Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dari Hiperseksual hingga Identitas Lain, Menerawang Pandangan Remaja Kristen Australia Soal Seks

Dari Hiperseksual hingga Identitas Lain, Menerawang Pandangan Remaja Kristen Australia Soal Seks Kredit Foto: Reuters
Warta Ekonomi, Sydney -

Seks adalah sebuah topik yang rumit untuk dibicarakan bagi Rosario, seorang perempuan Australia berumur 25 tahun. Tumbuh di lingkungan Katolik, ia selalu diperingatkan soal keintiman pranikah dan diberitahu bahwa "seks adalah hal yang buruk".

Namun, ketika memasuki masa remaja, peringatan itu menjadi tidak masuk akal baginya.

12935456-3x2-large.jpg?v=2

Dalam film dan televisi di negara barat seperti Australia, seks digambarkan sebagai manifestasi fisik dari cinta, sebuah hal alamiah yang terjadi di antara pasangan.

"Saya selalu ingin merasakan cinta dalam hidup. Saya sempat berpikir bahwa saya tertinggal soal ini," tuturnya.

"Saya tidak mendapat pengajaran tentang ini di manapun, tidak di keluarga saya, tidak di sekolah."

Jadi, ketika duduk di bangku kelas 12, ia memutuskan untuk "mendidik" dirinya sendiri tentang seks dengan mulai menonton video porno.

"Saya tidak menghormati diri sendiri"

Perjalanan Rosario menemukan pornografi bukanlah hal yang baru di tengah remaja.

Organisasi pendidikan pornografi bernama "Reality and Risk" memperkirakan keberadaan 90 persen laki-laki dan 60 persen perempuan yang sudah pernah mengakses pornografi daring.

Namun, mahasiswi psikologi tersebut mengatakan bahwa ini bukanlah satu-satunya kecanduan seksual yang ia miliki.

"Masturbasi sudah menjadi bagian hidup saya sejak berumur 10 tahun. Saya melakukannya begitu saja," kata Rosario.

"Ada sedikit rasa malu ... karena ini adalah hal yang sifatnya rahasia, yang tidak dibicarakan, namun sebenarnya terjadi [di tengah remaja]."

Bagi Rosario, aktivitas tersebut kemudian menjadi caranya untuk berhadapan dengan rasa cemas dan kesepian yang dialaminya.

Kebiasaan ini berlanjut hingga ia menginjak usia 18 tahun hingga ia mulai mendengarkan percakapan etis oleh seorang akademisi beragama Katolik.

"Ada sebuah kalimat yang membuat saya mempertanyakan perbuatan saya," kenangnya.

"Seks adalah ekspresi fisik dari cinta antara laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, dan ikatan ini menciptakan sebuah kehidupan baru."

Pernyataan tersebut terus bermain dalam kepalanya, sementara ia mulai mempertanyakan asumsinya tentang seks.

Apakah seks sebelum menikah diizinkan? Apakah artinya menonton pornografi itu sebuah dosa? Dan apakah masturbasi itu "salah", bahkan bila menyenangkan dan tidak mengganggu siapapun?

Setelah mendalami pengajaran Katolik, ia mulai menemukan pendiriannya.

"Kalau berbicara tentang seks sebelum nikah ... jika tidak mau berkomitmen seumur hidup, berarti Anda hanya menggunakan pasangan Anda untuk kesenangan pribadi," kata Rosario.

"Dan saya pikir sentimen ini berlaku juga kalau membicarakan masturbasi. Ketika melakukannya, saya merasa menggunakan tubuh sendiri untuk kesenangan pribadi. Jadi rasanya seperti tidak menghormati diri sendiri."

Apa kata agama tentang masturbasi?

Masturbasi adalah topik yang sering diperdebatkan dalam banyak ajaran agama, termasuk Kristen.

Menurut diaken Anglikan Dani Treweek, ada beberapa pandangan berbeda tentang masturbasi dalam kelompok keagamaan.

12935520-3x2-large.jpg?v=2

"Ada yang berpikir bahwa "Masturbasi hanyalah bentuk pembebasan fisik ... untuk mengeksplor identitas seksual pribadi," ada juga orang Kristen yang berpikir bahwa masturbasi itu tidak pernah lazim untuk dilakukan," katanya.

Rev Dr Treweek, yang meneliti tentang kelajangan dan kekristenan, mengatakan bahwa walaupun masturbasi adalah aktivitas yang dilakukan sendiri, masih ada pertimbangan etis di dalamnya.

"Yesus mengatakan di Matius 5 bahwa setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya," katanya.

Cintai pendosa, benci dosanya

Dari perspektif Kristen, Pendeta Dr Treweek mengatakan seks hanya masuk akal dalam konteks pernikahan, yaitu antara suami dan istri.

Tentu saja, tidak semua orang Kristen adalah heteroseksual.

Awal tahun ini, Paus Fransiskus menawarkan dukungannya terhadap pernikahan sipil sesama jenis, namun doktrin Katolik tradisional masih menyatakan bahwa pernikahan adalah antara pria dan wanita.

Dan di banyak komunitas Kristen konservatif, orang-orang yang diidentifikasi sebagai LGBTQIA + dihakimi masyarakat, dikucilkan, dan bahkan dianiaya.

Bagi aktris dan penulis berusia 27 tahun Gemma Bird Matheson, ajaran gereja tentang "queerness" membuatnya berpikir lebih jauh soal ini.

12935628-3x2-large.jpg?v=3

"Saya tumbuh dengan retorika [tentang] mencintai pendosa, dan membenci dosa," kenangnya.

"Bahwa ... jika Anda menemukan bahwa Anda seorang "queer", dalam segala hal, Anda tidak melakukan apapun terhadap itu."

Dia mengatakan, baru setelah pemungutan suara tentang kesetaraan pernikahan pada tahun 2017, dia menyadari identitas seksualitasnya sendiri.

"Sulit untuk tumbuh terus-menerus dengan keyakinan bahwa [menjadi queer] itu salah tapi kemudian menyadari juga bahwa itulah Anda, dan begitu seterusnya," katanya.

"Ini adalah sebuah perjalanan, dan meskipun saya menjauh sebentar dari gereja ... saya rasa saya tidak menjauh dari Tuhan."

Kekristenan yang bertemu dengan identitas "queer"

Bagi Miriam, seorang mahasiswa berusia 27 tahun, membuka diri sebagai seorang Kristen sekaligus "queer" adalah tantangan tersendiri.

12937600-3x2-large.jpg?v=3

Miriam dibesarkan dalam tradisi Katolik dan Protestan dan, di awal usia 20-an, menghabiskan tiga tahun di Hillsong College.

"Segala budaya berasumsi bahwa kami heteronormatif dan heteroseksual," katanya.

"Bahkan isi percakapan kami, seputar pertanyaan para gadis tentang pria yang disukai ... dan itu semua hanya asumsi."

Tekanan untuk menyesuaikan diri membuatnya sulit mempertanyakan seksualitasnya, apalagi menyuarakan perasaannya. Tapi itu bukan satu-satunya kendala.

Tumbuh sebagai seorang Kristen, Miriam berkata bahwa dunia LGBTQIA + telah ditampilkan kepadanya sebagai komunitas yang hiperseksual.

"Ini menciptakan sedikit keraguan dalam diri saya, untuk benar-benar menerima diri saya sendiri, karena ini bukan diri saya yang sebenarnya," katanya.

"Saya memiliki nilai-nilai saya, saya memiliki moral saya, dan karenanya sulit bagi saya untuk ... menerima identitas ini karena potensi stereotip atau pemikiran yang akan dimiliki orang tentang saya."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: