Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pengetatan kembali PSBB. Hal ini dimulai sejak 14 September 2020.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras Adha mengatakan, contohnya bisa dilihat bagaimana dampak lockdown 2.0 di Melbourne.
Baca Juga: Jakarta PSBB Total, Gimana Pertumbuhan Ekonomi RI Bu Sri Mulyani?
"Selama lockdown 2.0, warga Melbourne yang berdomisili di lingkungan tertentu harus tinggal dan menetapkan physical distancing, tetapi bagian kota yang lainnya tetap buka," ujar Izzudin dalam diskusi online INDEF bertajuk "PSBB DKI dan Banten: Ekonomi Nasional Sembuh atau Lumpuh?" di Jakarta, Kamis (17/9/2020).
Dia menyampaikan, warga hanya boleh keluar rumah untuk kegiatan esensial seperti belanja kebutuhan sehari-hari dan juga untuk keperluan medis. Toko retail tutup, anak-anak sekolah harus belajar dari rumah, restoran hanya boleh pesan antar atau pesan bawa pulang, dan pusat penitipan anak hanya akan tersedia untuk pekerja yang diizinkan.
"Pekerja yang bekerja di kantor (WFO) pun dibatasi, misalnya proyek konstruksi skala besar dengan lebih dari 3 lantai hanya boleh mempekerjakan pekerja WFO maksimal 25%. Sementara itu, konstruksi skala kecil tidak boleh lebih dari lima pekerja," ungkap Izzudin.
Dalam lockdown 2.0 itu, diberlakukan pula jam malam dari pukul 21.00 hingga 05.00 sehingga pelaku usaha harus menutup bisnisnya. Ada pembatasan mobilitas sejauh 5 KM sejak 9 Juli hingga 13 September. Namun, sejak 14 hingga 28 September, orang yang tinggal sendirian diperbolehkan untuk bertemu satu sama lain dan termasuk dalam aturan mobilitas tersebut.
"Ada beberapa dampak dari lockdown tahap kedua, tapi ternyata tidak sedalam lockdown 1.0. Selama pekan pertama lockdown 1.0, aktivitas toko bahan makanan dan kimia di seluruh Victoria rata-rata turun 19%, tetapi di lockdown 2.0 ini hanya turun 7%," ucap Izzudin.
Selain itu, pada lockdown 1.0, aktivitas ritel dan rekreasi Melbourne turun 47% dari level dasar normalnya, sementara di lockdown 2.0, aktivitas itu hanya turun sebesar 32%.
"Kenapa areanya di-lockdown? Karena hampir mirip perilaku masyarakatnya, hampir mirip dengan di DKI, karena kasusnya tidak kunjung melandai," tutur Izzudin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum