Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Epidemiolog: Kurva Pandemi yang Lama, Makan Banyak Korban

Epidemiolog: Kurva Pandemi yang Lama, Makan Banyak Korban Kredit Foto: Rahmat Saepulloh

“Tidak ada euforia, tidak ada optimisme berlebihan. Semuanya pada kadar yang biasa saja, yang apa adanya. Ini penting karena kalau berlebihan atau malah sebaliknya terlalu negatif, itu bisa misleading, mis-ekpektasi dan juga mistrust,” ujar Dicky kepada DW, Selasa (2/2).

Pernyataan Jokowi tersebut, menurutnya, menjadi momentum perbaikan pengendalian pandemi ke depan. “Kita semua harus konsisten bahwa pengendalian pandemi ini harus berbasis data yang kuat, memadai, cermat, kemudian tepat. Termasuk berbasis sains, bukan kepentingan. Beda antara sains dan kepentingan,” pungkasnya.

Sejak awal PPKM digulirkan, Dicky mengaku telah mengingatkan bahwa kebijakan tersebut tidak akan efektif menekan laju infeksi corona di Tanah Air. Pasalnya, situasi pandemi saat ini sudah masuk kategori sangat serius. Berbeda jika diberlakukan pada akhir Maret 2020 lalu, kebijakan semacam PPKM, kata Dicky, masih tepat untuk diberlakukan.

“Ibarat bola salju sudah makin besar. Nah, responsnya tidak bisa lebih kecil daripada masalahnya,” kata Dicky.

Menurut Dicky, kebijakan PPKM tidak ada ubahnya seperti PSBB yang dimodifikasi atau PSBB yang dilonggarkan. Dan hal ini, katanya, hanyalah merupakan strategi tambahan dalam pengendalian pandemi. Yang harus diperkuat adalah strategi yang jauh lebih fundamental, yaitu 3T (testing, tracing dan treatment).

Dicky juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa ‘setengah-setengah’ dalam mengendalikan pandemi COVID-19. Artinya, setengah untuk sektor kesehatan, dan setengah untuk sektor ekonomi. Jika ini masih terus dilakukan, maka target capaian untuk keduanya ia sebut tidak akan berhasil. “Saya bukan ahli ekonomi, ya, tapi dari sisi kesehatan, jelas tidak akan ada dampak yang signifikan, dan itu merugikan, karena itulah yang membuat akhirnya kurva pandemi kita begitu lama, memanjang, menguat, dan memakan korban banyak”, jelasnya.

Sedikit berbeda dengan Dicky, Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono dalam sebuah wawancara terpisah justru mengatakan bahwa pernyataan Jokowi tidak sepenuhnya tepat.

“Tidak efektif itu kan kalau efektifitasnya 0. Menurut saya sih ada efektifitasnya tapi tidak 100%. Bahkan kurang dari 50%,” ujar Miko kepada DW, Selasa (2/2/2020).

Miko menjelaskan bahwa dalam upaya penanggulangan COVID-19 ada beberapa indikator yang harus dilihat: penambahan jumlah testing, penambahan isolasi, dan penambahan karantina. Sementara terkait PPKM, yang perlu diperhatikan menurutnya adalah apakah kebijakan tersebut benar-benar diimplementasikan secara baik atau tidak.

“PPKM berguna untuk melakukan pembatasan sosial pada kegiatan yang, menurut saya, perlu dibatasi. Nah, kegiatan itu di dalam PPKM dibatasi kegiatan bekerja dengan WFH 75%. Jadi harus dilihat apakah WFH-nya bekerja. Kemudian masalahnya indikator yang dilihat oleh Pak Jokowi adalah mobilitas, menurut saya, salah betul, ya,” kata Miko.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: