Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengupas Kekuatan Uni Emirat Arab yang Dominan di Timur Tengah

Mengupas Kekuatan Uni Emirat Arab yang Dominan di Timur Tengah Gedung kotamadya Tel Aviv menyala dengan bendera UEA pada 13 Agustus 2020, setelah pengumuman kesepakatan normalisasi Israel-UEA yang ditengahi oleh AS. | Kredit Foto: Twitter/Tel Aviv
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tahun 2020 sungguh menjadi tahun yang gemilang bagi Uni Emirat Arab (UEA), sebuah negara kecil yang super kaya dan berambisi besar di kawasan Teluk Persia. Tahun ini UEA mengirim pesawat misi ke Mars. Mereka juga menyepakati perjanjian damai dengan Israel.

UEA juga dianggap cukup mampu mengatasi pandemi Covid-19. Negara yang pernah berstatus protektorat Inggris ini bahkan menyesuaikan peralatan banyak pabrik di dalam negeri dan mengirim bantuan alat pelindung diri (APD) ke Inggris.

Baca Juga: Karena Pembahasan Ini, Pangeran UEA Bakal Sambut Kedatangan Netanyahu

UEA juga bergelut dengan Turki demi mendapatkan peran strategis saat mereka menebarkan pengaruh ke Libya, Yaman, dan Somalia.

Jadi, jelang peringatan 50 tahun kemerdekaan UEA yang jatuh tahun depan, di mana mereka sejauh ini telah mengambil peran dalam politik global? Dan siapa yang sebenarnya berpengaruh besar dalam setiap kebijakan UEA?

Mendapat kesempatan

Suatu ketika pada bulan Mei 1999, saat perang Kosovo telah berkecamuk selama lebih dari satu tahun.

Saya saat itu berdiri di depan wastafel, di sebuah tenda darurat di kamp yang dijaga ketat di perbatasan Albania-Kosovo. Perkampungan darurat itu dipenuhi pengungsi asal Kosovo.

Kamp itu didirikan Bulan Sabit Merah Emirat. Lembaga itu datang membawa sekelompok juru masak, pemotong daging halal, ahli peralatan telekomunikasi, dan seorang imam.

Mereka juga mendatangkan pasukan yang bertugas berpatroli di sekeliling kamp. Orang-orang ini berkeliling di atas truk militer ringan. Kendaraan roda empat itu dilengkapi senapan mesin berat dan dirancang agar tak tampak mencolok di gurun pasir.

Sehari sebelumnya, saya terbang ke Tirana dengan menumpang helikopter Puma yang diterbangkan pilot Angkatan Udara UEA. Pesawat itu bermanuver di atas jurang terjal di kawasan timur laut Albania.

Laki-laki yang sedang menggosok gigi di wastafel, di sebelah saya, bertubuh jangkung. Dia berjanggut dan berkacamata.

Saya mengenal laki-laki itu sebagai Sheikh Mohammed bin Zayed, seorang lulusan Akademi Militer Kerajaan Inggris Sandhurst. Dia adalah orang yang mendorong pengembangan angkatan bersenjata UEA.

"Bisakah kita melakukan wawancara TV," saya bertanya kepadanya. Dia tidak tertarik, tapi mengiyakan permintaan itu.

UEA, kata dia, telah menjalin kemitraan strategis dengan Prancis. Sebagai bagian dari kesepakatan pembelian 400 unit tank Leclerc Prancis, Prancis akan menempatkan satu brigade pasukan UEA `di bawah sayap mereka`.

Dia berkata, Prancis akan melatih pasukan itu dan melibatkan mereka dalam operasi di Kosovo.

Untuk ukuran negara yang merdeka kurang dari 30 tahun sebelumnya, itu adalah langkah yang berani. Di sudut terpencil Balkan itu, kami berjarak lebih dari 3.200 kilometer dari Abu Dhabi.

Namun UEA jelas memiliki ambisi yang jauh melampaui garis pantai Teluk Persia.

UEA menjadi negara Arab modern pertama yang mengerahkan militernya ke Eropa untuk mendukung negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

'Sparta kecil'

Lokasi operasi mereka berikutnya adalah Afghanistan. Tidak diketahui sebagian besar penduduknya, pasukan UEA secara diam-diam beroperasi bersama NATO di negara itu, tak lama setelah kejatuhan Taliban.

Keberadaan pasukan militer UEA di Afganistan disetujui Putra Mahkota Abu Dhabi, Mohammed Bin Zayed.

Pada 2008, saya mengunjungi kontingen pasukan khusus mereka di Pangkalan Udara Bagram. Saya melihat bagaimana mereka beroperasi.

Bepergian di atas kendaraan lapis baja buatan Brasil dan Afrika Selatan, mereka menuju pedesaan Afghanistan yang terpencil dan miskin. Pasukan itu membagikan Alquran gratis dan kotak-kotak berisi permen. Mereka duduk bersama para tetua adat di perkampungan itu.

"Apa yang kamu butuhkan?" mereka bertanya kepada tetua kampung. "Masjid, sekolah, sumur yang dibor untuk air minum?" tanya mereka.

UEA akan menyetor uang saat kontrak proyek pembangunan dilelang ke perusahaan lokal.

Jejak orang UEA memang kecil, tapi ke mana pun mereka pergi, mereka menggunakan uang dan agama. Tujuan mereka adalah mengurangi kecurigaan warga lokal terhadap pasukan NATO yang kerap bersikap kaku dan kasar.

Di provinsi Helmand pasukan UEA bertempur bersama pasukan Inggris dalam beberapa baku tembak yang intens.

Mantan Menteri Pertahanan AS, Jim Mattis, menjuluki UEA sebagai `Sparta Kecil`. Sebutan itu mengacu pada profil UEA yang kurang dikenal dan berpopulasi kurang dari 10 juta orang, jauh melebihi bobotnya.

Reputasi yang rusak di Yaman

Lalu terjadilah krisis di Yaman dan berbagai kesulitan yang dialami pasukan militer UEA.

Ketika Pangeran Arab Saudi, Mohammed bin Salman, melibatkan negaranya ke perang saudara Yaman pada 2015, UEA juga turun tangan. UEA mengirim pesawat tempur F-16 untuk menggempur pemberontak Houthi. UEA juga mengirim pasukan ke selatan Yaman.

Pada musim panas 2018, UEA mendaratkan pasukan di Pulau Socotra yang memiliki letak strategis di Yaman.

UEA mengumpulkan pasukan di sebuah pangkalan yang mereka sewa di Assab, Eritrea. Mereka menghalangi pasukan yang hendak menyeberangi Laut Merah untuk merebut pelabuhan Hudaydah dari Houthi.

Perang di Yaman sekarang sudah berlangsung selama hampir enam tahun. Tidak ada pemenang yang jelas dalam perang itu. Kelompok Houthi tetap bercokol di ibu kota Yaman, Sanaa, dan sebagian besar wilayah negara itu.

Keterlibatan pasukan UEA telah menimbulkan korban jiwa, termasuk lebih dari 50 orang dalam satu serangan rudal. Tiga hari berkabung nasional digelar di UEA setelah peristiwa itu.

Reputasi UEA juga rusak karena hubungan mereka dengan beberapa milisi lokal yang tidak disukai dan berkaitan dengan al-Qaeda.

Laporan sejumlah aktivis hak asasi manusia menyebut bahwa UEA berkaitan dengan tindakan mengunci puluhan tahanan di dalam sebuah kontainer pengiriman. Orang-orang itu dilaporkan meninggal dalam panas terik.

Aliansi baru dengan Israel

Sejak kejadian itu UEA mengurangi keterlibatan mereka dalam konflik Yaman yang mematikan. Namun UEA terus memperluas jangkauan militernya. Mereka terlibat upaya kontroversial untuk mencegah pengaruh Turki di Timur Tengah.

Jadi, jika Turki menancapkan pengaruh besar di ibu kota Somalia, Mogadishu, UEA justru mendukung masyarakat Somaliland untuk memerdekakan diri. UEA sudah membangun pangkalan militer di Berbera, Teluk Aden.

Di Libia yang juga tengah dilanda perang, UEA berkoalisi dengan militer Rusia dan Mesir untuk mendukung pasukan Khalifa Haftar, melawan kelompok pendukung pemerintah Libia yang didukung Turki, Qatar, dan beberapa negara lainnya.

September ini, UEA mengirim kapal dan jet tempur ke pulau Kreta dalam rangka latihan bersama dengan militer Yunani.

Yunani saat ini tengah bersiap menghadapi kemungkinan berkonfrontasi dengan Turki soal hak pengeboran di Mediterania timur.

Dan sekarang, setelah pengumuman dramatis yang tiba-tiba datang dari Gedung Putih, muncul aliansi UEA-Israel dalam berbagai bidang. Kesepakatan itu seolah menjadi cap resmi atas kerja sama rahasia mereka selama bertahun-tahun.

Seperti Arab Saudi, UEA diam-diam memperoleh perangkat lunak buatan Israel untuk mengawasi warga negara mereka yang dianggap mengancam kekuasaan.

Kerja sama itu sebenarnya mencakup banyak bidang, dari perawatan kesehatan, bioteknologi, budaya, dan inisiatif perdagangan.

Namun aliansi UEA-Israel juga menjajaki kemungkinkan menciptakan hubungan militer dan keamanan strategis yang tangguh.

UEA diyakini bisa memanfaatkan teknologi mutakhir Israel karena aspirasi global dan sumber keuangan mereka yang tak terbatas.

Musuh bersama kedua negara, Iran, mengutuk kesepakatan itu, seperti halnya Turki dan Palestina. Negara-negara ini menuduh UEA mengkhianati harapan kemerdekaan masyarakat Palestina.

Mencapai bintang

Ambisi UEA tidak berhenti di situ. Dengan bantuan Amerika Serikat, mereka menjadi negara Arab pertama yang mengirim misi perjalanan ke Mars.

Dalam proyek senilai Rp2,9 triliun yang diberi nama `Harapan` itu, pesawat antariksa UEA meluncur ke luar angkasa dengan kecepatan 126.000 kilometer per jam (78.000 mph).

Pesawat itu lepas landas dari sebuah pulau terpencil di Jepang. Pesawat tersebut ditargetkan mencapai Mars yang berjarak 495 juta kilometer dari bumi pada bulan Februari 2021.

Sesampai di Mars, pesawat itu akan memetakan gas atmosfer yang mengelilingi planet merah, lalu mengirimkan datanya kembali ke Bumi.

"Kami ingin menjadi pemain global," kata Menteri Luar Negeri UEA, Anwar Gargas

"Kami ingin mendobrak penghalang dan kami harus mengambil beberapa risiko strategis untuk mematahkan penghalang ini," tuturnya.

Namun, muncul kekhawatiran bahwa dengan pergerakan yang begitu cepat dan sudah sejauh ini, UEA akan melampaui batas kemampuan mereka.

"Ada sedikit keraguan bahwa UEA adalah kekuatan militer paling efektif di kawasan Arab," kata analis Teluk Persia, Michael Stephens.

"Mereka mampu mengerahkan pasukan jauh ke luar negeri dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh negara-negara Arab lainnya.

"Tapi mereka juga dibatasi oleh ukuran dan kapasitas. Menangani begitu banyak masalah sekaligus merupakan tindakan berisiko. Dalam jangka panjang ini bisa berakhir menjadi bumerang bagi mereka," kata Stephens.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: