Bagi mereka yang antisawit, mungkin tidak akan pernah bosan rasanya untuk memojokkan dan menjatuhkan posisi kelapa sawit. Tidak hanya dituduh sebagai driver deforestasi Indonesia, tetapi lahan yang ditanami sawit juga dituding akan miskin unsur hara dan tandus seperti gurun.
Menepis isu tersebut, dalam buku PASPI Monitor dituliskan, "nalar umum (common sense) saja sangat mudah memahami bahwa tanaman apa pun di planet bumi ini berfungsi sebagai pelestari lingkungan hidup. Tidak ada satu teori pun maupun kitab suci yang mengatakan tanaman itu merusak lingkungan."
Apa pun jenis tumbuhan dan tanaman yang diciptakan Tuhan, semuanya mengacu pada tujuan yakni untuk menghijaukan dan memperbaiki lingkungan. Di negara Arab yang didominasi oleh gurun dan cuaca kering saja misalnya, justru sedang berupaya dihijaukan dengan menanam tanaman palma seperti kurma.
Baca Juga: Dari Asian Agri untuk Petani Plasma: Produktivitas Sawit Akan Meningkat!
Baca Juga: Harga TBS Sawit: Tutup September 2020 dengan Melangit
Tidak cukup dengan common sense, secara empiris perkebunan kelapa sawit telah dikembangkan di Indonesia sejak 1911 (109 tahun yang lalu) di Pulau Raja (Asahan, Sumatera Utara); Tanah Itam Ulu (Kabupaten Batubara, Sumatera Utara); dan Sei Liput (Aceh).
Dan saat ini, di lokasi yang sama, masih ditumbuhi oleh kelapa sawit dan tidak pernah berubah menjadi gurun. Bahkan, perkebunan kelapa sawit berkontribusi besar terhadap perbaikan lingkungan dengan oksigen yang dihasilkannya.
Tidak hanya itu, biomassa yang dihasilkan oleh kelapa sawit juga semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur tanaman. Hasil penelitian Chan (2002) menemukan bahwa tanaman kelapa sawit yang berumur empat tahun, menghasilkan biomassa sekitar 40 ton per hektare per tahun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: