Berbagai strategi yang disiapkan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 adalah hal yang baik. Stimulus ekonomi diharap bisa mendongkrak pasar dan pelaku untuk kembali berkegiatan. Di sisi lain, kebijakan bantuan sosial dan gaji ke-13 adalah hal yang pas untuk membangkitkan daya beli masyarakat. Beragam program ini membutuhkan langkah cepat.
Sayangnya, di penerapannya, kerap kali teradang proses birokrasi yang berbelit, tak praktis, dan kurang mampu sigap di tengah kondisi pandemi ini. Akibatnya, banyak pihak yang merasa tak puas, termasuk kalangan bawah.
"Langkah yangdiambil oleh Presiden bahwaperlu ada keseimbangan gas dan rem sangat tepat. Karena tidak mungkin hanya dilakukan pengetatan semata..Demikian juga upaya yangg dilakukan pemerintahsudah sangat baik. Tetapi yg menjadi soal adalah dalam tahapan pelaksanaannya yangg tampak masih belum sesuai.Demikian juga dengan proses birokrasi yang "membelenggu" sehingga proses ini dan itu masihbegitu panjang, " kata Mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, menyampaikan pandangannya sebuah diskusi daring bertajuk Meramu Resep Menghadapi Ancaman Resesi Ekonomi, di Jakarta.
Baca Juga: Kok, Gaji ke-13 Anak Buah Anies Baswedan Belum Cair?
Enggartiasto juga menyebutkan, berbagai stimulus dan bantuan itu perlu pengawasan ketat. Sebagai contoh,anggaran sebesar 30 triliun rupiah yang disalurkan Himbara, untuk memberikan kredit kepada pelaku ekonomi, selayaknya dipantau bersama oleh OJK, BI, Kemenkeu dan Kementerian BUMN. Dia juga menyerukan, agar investasi kembali masuk dengan lancar, perlu diberikan sweetener. Pembebasan pajak selama 5 tahun bisa diberikan, agar investor ramai menyemarakkan perekonomian di Tanah Air.
Sedang dalam persoalan ekport-import, dia menyarankan perlu penerapan semacam barter dengan negara lain untuk produk tertentu. Tujuannya, agar kedua negara, atau kelompok negara bisa sama-sama bangkit dari pandemi.
Kepada masyarakat kelas menengah hingga ke atas, diminta pula untuk dapat lebih menggenjot konsumsi dalam rangka berkontribusi membantu pemerintah menahan ekonomi dari resesi. Masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini cenderung takut untuk keluar dari rumah dan sengaja membatasi belanja untuk menjaga cadangan keuangannya.
“Mereka juga menjaga cadangan keuangannya. Ini tercermin dari peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh positif di perbankan,” ujarnya.
Baca Juga: Program Bansos Akan Diperpanjang Sampai 2021
Sementara itu, Ekonom dan Founder Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Hendri Saparini menyatakan kontribusi konsumsi yang sebesar 58 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata disokong oleh desil tertinggi.
Ia menyebutkan porsi pengeluaran 40 persen penduduk terbawah hanya sekitar 17 persen, sedangkan 20 persen penduduk tertinggi adalah lebih dari 45 persen.
“Kalau mereka tidak didorong dengan kebijakan maka itu menjadi berat. Kita berharap ada kebijakan untuk mendorong agar semua level rumah tangga dari desil satu sampai 10 melakukan spending,” katanya.
Hendri berharap pemerintah dapat membuat kebijakan dan program-program yang mampu mendorong konsumsi seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar pertumbuhan ekonomi tidak terkontraksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: