdi Hoesin, kala itu.

Namun fakta ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang pencipta lambang negara itu menjadi pesakitan.

Perihal tudingan Hendropriyono bahwa Sultan Hamid "anti-negara kesatuan", Anshari mengutip isi pledoi Hamid pada 1953: "Saya bukan menolak negara kesatuan, akan tetapi cara atau proses-proses perubahan di dalam parlemen RIS."

"Bagaimana saya merestui bentuk negara ini [kesatuan] dengan cara-cara inkonstitusionil. Kalau melalui referendum, saya orang pertama yang mendukung negara kesatuan," kata Anshari, mengutip Sultan Hamid.

"Ini bentuk nasionalisme dia," tambahnya, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu.

Baik Anshari atau Turiman kemudian menganggap tidak ada yang salah dengan pilihan Sultan Hamid atau pemimpin lainnya yang menyokong konsep federal.

Mereka juga mempertanyakan narasi sejarah resmi yang selama ini menganggap Majelis Permusyawaratan Federal alias atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) - didirikan Juli 1948 - sebagai "boneka ciptaan Belanda".

Buku Sejarah yang Hilang (2015), karya Mahendra Petrus, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, gagasan awal BFO berasal dari inisiatif Anak Agung Gde Agung yang ingin menghilangkan kesan keberadaan negara-negara bagian semata merupakan ide Belanda.

Selain itu, menurut Hamid, pembentukan wadah bernama BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik RI-Belanda yang tidak segera terlihat ada titik temu, tulis Mahendra Petrus.

"Akan tetapi ini [BFO] - yang dipimpin Sultan Hamid II - untuk menjembatani kepentingan antara Indonesia, yaitu kaum Republiken, kemudian kaum federasi, dengan Belanda, agar ditemukan solusi bersama untuk mendapatkan kedaulatan penuh," kata Anshari.

Mohammad Iskandar, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020, mengatakan sumber-sumber primer terkait BFO sangat sedikit.

"Sehingga perannya kurang mendapatkan tempat dalam sejarah nasional Indonesia, terutama dalam buku pelajaran sangat sedikit," katanya.

Dalam sejarah Indonesia, bahkan sampai sekarang, informasi tentang BFO sangat sedikit, katanya.

"Dan celakanya lagi, sumber-sumber primer untuk ini, relatif sangat terbatas di arsip nasional. Kebanyakan ada di Belanda," ujarnya.

Akibatnya, menurut Iskandar, di buku-buku pelajaran disebutkan bahwa BFO adalah "kaki tangan" Belanda. "[Padahal] mereka ingin juga mendirikan Indonesia."

Menurut peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, mengutip buku Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006) karya sejarawan Leirissa RZ, "betapa penting sekali" peranan BFO sebagai kekuatan ketiga di samping RI dan Belanda.

Dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta (Juli 1949) dan Jakarta (Agustus 1949), ungkap Rusdi, perwakilan RI dan BFO menjadi "bersatu" sebelum menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.

Adnan Buyung Nasution, advokat senior, dalam kata pengantar buku Sejarah yang Hilang, mengatakan Leirizza dan Mahendra Petrus, banyak memberikan informasi baru tentang peran BFO sebagai kekuatan ketiga.

"Ternyata pendapat banyak ahli tentang BFO selama ini salah dan saya bisa membuktikan keselahan itu demi kebenaran sejarah," tulis Leirissa, yang dikutip Adnan Buyung.

Lewat BFO itulah, Anak Agung Gede Agung berhasil mengkonsolidasikan kekuatan nasional dan menjadikannya sebuah wadah diplomasi untuk menunjang perjuangan elite Indonesia untuk mendapat kemerdekaan penuh.

Kembali ke soal upaya menjadikan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional, kini bola sepenuhnya di tangan pemerintah pusat atau presiden.

Dalam tahap ini, Anshari menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai "melakukan rekonsiliasi bangsa, melakukan rekonstruksi sejarah bangsa, melakukan resolusi yang ada, Indonesia berdamai dengan sejarah."

"Kemudian mengubur dalam-dalam, semua keburukan, kemudian mengangkat semua kebaikan," katanya. Dia lantas teringat sejumlah tokoh nasional yang dulunya pernah dipenjara karena dituduh memberontak, namun kemudian diangkat sebagai pahlawan karena jasa-jasanya.

Diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya dalam diskusi daring bertajuk Menguak Jejak Sultan Hamid II dalam perjalanan sejarah bangsa, 5 Juli 2020 lalu, Meutia Farida Hatta mengatakan, dirinya belum mendengar bahwa ayahnya - Mohammad Hatta - pernah menyebut Sultan Hamid sebagai "pengkhianat".

"Saya belum pernah mendengar [Hatta menyebut Sultan Hamid II sebagai pengkhianat] sampai beliau wafat," ujarnya.

Namun demikian, Meutia meminta sejarah seputar hal itu harus betul-betul diteliti.

"Sejarah memang bisa diinterpretasi macam-macam, tapi saya berharap bahwa sejarawan yang muda-muda harus meneliti, jangan membiarkan kekosongan ini terjadi," katanya.

Namun dia mengingatkan "peristiwa sejarah jangan dibelokkan, jangan ditambah-tambah".

'Pahlawan sangat berkaitan dengan faktor penguasa'

(Mohamad Iskandar, sejarawan dari Universitas Indonesia, disampaikan dalam diskusi daring Menguak jejak Sultan Hamid II, 5 Juli 2020)

Apakah seseorang itu diusulkan mendapat gelar pahlawan atau tidak, harus diperhatikan bahwa pahlawan itu berkaitan ada faktor yang bersifat relatif, yaitu penguasa.

Jadi, seperti halnya buku ajar, hal itu menjadi hak prerogatif penguasa juga. Tidak bisa berlawanan dengan yang pihak yang berkuasa.

Sebagai contoh, Mohammad Natsir (Ketua umum Partai Masyumi dan pernah menjadi perdana menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (pernah menjabat wakil perdana menteri dan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pernah diajukan sebagai pahlawan nasional, sempat ditolak oleh pemerintah -saya kebetulan ikut menjadi tim penilai.

Yang keberatan adalah pihak militer, dengan alasan bahwa gara-gara Natsir berapa jumlah manusia yang meninggal dan menderita karena perang.

Walaupun secara hukum Natsir dan Sjafruddin sudah mendapat amnesti, abolisi, tapi secara praktik korbannya banyak, kata pihak militer.

Karena semua anggota diberi kebebasan, akhirnya penilaiannya draw - seri. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Kita memahami betul bahwa yang memutuskan adalah penguasa, yaitu presiden.

Lalu kita cari akal. Kebetulan panitia pengangkatan pahlawan mengadakan haul seabad Mohammad Natsir. Diundanglah Presiden SBY. Dia hadir sebagai presiden.

Salah-satu isi pidatonya SBY mengatakan `Inilah sosok Natsir, seorang nasionalis, dan seorang pahlawan nasional. Nah itu terekam dalam harian Kompas.

Jadi kita gunting saja koran Kompas. Lalu kita tempelkan dalam dokumen pengusulan. Ini inisiatif tim pusat. Dan pada November, diumumkan siapa yang mendapat gelar pahlawan, dan Mohammad Natsirmasuk sebagai pahlawan nasional.

Itulah yang kita tunjukkan adalah sisi positifnya. Kalau unsur polemiknya, bakal banyak tafsiran

Bagaimanapun, sejarawan harus bisa membedakan sejarah untuk kajian akademis dan ada pula sejarah untuk bahan ajar.

Kalau sejarah untuk bahan ajar di sekolah jangan menampilkan hal yang terlalu polemik. Kalau untuk kajian akademis, memang harus `seobyektif` mungkin.

Karena sekali menampilkan suatu peristiwa yang polemik, maka seluruh pendapat harus ditampilkan.

Jadi, tidak adil kalau hanya menampilkan satu sudut pandang atau satu tafsiran saja - semua tafsiran harus hadir.

Amir Sjarifuddin

Tahun ini, 72 tahun silam, mantan Perdana Menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin, dieksekusi mati karena dianggap terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.

Di tengah malam, 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.

Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, karya Soe Hok Gie, yang diangkat dari skripsi sarjana strata satu, menggambarkan momen-momen menjelang eksekusi mati itu.

"Amir bertanya kepada seorang kapten TNI yang memimpin proses persiapan eksekusi," tulis Soe Hok Gie. "Mau diapakan mereka [kami]?"

"Saya tentara, tunduk perintah, disiplin," jawab sang tentara. Malam itu, puluhan warga setempat disuruh menggali lubang sedalam 1,7 meter untuk penguburan 11 orang tawanan politik pemerintah - termasuk Amir.

Usai lubang digali, pelaksanaan hukuman mati pun dimulai. Amir Sjarifuddin, bekas perdana menteri dan menteri pertahanan, dan anggota politbiro CC PKI, serta ikut mencetuskan Kongres Pemuda II 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda, meminta waktu untuk "menulis surat"- tawanan lainnya melakukan hal yang sama.

Lalu, seperti yang tercatat dalam sejarah, dan juga ditulis Soe Hok Gie, "mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasional". Lantas, "dor"!

Sejarawan Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar di buku itu, menulis bahwa apa yang disebutnya sebagai pemberontakan PKI di Madiun 1948 itu membawa banyak korban, "dengan segala luka dan memori kolektif traumatik yang ditinggalkannya."

Kematian tragis Amir memang sudah menjadi masa lalu. "Sejarah," tulis Syafii Maarif dalam kalimat berikutnya," memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan".

"Untuk siapa?" Lanjutnya. "Untuk mereka yang masih hidup, bukan untuk mereka yang sudah mati." Syafii barangkali benar, tapi seperti yang dia tulis di awal, `Madiun Affair`, masih menyisakan residu-residu trauma kolektif - hingga sekarang.

Walaupun kuburan Amir dan 10 orang lainnya digali kembali, diidentifikasi, dan jasadnya diserahterimakan kepada keluarganya, serta dimakamkan kembali, sesuai perintah Presiden Sukarno, pada November 1950, pusara itu dihancurkan sekelompok massa usai G30S 1965.

"Sampai reformasi 1998, masih berupa gundukan tanah dan ditumbuhi rumput liar," ungkap Yunantyo Adi, aktivis kemanusiaan dan pemerhati sejarah, kepada BBC News Indonesia, Rabu (29/7/2020) lalu.

Barulah pada 2008, pemugaran pusara Amir dapat dilakukan. Sebuah lembaga bernama Ut Omnes Unum Sint Institute memelopori pemugarannya, dengan terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan warga setempat dan Komnas HAM.

Tujuh tahun kemudian, sejumlah aktivis di mana Yunantyo terlibat di dalamnya, pernah mencoba menggelar peringatan kemanusiaan untuk mengenang Amir Sjarifuddin dan "orang-orang yang terstigma" sejarah.

"Doa bersama lintas agama, tujuannya untuk menghapus stigma, yang melibatkan warga setempat," ungkap Yunantyo.

"Artinya peristiwa masa lalu itu sudahlah, jangan dibumbui hoaks, dengan stigma, dengan luka-luka yang terus diperuncing," tambahnya.

Pada tahun yang sama, Yunantyo bersama Perkumpulan masyarakat Semarang HAM (PMS-HAM) pernah memasang nisan di lokasi kuburan massal orang-orang dituduh simpatisan atau anggota PKI di Dusun Plumbon, Semarang, Jateng, dan berhasil.

Tetapi keinginan Yunantyo dkk untuk menggelar acara kemanusiaan serupa di makam Amir, ternyata, gagal. "Ada sekelompok massa yang menolaknya."

Di matanya, sosok Amir Sjarifuddin, bersama tokoh bangsa lainnya, memiliki peran dan jasa dalam perjalanan Indonesia, apapun ideologi maupun garis politiknya.

"Dan kenapa kita tidak bisa memaafkan dia [Amir Sjarifuddin] kalau dia dianggap salah. Toh dia belum tentu orang yang harus dimintai `tanggung jawab` peristiwa Madiun 1948," katanya.

Amir Sjarifuddin pernah menjadi bagian dalam Kongres Pemuda II 1928 yang belakangan dikenal sebagai Sumpah Pemuda. "Di situ Amir punya andil," kata Yunantyo.

Menjadi bendahara acara itu, Amir menjadi salah-satu wakil Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran organisasi Jong Batak.

Pada 1937, Amir mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang berusaha membina segenap kekuatan-kekuatan antifasis dan prodemokrasi.

Belakangan, dia mengakui menerima uang dari pemerintah Belanda pada 1941 untuk "membiayai jaringan di bawah tanah" melawan invasi fasisme dan militerisme Jepang, tulis Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Pelawanan di Jawa 1944-1946 (1988).

Saat Jepang masuk, awal 1943,Amir ditangkap Kempetai Jepang dan dijatuhi hukuman mati, karena dianggap mengorganisasi gerakan gawah tanah - hukuman itu tidak pernah dijalankan setelah ada intervensi Sukarno-Hatta.

Setelah dipercaya menjadi menteri dalam kabinet awal, Amir menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1947 dan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville - disepakati 17 Januari 1948 - yang hasilnya dianggap merugikan kedudukan Indonesia.

Lantas, Amir meletakkan jabatan, setelah sejumlah pimpinan partai menolak hasil perjanjian itu. Maka berakhirlah pemerintahan Sayap Kiri.

Sebulan kemudian lahirlah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang menjadi penentang paling keras Kabinet Hatta. Dalam organisasi FDR inilah, Amir merupakan salah-seorang pentolannya.

Pada awal Agustus 1948, sosok yang disebut George Mc Turnan Kahin, dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1995), sebagai "anggota Politbiro PKI pada permulaan tahun 1926 dan pendiri PKI ilegal pada 1935", Musso, datang ke Indonesia.

Dan, dua pekan kemudian, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa dia sudah "menjadi komunis" sejak 1935. "Dia bergabung dengan Partai Komunis Ilegalnya Musso di Surabaya," tulis Kahin.

Beberapa bulan kemudian, meledaklah peristiwa Madiun 1948, yang menurut sejarah resmi, disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun. Dalam pusaran itulah, Amir berada di pihak yang kalah - dan berakhir dengan kematiannya yang tragis.

"Saya tidak setuju, dia [Amir Sjarifuddin] dianggap pihak paling bertanggungjawab dalam `peristiwa Madiun`," kata Yunantyo.

Cara pandang berbeda atas sosok Amir, seperti pernyataan Yunantyo di atas, rasanya tidak mungkin disuarakan secara terbuka pada rentang waktu rezim Orde Baru berkuasa.

Di masa Orde Baru, seperti ditulis sejarawan asal Prancis, Jacques Leclerc dalam buku Amir Sjarifuddin, antara Negara dan Revolusi (1996), sosoknya memang diharamkan untuk `ditampilkan` di depan umum.

Jacques Leclerc mencontohkan majalah Prisma dalam November 1982, menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis sangat hati-hati, terancam dibreidel oleh Kementerian Penerangan.

Lalu, disertasi pendeta Frederiek Djara Wellem, di bawah bimbingan pendeta Belanda, Th van den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir Sjarifoeddin, Pergumukan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang telah terbit oleh penerbit Kristen Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan ketika izin peredarannya ditolak pemerintah.

Namun setelah ambruknya rezim Suharto, sejumlah pihak mempertanyakan sejarah resmi yang dianggap meminggirkan Amir dari pentas sejarah nasional. Pada Desember 2008, misalnya, digelar diskusi untuk menggugat narasi sejarah tunggal sosok Amir.

Di acara itu, para peserta diskusi juga menyayangkan eksekusi mati atas pria kelahiran 1907 itu. "Ini tak perlu terjadi, apabila para pemimpin seperti Sukarno melihat peristiwa Madiun secara jernih," kata Wilson, ketua panitia acara diskusi.

Anak bungsu mendiang Amir Sjarifuddin, Helen Lucia, hadir pula dalam acara itu. Namun ketika itu dia menolak diwawancarai BBC Indonesia.

Belakangan, persisnya pada November 2015, ada wacana dari sejumlah pihak agar ada upaya supaya Amir Sjarifuddin mendapatkan status pahlawan nasional dari pemerintah.

Pemberitaan itu menyebutkan akan dibentuk kepanitiaan untuk menggolkannya, yang antara lain, dipimpin oleh Sabam Sirait, Bert Supit dan Jopie Lasut. Intinya, mereka diberi mandat mempersiapkan dokumen-dokumen seputar peranan Amir.

Belum jelas sampai di mana tahapannya, namun salah-seorang inisiatornya, Bert Adriaan Supit, tetap menyokong apabila Amir Sjarifuddin diusulkan sebagai pahlawan nasional.

"Amir [Sjarifuddin] adalah salah-satu tokoh dalam membentuk Republik Indonesia, "kata Bert Adriaan Supit kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/07) lalu.

Bert Supit, yang pernah menjadi salah-seorang ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 1989-1994, menganggap "semua yang mensponsori kemerdekaan Indonesia, semua itu adalah pahlawan."

Pria kelahiran 1934 asal Sulawesi Utara ini juga menilai "Amir sebenarnya seperti Sjahrir, dan lain-lain, hanya dia memang terjebak dengan Musso."

Jika ada yang menyebut Amir adalah komunis, Bert Supit termasuk pihak yang meragukan. "Saya pikir dia bukan seorang komunis sejati," ujarnya dalam wawancara melalui sambungan telepon.

Dia meyakini Amir mengikuti pikiran dan iman Kristen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. "Oleh sebab itu, sosialisme Amir Sjarifuddin kuat sekali berdasarkan iman."

"Dia sangat agresif memperjuangkan hak-hak manusia yang lemah. Dia itu patriotik."

Dari perjalanan riwayat hidupnya, sepengetahuan Adriaan, dia terlibat dalam peristiwa Madiun "tidak sepenuh hati". "Emosi saja," katanya.

"Jadi sama saja dengan Mohammad Natsir [pemimpin Masyumi], dia kan dikaitkan dengan [pemberontakan] PRRI [di Sumatera]. Kalau itu dianggap suatu pemberontakan, tapi akhirnya diangkat sebagai pahlawan nasional."

'Perlu ruang terbuka, ruang dialog untuk membicarakan sejarah secara terbuka'

(Andi Achdian, sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta)

Sebagai sejarawan, saya selalu berharap sejarah itu tempat kita berdialog, bukan suatu doktrin untuk mendapatkan suatu yang utuh.

Semua orang punya sisi gelap. Jadi saya kira yang paling penting adalah apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat demokratis dan adil serta nilai-nilai ideal lainnya.

Problemnya di Indonesia sekarang sejarah adalah suatu pengetahuan yang lekat dengan kekuasaan. Dia dijaga dari unsur-unsur yang bisa mengotori kekuasaannya.

Dalam beberapa konteks, sosok-sosok figur pahlawan sifatnya bisa relatif.

Dari situasi politik Indonesia sekarang, yang melihat komunisme sebagai suatu trauma, atau ketakutan terhadap komunisme, itu adalah konsekuensinya.

Hal itu mengindikasikan bahwa pengetahuan sejarah kita masih bermasalah dalam tradisi demokrasi.

Nilai tentang pemberontak atau pahlawan itu juga cap warisan Orde Baru, yaitu tidak berkhianat kepada negara. Itu sangat relatif dalam beberapa kasus.

Problemnya bukan pada pahlawannya, karena mereka sudah tiada. Problematiknya adalah tingkat pengetahuan sejarah kita sendiri yang perlu diperbaiki. Pengetahuan sejarah kita masih istana sentris.

Jalan keluarnya, saya kira tetap perlu ruang terbuka, ruang dialog untuk berbicara tentang sejarah masa lalu.

Dan tradisi pemberian gelar setiap tahun itu juga bermasalah, karena seolah-olah mengejar target untuk mendapatkan pahlawan baru.

Lebih baik membiarkan masyarakat sendiri menentukan pahlawannya. Tentu di sini membutuhkan kemampuan dialogis yang luas. Hal penting lainnya adalah mampu membicarakan sejarah lebih terbuka.

Amir Sjarifuddin menurut saya adalah tokoh penting. Dan ini sebuah fakta bahwa Amir berperan dalam pembentukan sebuah Republik yang merdeka, terlepas ada akhir tragis dalam kehidupannya.

Jadi, Amir berjasa bagi Republik itu adalah fakta, kemudian bagaimana kita menilainya sebagai pahlawan, itu persoalan politik Indonesia.

Fakta keras itu yang lebih penting tampil, yaitu bagaimana Amir menjalankan perannya bagi terbentuknya Republik yang merdeka.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: