Langkah Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman yang menurunkan ratusan baliho bergambar Habib Rizieq Shihab di seantero Jakarta dan mengancam akan membubarkan Front Pembela Islam (FPI) telah memunculkan polemik di masyarakat. Sebagian masyarakat mengkritisi langkah tersebut karena dinilai melampauai kewenangan TNI.
Ahli hukum tata negara Refly Harun mengingatkan bahwa kewenangan sebuah organisasi/lembaga bukan karena kekuatan yang dimiliki, tapi didasarkan prosedur yang benar. Dalam hal ini, pembagian tugas TNI dan Polri telah diatur, tidak saja dalam undang-undang, tapi juga konstitusi negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945.
Baca Juga: Sebelum Garang ke Baliho Habib Rizieq, FPI Ngaku Ketemuan dengan Pangdam Jaya
"UUD 45 sudah menggariskan TNI berkuasa di wilayah pertahanan, sementara Polri di wilayah keamanan. Di wilayah lain (seperti) turun-menurunkan baliho, debat-mendebat, dan lain sebagainya, bukan porsi mereka untuk ikut-ikutan dalam politik sehari-hari. Itu adalah porsi di luar TNI dan Polri," kata Refly Harun dalam video terbarunya berjudul "Gatot Sentil Dudung, Jangan Jual TNI Bung!!" yang diunggah di channel Youtube pribadinya, Refly Harun, Rabu (25/11/2020) pagi.
Menurut Refly, pernyataan Mayjen Dudung Abdurrahman yang ingin membubarkan FPI dan menurunkan baliho karena tidak mau melihat pelanggaran-pelanggaran hukum, jelas keliru. Sebab, kedua tugas itu bukanlah kewenangan TNI. Tentara dibuat tidak untuk menghadapi masyarakat sipil, tapi menghadapi mesin negara lain. Karena sebagai alat pertahanan, TNI bertugas melindungi terorial wilayah.
"Mereka tidak ikut cawe-cawe dalam politik sehari-hari, tidak ikut rebutan kekuasaan, tapi mereka senantiasa siap sedia mempertahankan kedaulatan. Itu tugas TNI sesungguhnya," katanya.
Refly sendiri masih meragukan langkah Pangdam Jaya merupakan inisiatifnya sendiri. Sebab, menurutnya, sangat jarang seorang panglima Kodam berani dan mau melakukan inisiatif masuk ke politik wilayah sipil. Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, pernyataan Mayjen Dudung berubah-ubah, yang menunjukkan bahwa langkah yang diambinya tidak asli dari dirinya sendiri.
"Kalau dia diperintahkan, siapa yang memerintahkan? Panglima TNI sudah mengatakan tidak memerintahkannya. Apakah yang memerintahkan otoritas sipil, otoritas lain, nah ini yang harus diklarifikasi," katanya.
Doktor lulusan Universitas Andalas ini mengendus ada upaya kembali melibatkan TNI/Polri masuk ke dalam politik. Jika dibiarkan, kondisi ini sangat berbahaya karena kelompok tertentu bisa menggunakan kekuatan TNI untuk menekan lawan politik. Tentu saja kelompok sipil tidak mampu melawan TNI yang memiliki akses ke senjata, mempunyai personel terlatih, dan organisasi yang rapi.
"Padahal ketika sudah masuk ke dalam politik, akan susah untuk keluar. Politik itu dekat dengan kekuasaan, kekuasaan itu fasilitas, fasilitas itu kenikmatan, kenikmatan itu kemewahan, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya," katanya.
Refly mengakui setiap orang pasti ingin berpolitik dan berkuasa. Namun, seseorang tidak bisa berpolitik ketika dia memegang senjata. Sebab, untuk merebut kekuasaan harus dengan jalan konstitusional, melalui persaingan politik atau pemilu. "Hanya di Thailand, orang bisa merebut kekuasan dengan senjata alias kudeta," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum