Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Saking Kompetitifnya, Sawit Jadi Korban Kelicikan Uni Eropa

Saking Kompetitifnya, Sawit Jadi Korban Kelicikan Uni Eropa Seorang petani membongkar muatan tandan buah segar (TBS) sawit dari dalam sebuah perahu pada musim banjir di Desa Raja Bejamu Kabupaten Rokan Hilir, Riau, Rabu (19/2/2020). Harga TBS sawit di Rokan Hilir pada masa trek atau menurunnya produksi di perkebunan akibat perubahan cuaca ekstrim cenderung melemah menjadi Rp1120 dari harga normal Rp1400 per kilogram. | Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bagi negara-negara produsen minyak kelapa sawit terutama Indonesia, nama Uni Eropa sudah menjadi momok tersendiri karena menyuarakan berbagai gempuran untuk menghambat pergerakan minyak sawit di pasar global.

Kehadiran minyak sawit yang sangat kompetitif dengan harga murah di Uni Eropa justru menjadi ancaman bagi minyak rapeseed. Perlu dicatat bahwa tanaman rapeseed di UE disubsidi besar-besaran sehingga apabila kalah bersaing dengan minyak sawit, artinya subsidi yang digelontorkan pemerintah UE akan menjadi sia-sia dan berimplikasi pada politik domestik UE. 

Berbagai upaya dilakukan karena minyak rapeseed sebagai komoditas minyak nabati andalan UE kalah bersaing dengan minyak sawit dalam segala hal. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan UE menunjukkan betapa liciknya cara main yang diterapkan negara-negara tersebut.

Baca Juga: Rekomtek Replanting Sawit dari Kementan untuk Bengkulu

Melansir laporan PASPI Monitor, berikut lima kelicikan Uni Eropa untuk menghambat impor minyak sawit di pasar UE.

Pertama, untuk membatasi impor minyak sawit, UE menerapkan wajib sertifikasi berkelanjutan bagi minyak sawit dan produk turunannya. Sementara itu, minyak rapeseed dan minyak nabati impor lainya (selain sawit) tidak memiliki dan mewajibkan sistem sertifikasi berkelanjutan.

Kedua, UE membuat hambatan untuk sawit dengan mengaitkannya dengan deforestasi global. Padahal, Studi European Commision (2013) telah membuktikan bahwa driver utama deforestasi global ialah peternakan dan minyak kedelai dari Amerika Selatan, bukan kelapa sawit.

Ketiga, UE mencoba menghambat sawit dengan rancangan kebijakan emisi Indirect Land Use Change (ILUC). Tidak hanya mengada-ada, studi IFPRI European Comission (2010, 2011) bahkan telah membuktikan, ternyata emisi ILUC sawit merupakan paling rendah dibandingkan minyak nabati lainnya, termasuk minyak rapeseed.

Keempat, pada 2013, UE menuduh biodiesel sawit Indonesia dumping karena disubsidi sehingga UE menerapkan bea masuk anti-dumping. Mengetahui hal tersebut, Indonesia mengadu ke WTO dan UE tidak mampu membuktikan tuduhan tersebut sehingga pada April 2018, WTO memenangkan Indonesia.

Baca Juga: CPO: Komoditas Juara pada Oktober 2020

Kelima, karena kalah di WTO, pada April 2019, UE kembali menuduh 12 produsen biodiesel sawit Indonesia memeroleh subsidi melalui fasilitas kawasan berikat sehingga UE menerapkan BMAD dan countervailing dutie (CVD) atau bea masuk tambahan kepada 12 produsen biodiesel tersebut.

Melihat kondisi tersebut, dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, "ke depan, berbagai bentuk kelicikan UE menghadapi sawit akan tetap berlanjut. Persoalannya bukan di sawit, tapi di UE sendiri. Ekonomi UE yang sudah full employment untuk menopang konsumsi dan kesejahteraan tinggi, akan tetap menciptakan banyak dilema jika tidak membuka diri pada impor dari luar UE termasuk impor minyak sawit." 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: