Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KOL Stories x Ferdie Darmawan: Kulak-kulik Cara Kaum Rebahan Mengatur Uang

KOL Stories x Ferdie Darmawan: Kulak-kulik Cara Kaum Rebahan Mengatur Uang Perencana keuangan, Ferdie Darmawan. | Kredit Foto: Instagram/Ferdie Darmawan

Saat ini memiliki pinjaman sangat mudah, mulai dari kartu kredit hingga fintech, bagaimana agar tidak mudah tergiur? Dan, jika memang sudah memiliki pinjaman apa yang harus dilakukan agar keuangan tetap sehat?

Saya bukan termasuk orang yang anti-kartu kredit. Bagi saya, memiliki kartu kredit itu boleh-boleh saja. Karena sebetulnya, fungsi kartu kredit ini bagus kalau kita bisa menggunakannya sebagai dana cepat sekaligus membantu kita mencatat pengeluaran. Cuma kekurangannya adalah orang berpikir uang mereka unlimited, karena merasa uang unlimited jadi main gesek saja.

Strateginya, sebenarnya pada saat kita membeli sesuatu maka harus ingat kalau itu uang cash. Jadi, strateginya kalau saya pribadi begitu belanja langsung pastikan uangnya ada di dalam rekening untuk bayar kartu kredit itu atau paling simpel langsung dicicil saat itu juga.

Atau bisa juga limit kartu kreditnya jangan terlalu besar kalau kita punya kecenderungan mengutang. Jadi, diatur karena kita yang tahu sendiri karateristik spending kita. Kalau sudah terlanjur punya pinjaman, kalau mau bertobat istilahnya, setiap bulan harus kita sisihkan penghasilan untuk melunasi itu. Atau kalau masih punya penghasilan lain atau punya aset lain buru-buru dijual buat melunasi itu.

Karena kalau tidak, akan semakin menumpuk dan menggunung. Tapi, kalau terpaksa sekali mau tidak mau bayarnya minimum, tap tidak disarankan bayar minimum itu. Jangan investasi dulu harus diselesaikan dulu. Atau bisa juga kalau income terbatas tapi pengeluaran besar, cari income tambahan yang tujuannya untuk menyelesaikan itu.

Dengan kemudahan teknologi saat ini, mobile banking menjadi satu momok yang membuat kaum rebahan kesulitan untuk mengatur uang. Apa yang harus dilakukan agar bijak menggunakan mobile banking?

Strateginya seperti ini, kalau saya sarankan kita bagi rekening dan jangan hanya satu tetapi kita bagi menjadi beberapa rekening. Misalnya, kita punya rekening untuk menerima penghasilan terus ada satu rekening lagi buat biaya sehari-hari termasuk cicilan dan yang penting-penting. Lalu, ada satu rekening lagi yang fungsinya untuk happy-happy, karena kita butuh yang happy-happy. Kan, kerja sudah stress jangan sampai kita kerja capek-capek tapi tidak punya dana untuk happy-happy.

Jadi caranya adalah untuk membeli yang bukan kebutuhan utama cuma boleh beli dari rekening terpisah itu. Jadi, kalau misalnya uang enggak ada ya berarti tidak boleh beli.

Misalnya, 5% dari income kita sisihkan buat happy-happy ya berarti kita cuma boleh happy-happy pakai uang itu. Kalau mau beli sesuatu yang mahal harus tahan diri sampai terkumpul uangnya. Karena tujuan memisahkan rekening ini supaya kita tidak tergoda.

Tips kedua, rekening yang untuk operasonal itu kalau perlu tidak ada kartu jadi kita dibuat sulit untuk mengaksesnya. Ketika mau gesek ternyata yang di rekening happy-happy sudah tidak ada isinya jadi tidak bisa beli. Jadi, meningkatkan kesulitan kita untuk berbelanja.

Kadang juga orang berpikir diskon itu berhemat. Orang berpikir baju atau sepatu diskon 50% dari Rp500 ribu menjadi Rp250 ribu kadang kita berpikir kita berhemat Rp250 ribu padahal kita sedang melakukan pemborosan Rp250 ribu karena tadinya tidak mau membeli barang itu.

Itu teknik marketing, nah itu kita harus sadar. Kecuali, sejak awal kita ingin mengganti sepatu dan sudah direncakan lantas kebetulan lagi ada diskon kemudian dibeli. Nah, yang benar itu seperti gitu. Itu yang harus kita aware sama pengeluaran kita.

Seberapa penting asuransi bagi kaum rebahan?

Asuransi ini menggantikan biaya yang memiliki sifat tidak terduga. Selama ini orang berpikir risiko itu cuma kesehatan, padahal risiko itu bukan cuma kesehatan.

Kesehatan sudah di-cover oleh BPJS Kesehatan, dan bagi pekerja kantoran maka biasanya juga dapat asuransi swasta tambahan dari kantor. Kalau kita beli pribadi sepertinya tidak perlu lagi karena buat apa? Toh, kita tidak bisa melakukan double claim. Tapi, ada asuransi tertentu yang fungsinya agak beda dengan asuransi kesehatan seperti asuransi kritis. 

Asuransi penyakit kritis ini sifatnya ditransfer secara langsung oleh perusahaan asuransi. Kalau asuransi kesehatan biasanya on bill sesuai dengan tagihan atau biaya pengobatan. Sedangkan, asuransi penyakit kritis ini lebih untuk meng-cover penghasilan nasabah. Karena kita tidak akan pernah tahu seperti apa kondisi yang akan terjadi sama kita.

Misalnya, terkena penyakit kritis, efek sampingnya apa, okelah ada asuransi kesehatan yang meng-cover semua biaya pengobatan tetapi kalau orang terkena penyakit seperti itu pasti akan kena PHK cepat atau lambat. Kalau dia seorang pengusaha maka bisa jadi sudah tidak bisa menjalankan bisnis lagi, padahal tagihan tetap jalan terus dan harus dibayar. Berarti, harus ada yang menggantikan penghasilan dia.

Nah, ini yang saya sering bahas soal asuransi penghasilan. Simplenya ini uang cash, yang kalau terjadi penyakit parah tadi misalnya sakit kritis atau cacat tetap nanti dari perusahaan asuransi akan kasih kita uang cash. Nah, uang ini bisa kita taruh di deposito atau kita manfaatkan untuk yang lain. Nanti dari bunga deposito bisa kita manfaatkan untuk menggantikan penghasilan kita. Jadi, kita tidak perlu menurunkan gaya hidup atau tidak perlu utang. Itu yang kita sebut sebagai asuransi penghasilan.

Kalau ditanya kita butuh atau tidak asuransi lain selain kesehatan? Menurut saya, kita butuh karena masih ada risiko tadi yang membuat penghasilan hilang. Orang jarang berpikir kalau sudah sakit maka efek sampingnya apa? Iya, tadi cicilan tidak terbayar, pendidikan anak tidak bisa, biaya rumah terbengkalai semua, kira-kira seperti itu.

Untuk asuransi pendidikan, ini topik yang paling hot karena kalau orang tua membicarakan anak maka segala hal dilakukan demi memberi yang terbaik buat anak. Kalau saya, melihatnya asuransi pendidikan ini cuma teknik marketing karena pada dasarnya asuransi pendidikan ini tidak ada.

Kembali ke definisi awal asuransi bahwa asuransi ini untuk meng-cover sesuatu yang tidak pasti, padahal pendidikan ini adalah sesuatu yang pasti. Kita sudah tahu kapan anak kita akan masuk SD, kapan akan masuk SMP, kapan akan masuk SMA, dan kapan akan kuliah. Jadi, dari definisi saja kurang tepat kalau kita membeli asuransi pendidikan.

Yang perlu di-cover itu penghasilan orang tuanya, bukan pendidikannya. Yang banyak terjadi adalah orang membeli asuransi dan yang di-cover anaknya padahal anaknya secara ekonomi tidak punya penghasilan. Lalu buat apa di-cover? Kemudian orang berpikir kalau asuransi pendidikan itu pada saat kita butuh uang emang ada beberapa yang keluar pada waktunya tetapi kenyataannya banyak juga yang ternyata tidak sinkron antara usia polis dengan usia anak masuk sekolah. Jadi, tujuannya juga tidak tercapai. Kalau pendidikan baiknya kita investasi.

Apakah kaum rebahan juga harus mempersiapkan dana pensiun?

Anak muda ini biasanya tidak berpikir pensiun. Kebanyakan orang baru memikirkan pensiun kalau sudah mau pensiun atau lima tahun sebelum pensiun. Menurut saya, itu terlambat sekali.

Sebenarnya, kita sudah harus mulai memikirkan dana pensiun sejak pertama kali memiliki penghasilan. Kenapa? Karena kalau orang kerja di umur 30 tahun kemudian pensiun di usia 60 tahun dan asumsi hidup sampai 75 tahun maka berarti punya usia produktif 30 tahun dan waktu pensiun selama 15 tahun.

Dengan asumsi biaya 5 juta per bulan saja maka 30 tahun dari sekarang itu dia butuh dana pensiun sebesar Rp5,7 miliar. Itu kan angka yang besar. Belum tentu orang sekarang punya. Tapi, ternyata kalau kita hitung lagi angka Rp5,7 miliar itu kalau kita prepare dari sekarang itu maka sebulan kita hanya perlu siapkan Rp1 juta. Kita taruh di reksadana saham itu bisa terkejar Rp5,7 miliar pada saat kita usia 60 tahun dengan asumsi kita rutin setiap bulan selama 30 tahun.

Intinya, kapan kita perlu siapkan dana pensiun itu pertama kali kita punya penghasilan. Meski dari pemerintah juga diwajibkan menyiapkan dana pensiun tapi belum tentu cukup tergantung kebutuhan makanya kita juga harus siapkan dana pensiun pribadi dengan cara kita investasi.

Dana pensiun ada dua, yakni DPPK dan DPLK. Kalau DPLK itu dari asuransi dan perbankan yang keluarkan. Kalau DPPK mandiri perusahaan keluarkan produk itu. Kalau dua itu ditambah BPJS Ketenagakerjaan menurut saya tidak cukup, kecil banget angkanya. Kalau kita hitung, nanti kurang makanya kita perlu siapkan dana pensiun pribadi supaya kita bisa sesuaikan dengan gaya hidup saat pensiun nanti. Jadi, kita harus prepare sendiri.

Apa tips bagi kaum rebahan agar memiliki tabungan, investasi, asuransi, dan bahkan dana pensiun?

Intinya masalah keuangan cuma ada dua, pertama menurunkan pengeluaran dan kedua menaikkan pendapatan, tidak ada cara lain. Kalau pengeluaran sudah diturunkan dan masih tidak cukup cukup berarti tidak ada cara lain selain menaikkan penghasilan.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: