Turunkan Banyak Tank di Tigray, Ethiopia Ancam Warga Sipil Tak Ada Ampun
Tank-tank militer Ethiopia telah mengepung Tigray dan mengancam warga sipil yang terkepung bahwa "tidak ada ampun" jika mereka tidak menyelamatkan diri sebelum serangan terakhir diluncurkan. Serangan terakhir akan diluncurkan untuk mengusir para pemimpin regional yang membangkang.
Human Rights Watch mengatakan ancaman seperti itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional.
Baca Juga: Ethiopia Ultimatum Pemberontak Tigray: Menyerah dalam 72 Jam Atau Tak Ada Ampun
"Mulai sekarang, pertempuran akan menjadi pertempuran tank," kata juru bicara militer Ethiopia Kolonel Dejene Tsegaye Sabtu malam, menegaskan bahwa tentara berbaris di Ibu Kota Tigray; Mekele, dan akan mengepungnya dengan tank.
"Orang-orang kami di Mekele harus diberi tahu bahwa mereka harus melindungi diri dari artileri berat," lanjut dia, seperti dikutip AP, Senin (23/11/2020).
Dia menuduh para pemimpin Tigray bersembunyi di antara populasi kota yang berpenduduk sekitar setengah juta orang dan memperingatkan warga sipil untuk menjauh dari mereka.
"Tapi, memperlakukan seluruh kota sebagai sasaran militer tidak hanya melanggar hukum, itu juga bisa dianggap sebagai bentuk hukuman kolektif," kata peneliti Human Rights Watch Laetitia Bader di Twitter pada hari Minggu.
"Dengan kata lain, kejahatan perang," imbuh mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat Susan Rice yang ikut mengomentari konflik di negara Afrika tersebut.
Perdana menteri pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Ethiopia, Abiy Ahmed, dalam sebuah pernyataan baru memberikan waktu 72 jam kepada para pemimpin Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) untuk menyerah. "Anda berada di titik tanpa harapan," katanya.
Dia menuduh para pemimpin TPLF menggunakan situs keagamaan, hotel, sekolah dan bahkan kuburan sebagai tempat persembunyian dan menggunakan penduduk Mekele sebagai tameng manusia.
Selama berhari-hari, pemerintah Abiy menegaskan bahwa mereka bergerak ke Mekele dalam upaya terakhir untuk mengakhiri konflik mematikan yang mulai meletus pada 4 November antara pemerintah federal dan pemerintah daerah Tigray yang bersenjata lengkap.
TPLF mendominasi koalisi yang berkuasa di Ethiopia selama seperempat abad sebelum Abiy menjabat dan memperkenalkan reformasi politik yang dramatis. Pada akhirnya para pemimpin TPLF tersingkir.
Sekarang, masing-masing pihak menganggap satu sama lain sebagai kubu ilegal, memperumit permintaan internasional untuk berdialog di tengah kekhawatiran bahwa salah satu negara paling kuat di Afrika itu dapat terpecah dan mengguncang Tanduk Afrika yang strategis.
Komunikasi dan transportasi ke wilayah Tigray hampir sepenuhnya terputus. Kondisi itu sulit untuk memverifikasi klaim pihak yang bertikai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: