Ketiga, UE mencoba menghambat sawit dengan rancangan kebijakan emisi Indirect Land Use Change (ILUC). Tidak hanya mengada-ada, studi IFPRI European Comission (2010, 2011) bahkan telah membuktikan, ternyata emisi ILUC sawit merupakan paling rendah dibandingkan minyak nabati lainnya, termasuk minyak rapeseed.
Keempat, pada 2013, UE menuduh biodiesel sawit Indonesia dumping karena disubsidi sehingga UE menerapkan bea masuk anti-dumping. Mengetahui hal tersebut, Indonesia mengadu ke WTO dan UE tidak mampu membuktikan tuduhan tersebut sehingga pada April 2018, WTO memenangkan Indonesia.
Baca Juga: CPO: Komoditas Juara pada Oktober 2020
Kelima, karena kalah di WTO, pada April 2019, UE kembali menuduh 12 produsen biodiesel sawit Indonesia memeroleh subsidi melalui fasilitas kawasan berikat sehingga UE menerapkan BMAD dan countervailing dutie (CVD) atau bea masuk tambahan kepada 12 produsen biodiesel tersebut.
Melihat kondisi tersebut, dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, "ke depan, berbagai bentuk kelicikan UE menghadapi sawit akan tetap berlanjut. Persoalannya bukan di sawit, tapi di UE sendiri. Ekonomi UE yang sudah full employment untuk menopang konsumsi dan kesejahteraan tinggi, akan tetap menciptakan banyak dilema jika tidak membuka diri pada impor dari luar UE termasuk impor minyak sawit."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: