Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pilpres di Ambang Konflik, Skenario Kiamat yang Ditakutkan Rakyat AS Terwujud?

Pilpres di Ambang Konflik, Skenario Kiamat yang Ditakutkan Rakyat AS Terwujud? Kredit Foto: Antara/REUTERS/Jonathan Ernst
Warta Ekonomi, Washington -

Selama berminggu-minggu menjelang pemilu, Donald Trump telah mengatakan bahwa jika selisih perolehan suara dalam pemilihan presiden tipis, ia akan menuduh lawannya dari Partai Demokrat melakukan kecurangan pemilu dan berusaha mencuri kemenangan darinya.

Pada Rabu 4 November dini hari, ia melakukan itu: kendati jutaan surat suara yang sah belum selesai dihitung, ia mengumumkan kemenangannya sebelum waktunya. "Kami sudah bersiap-siap untuk memenangkan pemilihan ini. Terus terang, kami sudah memenangkan pemilihan ini," kata Trump dalam pidato di Gedung Putih.

Baca Juga: Joe Biden Hanya Butuh 6 Suara Tambahan Untuk Tumbangkan Trump

Tanpa memberikan bukti apapun, ia melanjutkan dengan klaim bahwa telah terjadi "kecurangan" pemilu.

"Ini penipuan besar-besaran di negara kita. Kita ingin hukum digunakan secara tepat. Jadi, kita akan pergi ke Mahkamah Agung AS. Kita ingin semua pemungutan suara dihentikan."

Permintaan Trump diwujudkan tim kampanyenya, yang mengatakan akan segera meminta perhitungan ulang di Wisconsin dengan dalih adanya "laporan kejanggalan di beberapa distrik". Dan di Michigan dan di Pennsylvania, tim kampanye Trump telah melayangkan gugatan untuk menghentikan perhitungan suara.

Memalukan, belum pernah terjadi, tidak benar 

Para pendukung Demokrat dan bahkan beberapa pendukung sang presiden segera merespons. Saingan Trump dari Partai Demokrat, Joe Biden, mengatakan pemilu belum berakhir "sampai setiap surat suara dihitung".

"Kami berada di jalur untuk menang," tegasnya.

Manajer kampanye Biden, Jen O'Malley Dillon, menyebut pernyataan Trump "keterlaluan, belum pernah terjadi, dan tidak benar".

"Itu keterlaluan karena jelas-jelas merupakan upaya untuk merampas hak-hak demokrasi warga Amerika," katanya.

"Ini pertama kalinya terjadi karena belum pernah dalam sejarah kita seorang presiden Amerika Serikat berusaha untuk melucuti suara rakyat Amerika dalam pemilihan nasional."

Alexandria Ocasio-Cortez dari Partai Demokrat, yang memenangkan pemilihan kembali untuk kursinya di Kongres, mengecam klaim Trump sebagai "tidak sah, berbahaya, dan otoriter".

"Hitung suara. Hormati hasilnya," ujarnya dalam sebuah cuitan di Twitter.

Bahkan beberapa pendukung partai Trump sendiri, Partai Republik, menyuarakan kekhawatiran.

Salah satunya mantan Senator Republik dari Pennsylvania, Rick Santorum. Santorum berkata ia "sangat terganggu" dengan komentar Trump. "Menggunakan kata penipuan ... menurut saya itu salah," ujarnya di CNN.

Dan Ben Shapiro, komentator berhaluan konservatif dan kritikus Trump, dalam sebuah twit menyebut komentar Trump "sangat tidak bertanggung jawab".

Setelah Trump berbicara, Wakil Presiden Mike Pence mencoba menghaluskan ucapannya, menolak untuk mendeklarasikan kemenangan dan menegaskan bahwa semua suara yang diberikan secara sah akan dihitung. Ketegangan tersebut jelas sangat dirasakan di kalangan akar rumput.

Sinta Penyami Storms, anggota dewan kepemimpinan Asian Americans and Pacific Islanders untuk Partai Demokrat, mengatakan ia merasa gugup bercampur optimis.

"Saat ini, kita masih nervous, tapi sangat optimis karena surat suara dari pos, yang katanya sekitar satu juta belum dihitung, jadi untuk saat ini, walau agak gugup, masih sangat optimis Biden memenangkan pemilihan ini."

Seorang pendukung Trump, Emmanuel Tandean, pendeta di Gereja New Life Praise Centre, Philadelphia, mengaku mengikuti hasil pemilihan sejak malam sampai pagi dengan perasaan bercampur optimis dan cemas.

"Ya, sempat nervous, optimis dan kembali nervous ... karena masih tidak jelas," katanya.

"Sudah terlanjur"

Akan tetapi kerusakan sudah terlanjur terjadi, kata wartawan BBC di Amerika Utara, Anthony Zurcher.

"Terlepas Trump pada akhirnya menang atau kalah, ia telah mempermasalahkan pemilihan ini, karena ia mempertanyakan mesin demokrasi Amerika itu sendiri," kata Zurcher.

Pandemi virus corona menyebabkan lonjakan dalam jumlah pemilih AS yang memilih untuk memberikan suara mereka lebih awal lewat pos, yang memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk menghitung surat suara.

Di beberapa negara bagian, penghitungan surat suara mungkin perlu waktu berhari-hari.

Anthony Zurcher berkata pemilu AS kini memasuki "skenario kiamat yang ditakuti banyak warga Amerika, ketika presiden Amerika Serikat sendiri - dari Gedung Putih - memperkeruh penghitungan suara."

Lindy Backues, profesor madya di Eastern University, Amerika Serikat, pernah tinggal di Indonesia tahun 1989-2007

Saya rasa yang sangat kita perlukan adalah seorang pemimpin yang bisa membawa perdamaian dan bisa memulihkan hubungan yang agak kacau antara dua belah pihak:

1. Orang pedesaan yang cenderung mendukung Trump yang merasa selama ini direndahkan statusnya. Keluhan-keluhan dari mereka harus didengarkan. Tidak berarti semua keluhan mereka benar karena menurut saya, mereka juga ada masalah rasisme. Mereka lebih cenderung menganggap Amerika ini sebagai negara kulit putih. Itu salah. Dan salah konsep, karena Amerika sudah lebih dari 200 tahun yang lalu tidak didirikan sebagai itu. Tapi mereka menganggapnya begitu.

Mereka harus melepaskan cengkeramannya di mana ini bukan milik mereka lagi. Mereka harus rendah hati. Tapi mereka juga harus didengarkan. Mereka selama ini di desa-desa, seperti di Indonesia juga, merasa tidak didengarkan, seperti 'orang kota sok tahu'.

2. Sedangkan orang di kota yang lebih cenderung warna-warni, orang dari mana-mana, dari kulit hitam, kulit putih, imigran, dari luar, dan di Philadelphia tempat saya tinggal ini banyak orang Indonesia lagi, mereka juga tidak didengarkan suaranya.

Orang di Washington ( Gedung Putih, Senat) harus merendahkan diri, mereka harus lebih peduli baik kepada orang kota yang terkucilkan maupun orang desa yang terkucilkan. Dan saya rasa yang harus dihasilkan di Amerika ini adalah lebih banyak rendah hati, di mana nasionalisme itu bukan vokal dan menganggap diri kita sendiri paling baik di dunia, tetapi memang kita hanya satu negara di muka Bumi dan kita juga belajar bagaimana untuk jadi lebih baik. Nah, kita perlu ada presiden seperti itu.

Trump telah mengatakan ia akan menolak untuk mengakui kekalahan jika ia kalah dalam pemilihan.

Dalam beberapa pekan terakhir, ini telah menyebabkan perdebatan yang sangat tidak biasa mengenai apakah angkatan bersenjata, dinas rahasia atau polisi akan dipanggil untuk secara paksa menurunkan presiden AS yang dibarikade di dalam Gedung Putih.

Khawatir kerusuhan 

Persaingan ketat kini mengerucut pada segelintir negara bagian: Arizona, Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, dan Georgia.

Setiap gugatan hukum harus melalui pengadilan negara bagian terlebih dahulu, sebelum diteruskan ke Mahkamah Agung. Artinya, hasil pemilihan presiden AS 2020 berpotensi perlu waktu berhari-hari untuk diketahui.

Sementara itu, ada kekhawatiran bahwa ketidakpastian hasil bisa menimbulkan keresahan dalam bentuk protes dan bentrokan.

Bahkan saat hari pemilihan hampir berakhir, ada bentrokan dan ketegangan dalam protes yang diadakan di beberapa bagian negara, termasuk di depan Gedung Putih.

"Skenario terburuk mulai terwujud, dengan Biden mengklaim ia dalam jalur menuju kemenangan dan Trump melontarkan tuduhan tidak berdasar tentang penipuan dan kecurangan pemilu," kata Zurcher.

"Ini resep untuk perselisihan dan persengketaan di pengadilan yang berlarut-larut, berakhir dengan pendukung di pihak yang kalah merasa marah dan tertipu."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: