Pada 18 Februari 2020 lalu, sejumlah negara produsen sawit di antaranya Guatemala, Kostarika, Malaysia, Thailand, dan Kolombia bersama Indonesia turut dalam sesi joint consultation yang diajukan ke Uni Eropa. Namun, perwakilan dari negara-negara tersebut tidak mendapatkan izin untuk bertanya kecuali Indonesia, mereka hanya diberikan kesempatan untuk opening remarks.
Lebih lanjut Hasan menjelaskan, "kepada Uni Eropa, Indonesia mengajukan 108 pertanyaan mengenai perspektif Uni Eropa terkait climate change, tujuan dan target RED II, serta kriteria penghematan emisi gas rumah kaca dan kriteria sustainability. Tapi, Uni Eropa tetap kekeh dengan kebijakannya dengan argumen tidak mendiskriminasi produk sawit."
Namun, perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia tersebut tidak membuahkan hasil dan masih menyisakan perbedaan pendapat. Oleh karena itu, di akhir konsultasi, atas nama pemerintah, Indonesia mengajukan pembentukan panel ke dispute settlement di WTO.
Berkaca pada kondisi yang ada, Hasan menilai Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomasi kelapa sawit melalui sharing informasi-informasi positif terkait dampak kelapa sawit di aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Selain itu, penguatan data juga perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat diplomasi dalam melawan diskriminasi terhadap kelapa sawit oleh Uni Eropa tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: