Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Ferdie Darmawan: Kulak-kulik Cara Kaum Rebahan Mengatur Uang

KOL Stories x Ferdie Darmawan: Kulak-kulik Cara Kaum Rebahan Mengatur Uang Kredit Foto: Instagram/Ferdie Darmawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Generasi milenial acap kali di-stereotip-kan dengan kaum rebahan. Sayangnya, stereotip yang dibangun adalah stereotip negatif seperti serba instan, terlalu bergantung pada teknologi, mengerjakan sesuatu tanpa keringat, dan tidak menghasilkan apa-apa.

Namun, yang perlu dicermati sekarang adalah bagaimana aktivitas rebahan itu tidak semata-mata dijadikan legitimasi kemalasan semata. Aktivitas rebahan ini bisa menjadi cara baru untuk tetap produktif. Sebab, generasi sekarang memiliki akses terhadap internet yang mendorong mereka untuk mendapatkan bahkan menghasilkan sesuatu dari dalamnya. 

Baca Juga: KOL Stories x Jihan Putri Zuariah: Lika-Liku Merintis Kafe K-Pop

Kaum rebahan merupakan generasi yang dibesarkan oleh kemajuan teknologi di berbagai aspek kehidupannya sehingga memiliki pola pikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Banyak kaum rebahan yang berhasil membuktikan diri hingga menjadi jutawan dunia.

Salah satunya ialah Daniel Middleton pemilik saluran paling menguntungkan di YouTube. Ia menjadi orang terkaya di YouTube karena komentar video game-nya. Saluran video online-nya telah mencakup banyak video game termasuk Minecraft, Roblox, dan Pokémon. Berkat bantuan teknologi, kaum rebahan bisa menyulap segala hal menjadi pundi-pundi uang.

Di sisi lain, kaum rebahan sering terbentur dengan godaan seperti belanja, nongkrong, liburan, dan lain sebagainya. Lalu, apa yang harus dilakukan kaum rebahan kala mengatur uang agar dapat bertahan dari berbagai macam godaan yang ada? 

Warta Ekonomi melalui progam KOL Stories berinisiatif untuk mengundang Ferdie Darmawan yang memiliki gelar Certified Financial Planner (CFP), Qualified Wealth Planner (QWP), Associate Estate Planning Practitioner AEPP, Best Selling Author, Investor, & Financial Entrepreneur sekaligus Founder Halo Duit & Chairman Power of One Network untuk berbincang-bincang dengan topik Kulak-kulik Cara Kaum Rebahan Mengatur Uang.

Berikut ini kutipan wawancara dengan Ferdie Darmawan bersama jurnalis Warta Ekonomi, Annisa Nurfitriyani.

Bagaimana cara mengatur keuangan yang tepat agar kebutuhan dan keinginan dapat tercapai? Apa saja yang perlu dilakukan step by step?

Langkah pertama, yang paling penting ada uanganya dulu, itu nomor satu paling penting. Karena kalau tidak ada uangnya maka tidak ada yang bisa diatur. Jadi, sebenarnya langkah pertama itu kita harus pastikan penghasilan lebih besar dibandingkan pengeluaran, itu nomor satu yang paling penting.

Setelah itu, ada kelebihan dana. Nah, kelebihan dana itu yang baru kita kelola. Itu sebetulnya konsep dari financial planning. Kebanyakan, generasi milenial kalau punya uang pasti berpikir apa nih investasi yang untung besar dan cepat? Padahal, sebetulnya uangnya itu bukan uang nganggur, tetapi istilahnya adalah uang dapur. Mungkin, uang buat bayar kost, buat transport, dan lain-lain. Kemudian malah terpakai untuk investasi. Itu sebetulnya langkah yang kurang tepat karena langsung lompat tahapan.

Jadi, step pertama yang paling penting adalah kita memastikan kalau setiap bulan itu ada kelebihan dana supaya kita bisa mengelola ke tahap berikutnya.

Kalau sudah ada kelebihan dana, langkah kedua adalah mulai mengecek apakah kita punya utang kartu kredit atau tidak? Kita punya utang pinjaman online (pinjol) atau tidak? Karena kalau punya utang pinjol yang konsumtif dan kartu kredit juga dipakai untuk konsumsi maka itu juga berbahaya karena bunganya besar sekali. Jadi, harus dipastikan utang-utang tersebut harus segera dilunasi.

Langkah ketiga, kita harus punya dana darurat. Apalagi, kondisi pandemi seperti saat ini orang baru mulai melek keuangan. Sebelumnya banyak orang berpikir buat apa punya darurat karena anak muda, kaum rebahan, selalu berpikir hari esok bakal sama. Jadi, banyak orang berpikir, sudahlah gue dapat gaji hari ini habiskan saja toh bulan depan akan dapat gaji lagi.

Bulan depan juga sama, mau nabung tapi iya sudahlah kan bulan depan gajian lagi. Iya, sudah gajian bulan depan saja, eh ternyata bulan depan ada pandemi Covid-19 dan terkena PHK atau gajinya tinggal setengah. Nah, dari situ orang baru sadar ternyata penting buat punya dana darurat.

Dana darurat itu penting karena kita tidak pernah tahu kapan kondisi seperti ini akan terjadi? Kemudian bagaimana kita bisa bertahan untuk melanjutkan kehidupan kita?

Lalu setelah dana darurat beres, kita harus memastikan punya asuransi. Jadi apabila terjadi sesuatu dari penghasilan atau kesehatan maka kita sudah memiliki perlindungan. Baru kalau itu sudah selesai semua maka yang terakhir adalah investasi. Seperti itu kira-kira langkahnya.

Jadi, rata-rata pemasukan itu yang paling simpel menggunakan rumus 4-3-3, yaitu 40% untuk biaya hidup termasuk asuransi dan dana darurat, 30% untuk bayar cicilan, lalu 30% lagi untuk investasi.

Lalu, bagaimana cara membedakan antara kebutuhan dan keinginan bagi kaum rebahan?

Cara mudah membedakannya seperti ini, misalnya kita mau minum kopi, kalau kopi mereknya banyak tuh kita punya pilihan beli kopi sachet atau cuma mau beli kopi yang logonya hijau. Kalau cuma mau beli kopi yang logonya warna hijau maka berarti itu sebuah keinginan, kalau minum kopi itu kebutuhan. Simple sih, sebenarnya itu saja cara membedakannya.

Jadi, produk sama tapi harganya berbeda. Karena yang kita beli itu bukan kebutuhan kita tapi yang kita beli itu "keinginan supaya lebih keren" nah itu yang sebenarnya kita beli.

Kebutuhan seperti apa yang perlu diproritaskan?

Sebetulnya, dengan adanya pandemi ini secara tidak langsung kita disadarkan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kita tinggal bandingkan saja nih, dulu sebelum pandemi dengan sekarang saat pandemi. Ternyata, kita tidak butuh kopi dengan logo dominan hijau. Kan, sekarang ada kopi yang namanya romantis tuh dengan harga lebih murah setengahnya. Jadi, bisa menjadi alternatif kalau misalnya mau nongkrong bisa ke situ. Jadi, kebutuhan nongkrong masih bisa dipenuhi.

Dengan adanya pandemi dan orang kebanyakan di rumah maka kita sebetulnya bisa melakukan perbandingan. Kalau dulu kita mencatat pengeluaran itu seharusnya akan ada peralihan nih, misalnya kalau di rumah lebih banyak yang keluar ongkos delivery atau ongkos listrik atau pulsa atau wi-fi kan penting. Kalau misalnya ditanya kebutuhan primer kaum rebahan pasti wi-fi kali yah.

Wi-fi sama baterai itu paling penting kayaknya sekarang. Kalau enggak ada itu, kayaknya orang enggak bisa hidup sekarang. Jadi, di rumah gapapa selama dua hal itu ada maka aman.

Kebutuhan primer itu kembali, sandang, pangan, papan. Itu tetap menjadi kebutuhan utama dan kalau di zaman sekarang kita mesti lihat, kadang-kadang ada kebutuhan tertentu untuk sebagian profesi itu penting tapi untuk profesi lain tidak. Contoh paling simpel, kalau orang profesinya sales, konsultan, atau lawyer terkadang butuh penampilan yang juga penting karena klien lihat dari sisi penampilan. Itu bisa menjadi kebutuhan primer orang di pekerjaan tertentu.

Tapi, kadang ada orang yang tidak butuh itu tapi akhirnya jadi social climber supaya dipandang orang karena lihat orang lain punya maka gue juga harus punya itu. Jadi, sesuatu yang berbahaya juga. Akhirnya, karena keuangan kita tidak sanggup maka pakai kartu kredit, pakai pinjol buat beli sesuatu yang konsumtif dan ujung-ujungnya kita hidup di atas standar kita.

Yang pada akhirnya, efek sampingnya adalah kita akan terkena masalah keuangan. Tapi, bukannya tidak boleh. Kita mimpi boleh saja, tetapi pastikan mimpi itu dengan menunda konsumsi sekarang. Jadi, misalnya mau beli iPhone 12 atau PS5 boleh atau tidak? Iya, boleh saja tetapi sebetulnya harus disiapkan dananya jauh-jauh hari bukan dengan cara tiba-tiba dia impulsif gesek kartu kredit atau pinjol untuk beli barang yang sebetulnya dia tidak butuhkan.

Apakah kaum rebahan perlu memiliki investasi? Lalu, seperti apa investasi yang tepat?

Kita kembalikan ke profil orangnya. Kalau kita bicara mahasiswa atau first jobber yang baru kerja berarti kita berasumsi bahwa mereka masih sedikit modal atau penghasilan. Kalau misalnya mau coba-coba atau ingin tahu seperti apa rasa investasi tentu boleh-boleh saja, tidak mengikuti step satu sampai empat tadi. Tapi, itu bukan cara yang benar karena itu sifatnya cuma coba-coba.

Ibaratanya kita makan nasi, boleh atau tidak kita makan cuma satu sendok untuk mencoba? Iya, boleh saja, tapi masalahnya adalah kita kenyang atau tidak? Kan, tidak kenyang. Dan apakah memenuhi kebutuhan gizi kita atau tidak? Sama misalnya investasi, kalau misalnya ditanya boleh atau tidak kita start investasi dengan modal kecil? Karena di zaman digital sekarang investasi gampang sekali maka dengan investasi Rp100 ribu atau Rp10 ribu sudah bisa beli reksa dana atau saham.

Tapi kalau ditanya bisa atau tidak investasi itu mencapai apa yang kita inginkan maka jawabannya bisa juga, tapi lama banget kalau uangnya hanya Rp100 ribu.

Kembali lagi, dalam hidup ini tujuan kita mencari uang ini untuk apa? Uang ini kan hanya alat untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, sebelum putuskan melakukan investasi maka ada baiknya kita membuat yang namanya prioritas keuangan atau peta keuangan. Kita breakdown tujuan-tujuan keuangan kita mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang.

Kemudian kita rapikan jadi satu. Kita hitung satu-satu lalu kita proyeksikan sekarang nilainya berapa dan dengan asumsi inflasi di masa depan itu berapa. Nah, nanti kita punya daftar misalnya kebutuhan jangka pendek ada tiga, menengah ada empat, dan jangka panjang ada lima.

Contoh misalnya nanti menikah punya anak itu juga bisa dari sekarang di-prepare lebih bagus, dana pensiun juga sama. Nanti kita akan punya daftar kebutuhan jangka pendek dan menengah tadi kita tinggal pilih, untuk yang pendek berarti masukkan ke investasi jangka pendek. Yang jangka menengah maka berarti yang menengah. Kemudian yang panjang maka berarti investasi jangka panjang.

Dari situ kita hitung total per bulan sebetulnya kita butuh penghasilan berapa kalau mau memenuhi itu secara ideal. Nanti target penghasilan itu yang sebetulnya harus kita kejar kalau mau semuanya ideal.

Kalau tidak, berarti kita harus prioritaskan yang mana yang mau dicapai terlebih dulu. Itu sebetulnya langkah yang benar kalau kita berinvestasi bukan dengan kejar return. Karena milenial itu paling sering senang kejar return. Saya juga senang kejar return cuma itu tidak bijak. Disebut tidak bijak karena kita tidak ada yang tahu hari ini naik, besoknya rugi. Kita tidak tahu.

Biasanya juga kita punya pekerjaan lain, alih-alih dapat untung yang ada kita malah sibuk urusi investasi kita pindah instrumen sehingga kita stres sendiri dan kerjaan utama jadi terganggu. Kesimpulannya, investasi itu sebaiknya diprioritaskan untuk mencapai tujuan keuangan bukan keuntungan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: